Sabtu, 25 Februari 2012

KEMELUT

Entahlah aku harus berkata apa?
Tentang kemelut hidup yang datang menerpa
Rasa lara itu masih saja merajalela
Didalam batinku yang terluka

Seperti menanti suatu yang tak pernah ada
Asa itu tak semerekah lentera
Sedih, kecewa, meradang petaka
Semua seperti tak ada akhirnya

Hanya ........ada aku dan kemelut
Kemudian kemelut dan aku
Matahari yang enggan bersinar
Akhirnya hanya kemelut dan kemelut


Dari mana seharusnya aku mulai ceritaku ini ? Entahlah aku bingung untuk memulainya. Aku kuatir kau akan menganggapku sebagai perempuan yang tak punya prinsip, yang tak menghormati sebuah tatanan kehidupan berumah tangga, perempuan egois yang tak peduli dengan nasib keluarga, atau belum lagi ada yang akan mencaciku sebagai perempuan yang tak mau menerima nasib dan takdirnya. Bahkan yang paling parah adalah bila ada yang menuduhku manusia yang tak beragama karena tak pernah bersyukur dengan semua yang terjadi. Dan masih banyak lagi predikat yang akan aku terima nantinya setelah aku bercerita. Tapi aku bingung, aku perlu saran, untuk itulah aku perlu bercerita. Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing. Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan pekerjaanku. Lebih-lebih terhadap dua permata yang Tuhan telah titipkan kepadaku, anak anakku Raja dan Putri.

Tapi sungguh, aku tidak pernah meminta takdir akan membawaku pada sebuah kisah yang tak berujung ini. Semua yang terjadi dalam hidupku sekarang ini bukanlah kehendakku. Sebenarnya aku hanyalah perempuan biasa tanpa angan yang muluk dan cita cita setinggi langit. Aku bahkan hanya perempuan kebanyakkan yang bermimpi tentang indahnya sebuah pernikahan. Bagiku hidup ini hanyalah sebuah deretan metamorofosa. Aku mengimajinasikan proses itu sebagai proses alami dari sebuah kehidupan. Sekolah, bekerja dan pada akhirnya berkeluarga. Pada proses yang terakhir itulah aku ditimpa keraguan dan kebimbangan. Dan itu semua berawal dari sebuah keputusan yang telah aku ambil. Keputusan yang semula aku anggap benar namun akhirnya membawaku pada sebuah kemelut yang tak berujung.

Dari sebuah keputusan itulah kisahku dimulai. Sesungguhnya aku adalah perempuan apa adanya. Tidak terlalu baik. Tidak terlalu lembut. Tidak terlalu halus. Aku adalah perempuan yang sangat perempuan. Aku perempuan yang terjebak oleh sebuah aturan. Sebuah aturan yang tak tertulis dalam undang undang tetapi telah disepakai oleh semua manusia dibumi ini. Peraturan yang mengharuskan seorang perempuan menikah sebelum ada yang menyebutnya perawan tua. Dan untuk mentaati peraturan itulah aku terpaksa memilih. Usiaku masih 27 tahun saat itu. Ibuku sudah mengannggap usiaku sangat terlambat memasuki dunia pernikahan. Setiap hari ibuku mulai nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, tampak sekali ia menginginkanku untuk segera menikah. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena malu kepada para kerabatnya yang melihat anaknya sudah berumur tetapi belum menikah juga. "Nduk, menikah itu ibadah. Bagaimana pun sibukmu, jangan sampai kau abaikan!"
"Cobalah kau memilih satu diantara mereka yang mendekatimu. Ibu malu bila ada kerabat yang bertanya, kenapa kau belum menikah juga.” Aku hanya tersenyum menanggapi omongan ibuku. Hanya kalimat pendek yang kuberikan untuk sekedar menyenangkannya. “Baik Bu, aku akan memikirkan semua itu.” Kalimat kalimat semacam itulah yang sering ibu lontarkan kepadaku. Mula-mula memang tak ku perhatikan, tetapi lama-lama aku risi juga.

Sampai akhirnya ada seorang yang mengagumiku pada saat saat penantianku itu. Ia adalah pria yang baik. Ia sangat mencintaiku. Jadi aku terima saja saat ia meminangku untuk menjadi istrinya. Akupun mencintai dengan cara yang berbeda dari yang aku yakini. Aku mengerti bahwa aku tak sepenuh hati mencintai. Tapi aku yakin semua akan berubah seiring berjalannya waktu. Dulu aku tak dapat membedakan antara cinta dan sepi. Aku menganggap hidupku telah sempurna bila ada yang mencintai dan akupun bisa melakukan hal serupa yaitu mencintainya. Aku sangat menyukai hari hariku akan ditemani, apalagi bila kekasih hatiku itu membumbui cintanya dengan beraneka puisi. Ternyata aku salah menduga, apa yang kurumuskan itu bukanlah cinta, tetapi sepi. Sekarang aku paham mengapa aku ingin senantiasa ditemani dan dibuatkan puisi. Aku hanya takut pada sepi. Sepi itulah yang membuatku ingin ditemani. Hanya untuk membunuh sepi itulah aku membuat dan menuliskan beratus puisi cinta. Barangkali ini pula alasan seseorang yang menyangka sepi itu adalah cinta. Mereka yang jatuh cinta selalu menyukai puisi puisi cinta, padahal itu hanyalah ungkapan kehampaan hati semata. Seperti aku yang tak bisa membedakan antara cinta dan kesepian. Selain sepi, aku begitu takut diburu oleh waktu. “Waktu” lah yang akhirnya menyergapku dan membantingku ke jurang pernikahan secepatnya.

Begitulah kawan, akhirnya aku memutuskan untuk menikah. Memang sebagai perempuan yang akhirnya bersuami, aku cukup lega dengan kehidupanku yang boleh dibilang sudah utuh. Aku telah mampu membuat keluargaku lega dan bahagia dengan status baruku. Di awal-awal pernikahanku, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Aku masih bekerja seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar menjadi awal kemelut hidupku. Beberapa bulan setelah Putri, anak keduaku lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Ia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Ia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar kepadaku. Ia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya ia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya. Untungnya aku masih bisa membantu dengan membuka toko kecil kecilan, meskipun tak terlalu besar, tapi bisa membantu ekonomi keluargaku. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga kami, akibat perubahan perilaku suamiku. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru ialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari. Bahkan semua urusan dalam keluarga, diserahkan pemecahannya kepadaku. Hidupku serasa pincang, karena sosok yang aku anggap mampu melindungiku justru tak melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan keluarga kami.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suamiku. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menyibukkan diri dengan toko sembakoku yang mulai berkembang menjadi besar. Tidak itu saja, aku juga berusaha membaca buku-buku keagamaan untuk mencari solusi dari semua kemelut ini. Seminar seminar tentang keluarga yang bahagiapun tak luput dari keikut sertaanku. Namun itu semua tak membuatku sanggup untuk mempertahankan rumah tanggaku. Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi perasaanku dan anak-anakku. Namun aku tak mampu untuk melakukannya. Bagaimana dengan keluargaku? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak yang orang tuanya bercerai. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi perasaanku ataukah sebaiknya aku meneruskan pernikahanku dalam kemelut yang tak berujung ini? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!

Aku sering menangis akhir- akhir ini. Aku benar benar terbelenggu dengan kisah yang telah aku buat sendiri. Maafkan kesentimentilanku ini, Kawan. Tapi, bukankah setiap manusia lebih dari sekali bersikap seperti itu? Aku tak ragu lagi tentang hal itu. Bagaimana denganmu? Apa kau juga memiliki kemelut hidup seperti diriku? Tak ada yang bisa membantuku keluar dari kemelut ini, pun keluargaku yang dulu begitu bersemangat mendorongku dalam jurang pernikahan. Aku telah berusaha mencari apa yang salah dari pernikahanku ini. Namun tak satupun dari yang aku tanya, bisa menjawabnya. Tak ada. Sampai pada ketermenunganku itulah akhirnya kutemukan jawabnya. Yah .....“Cinta”, cintaku kepada pilihan hatiku telah memudar seiring berjalannya waktu. Aku tak pernah berusaha mencintai pilihanku apa adanya. Seharusnya cinta yang akan membuatku mampu mengatasi segala kemelut yang ada. Cinta akan membuatku belajar menyenangkan hatinya dan menerima kekurangannya. Cinta pula yang seharusnya membuatku belajar bahwa sebesar apapun kemelut hidup ini, aku dan suamiku akan menyelesaikannya atas nama cinta. Tapi sayang cinta itu memang tak pernah ada pada awalnya.

Begitulah kemelut hidupku Kawan. Apakah kau sudah bisa memahami keadaan hatiku saat ini? Dicintai itu memang menyenangkan Kawan. Tetapi dicintai oleh orang yang tidak pernah kita cintai itu menyedihkan. Itu seperti menabur kesepian dihati orang lain. Apa kau tahu Kawan, ketika kau berpura pura mencintai seseorang hanya untuk mengisi kesepian, itu justru akan lebih menenggelamkan dirimu dalam kesepian yang panjang. Aku berharap kau tak akan pernah meniru kisahku Kawan! Jangan pernah kau membuat kisah cinta yang tak bermakna lagi sepertiku. Meskipun pada akhirnya kesedihan dan keterharuanku pada jalan hidupku membuatku lebih mengerti bahwa setiap orang akan digiring pada jalannya masing masing. Ada yang ihklas menerimanya dan ada yang memberontak. Entalah, apakah aku harus ihklas atau memberontak terhadap jalan hidupku ini? Pastinya akan lebih bijaksana bila aku menyerahkan semua kemelut hidupku ini kepada Sang Pemberi kehidupan.
Jadi pahatlah kisah pernikahanmu seindah mungkin atas nama cinta dan apa yang
Tuhan mau dalam hidupmu. Semoga kau menemukannya Kawan!

Jumat, 17 Februari 2012

DIA INGIN ANAKNYA MENIKAH DENGAN ORANG KAYA

Laki laki itu baru saja melewati usianya yang 58 tahun, tidaklah terlalu tua untuk ukuran jaman sekarang ini. Tapi wajahnya telah banyak dimangsa oleh kerutan kulitnya, sehingga dia sedikit kelihatan tampak lebih tua dari usianya. Mungkin wajahnya yang kelihatan lebih tua itu juga disebabkan oleh beban hidup yang selama ini dipikulnya. Selama hidupnya dia belum pernah merasa terbebas dari sebuah rasa tanggung jawab yang terus menerus memasung hidupnya.

Keenam anak Pak Tirto, begitulah nama laki laki itu, lahir pada tahun yang hampir berurutan sehingga berderet deret rata laksana gambar diagram yang menunjukkan tahun tahun pencapaian target perusahaan, yang sering dipasang dikantor kantor perusahaan. Mulai dari anak pertamanya laki laki yang lahir ditahun 1976, menyusul anak keduanya perempuan lahir tahun 1977, kemudian anak ke tiga laki laki tahun1978, lalu anak keempat laki laki tahun1979, anak kelima perempuan tahun 1980 dan terakhir sibungsu laki laki lahir ditahun 1984. Entah karena pengetahuannya terhadap keluarga berencana yang kurang atau memang dia punya prinsip banyak anak banyak rejeki, yang jelas memiliki enam orang anak dengan penghasilannya sebagai sopir bus tidaklah cukup untuk menghidupi kel uarga besarnya. Untuk itulah istrinya ikut membantu Pak Tirto bekerja sebagai tukang jahit pada sebuah garment.. Dari pagi pagi buta sampai menjelang malam, Pak Tirto berkeliling dari satu kota ke kota yang lainnya. Dari terminal ke terminal bus itulah Pak Tirto menafkahi keluarganya. Ajaibnya Pak Tirto tidak pernah sedikitpun mengeluh dengan beban hidup yang begitu berat ditanggungnya. Dia selalu bersemangat mengasuh dan menjaga ke enam anak anaknya dengan baik. Semua anak anaknya dia sekolahkan sampai lulus SMA, bahkan dia berniat menyekolahkan anak anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi..

Dia ingin anak anaknya mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan ilmu yang mereka tempuh.. Sampai untuk menyekolahkan anak anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, Pak Tirtopun rela menjual rumahnya, satu satunya harta berharga yang dimilikinya. Apapun yang terjadi dia telah bertekad menyekolahkan semua anak anaknya sampai ke bangku kuliah meskipun keluarga mereka harus pindah kerumah kontrakan. Namun sekuat apapun perjuangannya, semua yang dia miliki tidaklah cukup untuk membawa anak anak nya sekolah kejenjang yang lebih tinggi sesuai dengan cita citanya. Hanya dua anaknya saja yang beruntung sekolah sampai ke bangku kuliah, yaitu si sulung dan anaknya yang ke tiga. Tujuan Pak Tirto hanyalah, dia tidak ingin anaknya hidup senasib dengan dirinya.

Hidup ini memang hanya deretan angka angka serta metamorofosa. Sekolah, bekerja dan pada akhirnya berkeluarga. Begitulah metamorofosa yang juga terjadi pada keluarga Pak Tirto. Anak anaknya tumbuh besar, sekolah, bekerja dan pada akhirnya mereka harus menikah. Dia berpikir kalau anak anaknya semua telah menikah, tentu beban yang dia tanggung akan lebih ringan. Maka diapun berharap anak anaknya menikah dengan orang yang cukup mapan dan mampu menopang ekonomi keluarga mereka menjadi lebih baik lagi. Sayang sekali pemikirannya itu meleset jauh dari angannya. Setelah keempat anaknya menikah, beban yang harus di tanggungnya bahkan semakin terasa berat. Takdir sepertinya kurang begitu bersahabat terhadap kehidupan Pak Tirto. Keempat anaknya menikah dengan orang orang yang tingkat ekonominya sama dengan keluarga mereka. Untuk menghidupi keluarga mereka saja, mereka kekurangan, apalagi menanggung kehidupan keluarga ayahnya. Padahal mereka semua telah dibekali dengan ilmu yang cukup oleh Pak Tirto. Mereka bahkan menitipkan anak anak mereka dirumah orang tuanya. Anak anak Pak Tirto itu hanya bisa melahirkan anak, dan memberinya nama nama yang indah, tapi tak mampu memberi kehidupan yang layak. Rumah kontrakkan Pak Tirto yang kecil itu sudah seperti layaknya taman kanak kanak saja. Perhatian mereka terhadap keluarga ayahnyapun tidak ada lagi karena mereka telah disibukkan oleh keluarganya masing ,masing. Meski begitu,Pak Tirto tetap menjalani hidupnya dengan tabah dan tanpa keluhan.

Pak Tirto masih berharap, kedua anaknya yang lain akan menikahi orang yang lebih baik dan layak secara materi. Dan harapannyapun hampir menjadi kenyataan manakala anak laki laki tertuanya mulai menjalin hubungan dengan seoorang wanita yang cukup mapan secara materi. Seorang wanita cantik, berpendidikan dan memiliki standard ekonomi yang lebih tinggi dari keluarga Pak Tirto. Memang seperti itulah menantu yang didambakan oleh Pak Tirto. Seperti yang pernah dia katakan kepada istrinya “ Aku memang berharap punya menantu yang kaya bu, tapi sebenarnya aku bukannya materialistis, hanya saja sebenarnya aku sudah lelah hidup dalam kemiskinan. Aku pikir anak anak akan hidup lebih baik dari kita setelah kita bekali dengan ilmu yang tinggi, tapi nyatanya sama saja Bu”. Istrinya hanya tersenyum getir, menyepakati omongan pak Tirto. Itulah untuk pertama kalinya pak Tirto berani mengeluh dan mengungkapkan isi hatinya selama ini terhadap istrinya.
Begitu bahagia dan bangganya Pak Tirto beserta istrinya , saat anaknya itu membawa perempuan yang lumayan kaya kerumah kontrakan mereka yang memang kecil. Tak henti hentinya Pak Tirto menatap calon menantunya dengan tatapan puas, tatapan yang selama ini belum pernah dia perlihatkan terhadap menantu menantunya yang lain. “Yah ….beginilah rumah kami!” Pak Tirto mengawali pertemuannya dengan calon menantunya itu. Wanita yang memiliki status sosial lebih tinggi itu hanya tersenyum menanggapi ucapan calon ayah mertuanya. Calon menantunya itu kelihatan sopan sekali menanggapi obrolan demi obrolannya bersama Pak Tirto dan keluarganya. Pak Tirtopun semakin bangga serta puas melihat betapa santunnya sang calon menantu. Pertemuan demi pertemuan antara keluarga Pak Tirto dan keluarga calon menantunya berjalan dengan baik dan lancar. Tidak ada hambatan yang berarti seperti status sosial ekonomi yang berbeda dan hal hal lain yang berhubungan dengan derajat seorang manusia. Karena memang keadaan kedua keluarga tersebut sangat berbeda layaknya belahan langit dan bumi. Kedua pihak telah sepakat memberikan restu bagi kedua calon mempelai itu untuk menikah. Rencana rencana pernikahanpun telah dipersiapkan dengan matang dan tinggal menunggu hari pelaksanaannya saja.

Pesta pernikahan anak Pak Tirto kali ini diadakan dengan begitu mewah dan meriah. Semua biaya pernikahan ditanggung oleh mempelai wanita. Tak sedikitpun keluarga Pak Tirto mengeluarkan uang untuk pernikahan tersebut. Boleh dibilang ini adalah pesta termewah yang pernah dihadiri oleh Pak Tirto. Karena keempat anaknya yang lain menikah tanpa pesta apapun juga. Mereka hanya menikah secara sederhana didepan penghulu dan kerabat saja. Tapi kali ini rasanya seperti mimpi Pak Tirto melihat anaknya telah bersanding dengan jodoh yang didambakannya itu. Senyum puas tak henti hentinya menghiasi bibir Pak Tirto. Hampir semua tamu yang diundang berdecak kagum memuji anak Pak Tirto. “Wah hebat benar anakmu To, bisa dapat wanita cantik dan kaya pula!” kata salah seorang tamu undangan Pak Tirto. Pak Tirto hanya tersenyum dengan bangga. “ Ah tidak juga, biasalah!” Pak Tirto menanggapi para tamunya dengan nada merendah, tapi itu semua tak mampu menutupi rasa bahagia dan bangganya hati Pak Tirto.

Pesta telah usai, Pak Tirto dan istrinyapun merasa puas. Paling tidak pernikahan anaknya kali ini telah mampu mengobati kekecewaan yang selama ini dia rasakan terhadap anak anaknya yang lain. “ Aku gembira sekaligus puas, semoga pernikahan mereka langgeng ya Bu!” Begitulah Pak Tirto tak henti hentinya mengungkapkan perasaannya kepada istrinya. Istrinyapun tak kalah bahagianya dibandingkan dengan Pak Tirto.

Namun kebahagiaan itu ternyata hanya sesaat. Anak laki laki tertua Pak Tirto yang seharusnya ikut bertanggung jawab dengan kehidupan keluarga mereka, ternyata malah tak rela menanggung beban kehidupan Pak Tirto. Setelah pesta megah itu usai, diapun menghampiri ayahnya, selain berpamitan untuk pindah mendirikan keluarga barunya, tiba tiba saja Rahman anaknya itu mengatakan sebuah kalimat yang hampir membuat jantung pak Tirto berhenti berdetak “Pak, terimakasih sudah membesarkan aku, aku akan tetap memperhatikan kehidupan Bapak, tapi tolong Pak kalau menyangkut soal keuangan, Bapak jangan minta bantuan kepadaku, aku sudah memiliki keluarga sendiri, jadi aku tidak mau ikut campur lagi terhadap kehidupan Bapak” Kalimat seperti itulah yang diucapkan Rahman kepada Bapaknya, dan kalimat itu hampir membuat jantung pak tirto berhenti berdetak. Ternyata pernikahan mewah itu hanyalah mimpi indah, yang ketika pak tirto terjaga, dia hanya mendengar penggalan kalimat kalimat menyakitkan itu. Dengan kaki yang lemas, Pak tirto berusaha tegar. Sambil merapatkan tangannya pada pegangan pintu dia mencoba untuk tersenyum mengantarkan kepergian anaknya. “Jangan kuatir Man, Bapak tidak akan membuatmu repot” hanya itulah kalimat yang pak Tirto sanggup katakan kepada anaknya. Setelah mobil anaknya sudah tak terlihat lagi, Pak Tirto dan istrinyapun saling berpandangan, tak sepatah katapun mampu mereka ucapkan. Hati mereka telah hancur oleh perkataan anaknya. Harapan indah yang mereka rangkai telah berlalu bersama kepergian anaknya. Mereka tak lagi berharap terhadap anak anak yang telah mereka lahirkan. “ Mungkin benar apa yang pernah aku bilang ya Bu! Anak anak itu hanyalah buah dosa yang selama ini telah kita nikmati didunia ini” Entahlah apa makna ucapan dari Pak Tirto, hatinya telah hancur berkeping keping sejak anaknya meninggalkan rumah mereka.

Tiba-tiba dia merasa dirinya begitu tua, lelah dan teraniaya. Kepalanya tak kuat lagi disesaki dengan peristiwa demi peristiwa yang menyakitkan. Tak sanggup lagi membayangkan keluarga yang hidup bahagia. Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah indah yang sederhana sekalipun. Maka tak ada lagi alasan untuk berharap kepada semua anak anaknya itu. Begitulah akhirnya pak Tirto memutuskan ” Biarlah hari esok dia serahkan semua hidupnya kepada sang pemilik kehidupan, karena dari ataslah sebenarnya takdir hidupnya telah direncanakan ”

Senin, 13 Februari 2012

LELAH HATI ........................

Akhirnya kujalani hari hariku tanpa kisah

Seumpama malam menyulam gelap

Hatiku berada pada kisarannya

Terpaku pada ragu yg datang menghimpit sukma



Hariku serasa berjalan tanpa arah

Terjebak dalam kisah yang tak bermakna

Menanti jawaban namun tak terjawab

Menunggu yang hilang namun tak kudapatkan



Telah sekian lama …………..

Kucoba mempertahankan hati

Namun hasrat itu tak kurasa lagi

Semua telah hambar, sejak rasa itu pudar



Meski bersama, aku merasa hampa

Lelah jari-jari ini merenda asa

merapatkan luka yang mulai menganga

Karena asaku sendiri tak pernah menjelma



Pernah kucoba mengerti …………….

Pernah kuberusaha memahami

Namun tetap saja semua tak berarti

Dan ……… hanya sepi hati yang kudapati



Yah ……. Akhirnya kubuat hati ini mengerti

Tak ada yang pernah abadi dibumi ini

Jadi kujalani saja semua seperti ini

Menanti suratan hidup ini berganti





Surabaya, 13 Februari 2012, buat yang hari ini mengaku sangat lelah hatinya ............ semoga tetap semangat, hidup ini sangat indah!!!!!

SEPI


Sepi itu datang tanpa diundang
Ia datang menghantam jiwa yang terluka
Tidak hanya singgah untuk sesaat
Namun ia tinggal meresahkan rasa
Memangsa habis semua malam
Hingga berganti dengan pagi yang sama
Seperti hari hari kemarin
Dingin dan hampa terus merasuk jiwa
Masih sama pula yang aku dapati
Matahari yang enggan bersinar
Sepi ……..dan aku yang sendiri

Minggu, 07 November 2010

MEMBUNUH KUCING TETANGGA

Meong……Meong…...Meong…… prak!! Kucing berwarna coklat itu berusaha berlari sambil mengeong, menghindari lemparan sandal yang memang aku gunakan untuk mengusirnya. Aku melihat kucing itu berlari menyelinap dibawah pagar besi yang memagari halaman rumah kontrakkan kami. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya kucing itu masuk kedalam rumah kontrakan yang hampir satu tahun terakhir ini kami tempati. Namun akhir akhir ini kucing itu sudah membangkitkan kemarahanku termasuk keempat temanku yang notabene sangat menyayangi mahluk bernama binatang itu. Mungkin kalau aku yang marah dengan ulah kucing sialan itu, masih wajarlah, karena sepanjang ingatanku, aku memang tidak pernah jatuh hati dengan mahluk bernama binatang, apapun bentuknya itu. Entahlah selain aku memang tidak suka, rasanya geli sekali melihat mahluk hidup selain manusia menghuni bumi ini. Dan yang terjadi keempat temanku penyayang binatang itu juga ikut ikutan kesal dengan ulah kucing tersebut. Bagaimana tidak kesal kalau setiap hari ada saja yang dilakukan kucing itu dirumah kami. Selain kotorannya berserakan disetiap pot pot bunga yang sengaja kami susun dihalaman rumah, kucing itu juga sering memporak perandakan tempat sampah yang terletak disudut dapur rumah kami. Mungkin ia mencium sisa sisa tulang bekas makan semalam ditempat sampah. Sehingga begitu kami pulang dari kantor sore hari, aroma tidak sedap dan sampah yang bertebaran kemana mana menjadi pemandangan kami hampir setiap hari.
Kucing berwarna coklat yang hampir setiap hari mondar mandir dirumah kami itu memang tidak seperti kucing kebanyakkan. Bentuk tubuhnya lumayan besar, bulunya lebat berwarna coklat bersih, tatapan matanya tajam, dan kuku kukunya juga kelihatan runcing. Dilihat dari bentuknya saja, aku yakin kucing itu pasti memiliki seorang tuan, karena memang kucing tersebut lumayan terawat. Bahkan dilehernyapun terpasang sebuah kalung rantai kecil dengan liontin berbentuk hati. Tapi bagaimanapun bentuknya aku benar benar sudah tidak bisa mentolerir kelakuan kucing itu. Apalagi akulah yang hampir setiap hari bertemu muka dan memergoki aksi serta ulahnya.
Dan kekesalankupun memuncak tatkala suatu siang dihari sabtu, ketika kami semua tidak bekerja, seperti biasa kami selalu menyempatkan diri untuk membersihkan rumah. Dan sebagai akhir ritual dihari sabtu itu, kami selalu mengakhirinya dengan makan bersama. Siang itu aku yang bertugas untuk memasak, dengan menu andalan soto ayam yang menjadi favorit kami berlima. Rasanya semua lelah terbayar sudah dengan mencium aroma soto yang menggugah selera itu. Tetapi, alamak!!! belum sempat kami menikmati semua makanan itu, tanpa sepengetahuan kami kucing itu mencuri ayam goreng yang tersajii sebagai santapan makan siang kami.
“Aku harus membunuh kucing sialan itu!!” Teriakku lantang.
“Apa yang ia lakukan Vin?” Lia rupanya terkejut mendengar teriakkanku, bahkan anak anak yang lainpun ikut berkerumun menuju ke dapur.
“Tamatlah kita hari ini, semua ayam goreng kita diembat kucing sialan itu!” teriakku geram. “Semuanya Vin?” Rini berbicara sambil melongok isi piring yang hanya tersisa sayap ayam kecil, dengan helaan nafas kecewa.
“Yah kita makan nasi sama kuah soto aja dong!
Teman-temanku nampak kesal juga terhadap kucing itu, sedangkan kucing itu dengan asyiknya menikmati ayam hasil curiannya didepan teras rumah kami, tidak peduli si pemilik rumah sangat geram dengan ulahnya. Aku mengambil sapu lidi yang terletak dipojok taman, tanpa ampun lagi aku melemparkannya ke arah kucing itu.
Brak !!! Ngeong……..ngeong………Rasain kucing sialan!!! Teriakku.
Dan sejak siang itu aku menyimpan dendam kesumat terhadap kucing tersebut. Tidak peduli apapun yang kucing itu lakukan, setiap kali aku melihatnya masuk kedalam rumah, selalu saja aku berteriak untuk mengusirnya. Aku benar-benar kesal dibuatnya, kalau tidak kotorannya yang berserakkan, sampah dirumah selalu saja dibuatnya berantakan. Maka dengan segala kesadaranku, aku berniat untuk merencanakan sebuah pembunuhan, pembunuhan terhadap seekor kucing. Sebenarnya aku tak punya nyali untuk membunuhnya, tapi tekad dan kemarahanku telah menutup mata hatiku untuk mentolerir ulah kucing itu.
Pus…..Pus…..Pus…… wanita tua itu mondar mandir didepan rumahku,tanpa bicara sepatah katapun kecuali terus memanggil-manggil kucing yang memang selalu tiduran diteras rumahku itu. Tetapi kucing itu sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Entahlah aku sendiri tidak pernah tahu, kenapa kucing itu sangat menyukai rumah kami menjadi tempat favoritnya. Bahkan hampir setiap hari kucing itu selalu berkeliaran, keluar masuk rumah kami seenaknya, tanpa merasa takut sedikitpun. Padahal hampir setiap kedatangannya, ada saja barang yang aku lemparkan untuk mengusirnya, tetapi ia selalu datang dan datang kembali. Pus…..Pus……Pus…… kembali aku mendengar suara memanggil manggil kucing itu, namun kali ini suaranya agak berat. Aku mengintip dari balik jendela, Oh……rupanya laki laki yang sering kali mondar-mandir di depan teras rumah kami itu juga salah satu dari pemilik kucing yang rencananya akan kubunuh itu! Aku berbicara dalam hatiku. Ehm…. Pantas!!! Sama sama misterius dengan kucingnya. Semula kami semua memang tidak pernah tahu kalau laki-laki misterius yang selalu mondar-mandir didepan teras kami itu adalah sang tuan dari kucing yang selama ini selalu ada dirumah kami. Karena laki laki yang usianya kira kira 45 tahunan itu, hampir setiap hari berdiri didepan pintu pagar rumah kami, tanpa bicara, tanpa suara. Aku dan teman-temanku berpikir, laki laki itu mungkin mengalami gangguan jiwa, dan memang seperti itulah yang aku dengar dari para tetangga. Akhirnya aku mengerti, ia berdiri didepan rumah kami, untuk mengawasi kucing kesayangannya itu. Seperti ada chemistry yang kuat antara ia dan kucingnya, kali ini kucing itupun langsung keluar dari peraduannya untuk pulang bersama dengan tuannya. Pemandangan seperti itu hampir setiap hari aku lihat, kucing itu tidur tiduran didepan teras rumah kami dan kemuian sang tuan segera menjemputnya. Kalau tidak laki laki itu, maka perempuan tua yang kemungkinan adalah ibu dari laki laki itulah yang datang menjemput kucingnya. Melihat kebersamaan yang menarik itu, tak juga menyurutkan niatku untuk menghabisi nyawa kucing itu.
Setelah banyaknya kejaian serta ulah yang menjengkelkan dari kucing itu, rasanya tak bisa ditawar-tawar lagi niatku. Kucing itu harus lekas dibunuh. Kalau tidak, akan berbahaya bagi kami semua, semua yang berada dirumah ini. Bagaimana tidak, kemarin kucing itu membawa bangkai tikus kedalam rumah, dan aroma tak sedappun mewarnai rumah kami. Pasti akan ada banyak virus yang bercokol dirumah kami akibat dari bangkai tikus yang dibawanya. Aku tidak peduli lagi siapa pemilik kucing itu, dan betapapun berartinya kucing itu, yang jelas aku sudah punya niat untuk menghabisinya. Kalau perlu aku sendiri yang akan merenggut nyawanya. Karena semua orang dirumah ini terlalu lemah untuk sekedar membunuh seekor binatang, bahkan salah satu dari keempat temanku itu sama sekali tidak berani membunuh binatang apapun, meski hanya untuk seekor semutpun. Sebelumnya tak pernah terbersit sedikitpun rencana untuk membunuh kucing itu. Bahkan aku sadar, niatku pasti akan ditentang oleh keempat temanku yang mempunyai label penyayang binatang itu. Namun kali ini aku tak berdaya menahan gejolak hatiku, kegeramanku terhadap kucing itu telah membuat darahku naik sampai keubun ubun.
Lia langsung tertawa ketika aku menceritakan niatku untuk membunuh kucing tetangga sebelah tersebut. Bahkan hampir seisi rumah ikut menertawakan niatku itu. Mereka berpikir aku sedang bercanda saja.
“ Kamu serius mau membunuh kucing itu? Vin, memangnya kamu tidak takut?” Kata Cicil yang paling antusias mendengar rencanaku untuk membunuh kucing tetangga sebelah itu. “ Aku serius Cil, makanya aku masih mencari cara yang tepat untuk melenyapkan kucing sialan itu dari muka bumi ini”, aku menjawab dengan berapi api. Tekadku memang sudah bulat untuk segera menghabisi nyawa kucing yang sudah membuat darahku naik sampai keubun ubun setiap melihat kucing itu berada di rumahku. “ Hati hati lho, nanti kamu kualat”, Leni mulai berkomentar. “ Dulu nenekku pernah bercerita, kalau kita membunuh seekor kucing, kita akan mendapatkan musibah” dengan serius Leni mulai menjelaskan sebuah mitos yang memang pernah aku dengar itu. “ Iya tuh aku juga pernah dengar lho!” Rini yang dari tadi nampak iam mulai ikut ikutan berbicara. “ Ah Vina, sudahlah urungkan saja niat kamu itu, bikin takut orang aja deh!” teriak Lia. Aku cuma tersenyum menanggapi kata-kata mereka. Tapi niatku untuk membunuh kucing itu sudah tidak dapat terbendung lagi. Aku tidak akan mundur dari rencanaku semula, dengan ataupun tanpa dukungan dari teman temanku. Dihatiku hanya ada satu niat “ Aku harus membunuh kucing sialan itu!”
Pagi itu sebelum niatku untuk membunuh kucing itu terlaksana, aku melihat kucing itu terkapar tanpa nafas didepan pagar rumah dengan aroma busuk yang menyengat. Aku terkejut sekali, apa yang terjadi dengan kucing itu, kenapa tiba tiba kucing itu mati? Pertanyaan pertanyaan itulah yang menggerayangi pikiranku. Tiba tiba laki laki yang menjadi tuan dari kucing tersebut menangis sejadi jadinya, meratapi jasad kucing kesayangannya. Ia tak mampu menampung kesedihannya. Dipeluknya kucing tak bernyawa itu sambil terus meraung-raung. Seperti anak kecil, laki laki itu terus menerus berteriak meratapi kepergian kucingnya. Dan aku mendengar ia memanggil-manggil sebuah nama, kalau tidak salah dengar ia memanggil manggil nama “Marni”. Aku bersama dengan teman-temanku serta beberapa tetangga yang kebetulan melihat adegan itu, hanya bisa saling bertatapan, tanpa pernah bisa memahami sepenting apakah arti kucing itu bagi laki laki itu. Aku melihat tatapan mata nelangsa dari laki-laki itu, dirinya terus menerus memeluk kucing itu sambil berteriak “Marni, Marni, maafkan aku!!” Sampai akhirnya laki-laki itu membawa kucing tak bernyawa itu masuk kedalam rumahnya,sayup sayup masih ku dengar isak tangisnya, serta teriakkannya memanggil mangil nama Marni. Begitu laki laki itu menghilang kedalam rumahnya, aku langsung menerima tatap curiga dari teman-temanku. “Jadi juga kamu melaksanakan niatmu Vin?” teriak Lia, “ Kasian lho Vin, kamu jahat banget sih?” kata Cicil, “Kita memang kesal dengan kucing itu, tapi kita juga tidak sampai hati kalau harus membunuhnya” Leni ikut ikutan menyalakahkanku. Aku iam tanpa bisa berkata-kata, perasaanku miris sekali melihat kejaian yang baru saja terjadi. “Bukan aku yang membunuhnya teman-teman!” aku berkata dengan perasaan kesal terhadap tuduhan teman-temanku. “Terus kenapa kucing itu tiba tiba mati?” Lia menyudutkanku. “Mana aku tahu! Aku sendiri juga kaget, tiba tiba melihat kucing itu sudah mati!” Dan kematian kucing yang secara misterius itu, semula masih menjadi tanda tanya besar bagi kami semua. Sampai akhirnya dari tetanggaku yang lain, aku mendengar ternyata kucing itu mati karena memakan bangkai tikus yang mati karena racun. Setelah misteri kematian kucing itu terungkap, teman-temankupun kelihatannya bernafas lega mendengar berita itu. Paling tidak kami tidak perlu merasa bersalah akibat kematian kucing itu, meskipun aku nyaris merencanakan pembunuhannya. Entahlah aku harus merasa senang dengan kematian kucing itu atau aku harus merasa menyesal memiliki niat membunuhnya, karena tangisan serta teriakkan laki laki itu sepertinya terus menerus terngiang-ngiang menghantui pikiranku. Marni?Siapakah Marni yang namanya terus dipanggil panggil oleh lelaki itu? Nama kucing itukah atau nama siapa? Pertanyaan pertanyaan itu silih berganti menghampiriku.
Aku masih penasaran dengan peristiwa kematian kucing tersebut. Tetapi belum habis rasa penasaranku terhadap kucing yang ingin kubunuh itu, tiba tiba keesokan harinya kami semua, bahkan semua tetangga yang ada dikomplek perumahan kami, dikejutkan dengan berita yang benar benar menggemparkan. Laki laki pemilik kucing itu menghabisi dirinya sendiri dengan meneguk segelas racun serangga. “Hah!! aku terkejut, bahkan shock mendengar berita itu. “Hanya karena seekor kucing laki laki itu bunuh diri? Begitu berartikah kucing itu, sampai laki laki itu berniat mengakhiri hidupnya setelah kematian kucingnya? Beruntung sekali aku belum melaksanakan niatku untuk membunuh kucing itu, kalau saja aku yang membunuhnya, berarti sekarang aku jugalah yang telah membunuh laki laki itu. Tiba tiba seluruh tubuhku menggigil dipenuhi oleh perasaan takut yang begitu menggunung. Dalam hati aku mengutuki laki laki itu, ah betapa bodohnya laki laki itu, seolah kucing itu adalah penentu takdir kematiannya.
Aku tidak berani keluar rumah, sejak kejaian itu. Bahkan semua teman serumahku tidak mau lagi berada diteras untuk sekedar bercengkrama seperti biasanya. Dengan alasan, masih terbayang bayang dengan sosok laki laki pemilik kucing itu. Berita kematian kucing yang disusul oleh pemiliknya itu benar benar menjadi topik yang menghebohkan para tetangga disekitar rumah kami. Lewat obrolan dengan beberapa tetanggaku itu, sedikit demi sedikit akhirnya aku menemukan rangkaian cerita yang cukup dramatis dan membuat perasaan setiap orang yang mendengarnya jadi miris. Kucing yang sudah seperti belahan jiwa bagi laki laki itu ternyata pemberian dari seorang wanita bernama Marni yang telah meninggal. Marni adalah kekasih dari lelaki itu. Sebelum meninggal Marni menitipkan kucing kesayangannya itu untuk dirawat. Memang sejak kepergian kekasihnya yang bernama Marni itu, laki laki tersebut sedikit mengalami gangguan jiwa. Dan hanya kepada kucing itulah jiwanya mampu berkata kata dan berbagi rasa. Ah… lagi lagi cinta membuat manusia kehilangan akal sehatnya. Cinta…. Siapa yang pernah mengundang cinta itu untuk datang, kalau pada akhirnya hanya membuat hati nelangsa dan putus asa? Kasihan laki laki itu, cinta telah membawanya pada pusaran tak bertepi dan membuatnya terluka begitu dalam. Tiba tiba ada perasaan menyesal yang cukup dalam dari hatiku, kenapa aku harus berniat membunuh kucing itu? Kucing yang ternyata mampu mewakili pernyataan cinta seorang wanita bernama Marni terhadap laki laki itu. Yah, itulah misteri kehidupan, hidup memang rahasia besar yang tak hanya ialami dalam cerita laki laki itu saja, karena setiap orang pasti akan menempuh misteri kehidupannya masing masing.
Pus ……pus…..pus…….sayup sayup kudengar suara seorang laki laki memanggil manggil seeokor kucing. Aku mencoba memberanikan diri mengintip dari balik jendela. Deg…..jantungku berdegup dengan kencang, seolah darahku serasa berhenti mengalir. Aku serasa tidak percaya pada penglihatanku sendiri, seperti gambar yang silih berganti berebut imajinasi merasuk ketakutan dijiwaku. Seperti sebelum kematiannya, laki laki itu berdiri dibalik pagar melihat pada kucingnya. Aku iam membatu tanpa bisa berkata kata, serasa tubuhku tersengat halilintar. Pemandangan dibalik pagar rumahku itu begitu nyata,padahal baru tadi siang lelaki itu telah disatukan dengan bumi. Dalam iamku masih sempat kulihat sepasang mata laki laki itu menatap tajam kearahku, seolah ingin menyalahkanku atas kematian kucingnya. Aku tetap tak bergeming, entahlah kemana jiwa dan ragaku berkelana, kakiku masih melekat pada bumi. Ingin aku berteriak membela diri “Bukan, bukan aku pembunuh kucing itu!”
January 2007

Rabu, 03 November 2010

SAHABAT

Rasanya telah begitu lama kota ini tak pernah aku kunjungi. Aku sudah lupa kapan terakhir aku berada disini. Tapi hari ini aku harus berada dikota ini, di Surabaya, kota yang terkenal dengan berbagai macam makanan khasnya dan segala keramahan penduduknya. Adikku yang paling kecil akan bertunangan, dan aku harus hadir untuk menyaksikannya. Itulah alasanku, kenapa aku harus berada di Surabaya, kota yang pernah memberiku kenangan paling pahit tentang cinta. Kota yang pernah memberiku kesedihan paling dalam sekaligus tempat yang telah membuatku pintar dan membentukku menjadi aku yang sekarang ini. Seharusnya aku bisa berdamai dengan suasana kota ini, namun semua ingatanku menuntunku untuk tidak mengingatnya lagi. Mengingat sebuah drama tentang penghianatan cinta yang dilakukan oleh sahabatku Erna. Sebenarnya aku sudah melupakan kenangan pahit itu, namun setiap kali aku berada di Surabaya, ingatan itu otomatis muncul dalam otakku. Sedih sekali mengingatnya. Apakah selama ini aku memang hanya pura pura melupakannya? Entahlah.........aku masih saja menyimpan bara setiap kali berbicara tentang Erna, teman satu kostku yang begitu akrab denganku. Selintas mataku menerawang membayangkan peristiwa 12 tahun silam. Dimana aku pernah memiliki seorang sahabat yang telah begitu dekat, baik dihati dan dijiwaku. Sahabat yang telah tega mencurangiku, yang diam diam menjalin cinta dengan orang yang aku cintai, Aldy. Sudah begitu lama, namun sakitnya masih bisa dirasakan sampai sekarang.

Aku sedang menikmati coklat panas di dunkin donuts yang ada didepan Universitas Surabaya. Sengaja aku memisahkan diri dari rombongan keluargaku, untuk menikmati jalanan surabaya ini sendirian. Menikmati coklat panas serta muffin rasa keju ......ehm rasanya nikmat, perpaduan rasa yang pas. Ahh........sungguh nikmatnya dunia ini. Tapi berbicara soal nikmatnya coklat panas dan muffin rasa keju di dunkin donuts, sungguh membuatku kesal. Tempat ini sebenarnya adalah tempat pertama kali aku memergoki penghianatan yang dilakukan oleh Erna. Hm…. Lagi lagi aku jadi kesal sendiri setiap kali mengingatnya. Aku menyesal pernah menjadikannya seorang sahabat. Harusnya aku tak mengenalkan Aldy kepada Erna, kalau aku tahu Aldy akan berpaling hati. Aku sangat menyesal mengingat kejadian itu. Karena beberapa hari setelah itu, aku lihat mereka tengah jalan berdua tanpa kehadiranku. Mengingatnya saja membuat aku ingin muntah sekarang. Gayanya yang sok bijaksana, juga sok ingin membuat orang tenang di sebelahnya. Nyatanya palsu! Ia seringkali menasehati aku untuk menjauhi Aldy, tapi rupanya ia menyimpan hatinya untuk Aldy. Keterlaluan!!
Erna, menurutku tidak terlalu menarik. Kulitnya tidak seterang kulitku, bahkan kulitnya mirip warna air aquarium tante kosku yang belum dibersihkan selama sebulan. Maaf ya bukannya aku menghina, tapi begitulah kenyataannya. Kalau kulitku lebih bersih, orang bilang kuning langsat. Berbeda dengan Erna yang memiliki kulit sedikit keruh, kurang bercahaya. Wajahku lebih sedikit oriental, diturunkan dari nenekku, semua itu begitu kental mengidentitaskan diriku sebagai gadis keturunan indo yang cantik. Aku bukannya sombong atau melebih-lebihkan. Tapi begitulah orang orang sering memujiku. Tentu saja aku akan selalu mengingatnya dan mencatatnya dilubuk hatiku yang terdalam. Erna asli Jawa, tak ada campuran apa-apa. Kalaupun ada, paling dari jawa dan sekitarnya. Aku pernah kok bertanya tentang silsilah keluarganya. Aku bilang sih, wajahnya lumayan ndeso gitu. Ahhh… aku tidak simpati lagi pada Erna. Bahkan, aku telah membakar dan tak mau lagi menyimpan foto-foto kami sewaktu liburan di Yogyakarta berdua.

Persahabatan yang kami bina beberapa tahun itu, akhirnya hanya tinggal kenangan saja. Erna telah menghancurkannya. Ia telah menghianati persahabatan kami, dengan diam diam menjalin hubungan dengan Aldy, orang yang paling aku cintai diseantero bumi ini. Bahkan kalau bisa seluruh mahluk laki laki dibumi ini ingin kuberi nama Aldy didepan nama nama mereka. Aku memang sudah cinta abis terhadap Aldy, setidaknya begitulah suasana hatiku saat itu, sebelum Erna menghianatiku. Erna sangat tahu isi hatiku, karena tak ada sedikitpun hatiku yang tersembunyi didepan Erna.Semua serba terbuka didepan Erna, begitupun sebaliknya aku tahu semua tentang Erna. Anak anak satu kos sampai cemburu melihat keakraban kami. Dimana ada aku, disitu juga pasti ada Erna.
Aku benci perempuan itu! Aku pikir ia sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Tanpa basa-basi dan tak meminta pendapatku sebelumnya, ia berani jalan berdua dengan orang yang aku cintai. Apa ia tak punya etika berteman? Padahal aku yang mengenalkannya pada cowok bernama Aldy itu. Seingatku, Erna juga yang dulu memaksa-maksa agar aku tak berhubungan dekat dengan Aldy. “Kamu jadi tidak ceria, setelah jatuh cinta dengan Aldy. Ia itu kan usianya jauh dibawah kamu! Sudahlah lupakan anak kecil itu” begitulah nasehatnya yang sok dewasa ketika aku mengeluh tentang hubunganku dengan Aldy, cowok yang usianya lebih muda empat tahun dibawahku. Dasar pagar makan tanaman!! Semua kata katanya palsu belaka!!!
Aduh……setiap kali aku mengingat peristiwa itu, rasanya aku ingin makan sebanyak mungkin. Tiba tiba bakso kikil diperempatan jalan Ngagel Jaya jadi melintas dikepalaku tanpa permisi. Bakso dengan potongan kikil , kuahnya dikasi sambal dan saos tomat serta dipadukan dengan lontong, Nikmatnya luar biasa……aku bahkan masih bisa merasakan nikmatnya dilidahku sampai sekarang, meskipun semua kejadian itu telah berlalu. Sayang sekali ingatan itu harus segera kutepis, karena dulu aku sering menikmati bakso kikil itu bersama dengan Erna. Sahabat karibku!! Menyebalkan memang ……membayangkan nikmatnya bakso kikil, sekaligus peristiwa yang menyakitkan itu. Semuanya memang harus terangkai satu paket spesial. O ya… ada satu yang masih terlupakan, minumnya es kelapa muda…………..hmm enaknya!!! Setelah itu aku langsung makan buah nanas sepulang dari pesta kecil itu, supaya semua lemak , daging bakso yang aku makan segera larut dan dicerna dengan mudah oleh perutku. Begitulah teorinya, menurut beberapa sumber yang aku sendiri tak tahu kebenarannya, dan ritual pelarutan itu tetap kulakukan. Walah…..benci aku mengingatnya!! Aku jadi benci kota ini, Ini semua gara gara penghianatan cinta yang dilakukan oleh sahabatku Erna. Tuh kan hatiku jadi panas. Huh……sepanas bakso kikil pak Jo dipojokan Ngagel.

Semua kisah 12 tahun lalu itu nyatanya terulang kembali dalam napak tilasku sehari ini di kota Surabaya. Ternyata memang benar menyimpan masa lalu yang menyakitkan itu lebih mudah dari pada melupakannya. Aku akui, sejak aku jatuh cinta dengan Aldy, aku merasa hidupku telah berubah, ia memberiku warna indah dalam setiap langkah hidupku, dan Erna tahu itu. Namun sayang, semua keindahan itu tak berjalan mulus, semua terhalang oleh usia diantara kita. Dan itulah problem yang selalu menjadi topik kami sehari hari. Erna sama sekali tak pernah bosan mendengarnya, ia memang pendengar yang baik. Namun sayang pada akhirnya aku telah salah menobatkannya menjadi sahabat terbaikku dibumi ini.
Coklat panas yang ada didepanku jadi dingin sebelum habis kuminum, aku masih merenungkan masa lalu itu. Ada sedikit gundah merayapi hatiku. Berkali kali aku mengusirnya pergi dari hatiku, namun rasa itu tetap kerasan. Entahlah sampai kapan aku bisa berlenggang dengan tenang dikota ini. Peristiwa itu membuatku terluka dalam. Aku merasa rendah dan dipermalukan. Sakitnya telah mampu merubah kehidupanku. Sejak saat itu aku tak pernah bisa percaya lagi terhadap orang lain. Aku hidup sendiri tanpa pernah peduli pendapat orang lain. Aku jadi tidak pernah ingin memiliki sahabat dekat kembali. Tak ada yang ku akui sebagai sahabat dibumi ini. Semua hanya teman biasa. Tak pernah lebih dari itu. Hasilnya aku jadi terbiasa dengan kesendirian. Dan aku tak pernah butuh sahabat. Kau tentu menganggapku berlebihan teman? Begitulah yang aku rasakan. Aku malu, aku merasa tak berharga dan dicampakkan. Kalau orang lain, mungkin aku masih bisa menerima keadaan ini dan dengan mudah pula aku pasti sudah melupakannya. Tapi ini sahabatku sendiri teman. Orang yang setiap hari bersamaku membicarakan cintaku........ dan ia juga yang menghancurkannya. Erna memang sutradara yang hebat, setiap hari yang ia lakukan adalah memberiku banyak peran diantara percintaanku dengan Aldy. Aku harus begini, aku harus begitu dengan Aldy nantinya............dan semuanya diatur dengan rapi oleh Erna, sampai drama penghianatan itu terbongkar dan aku melihat sendiri Erna sedang berjalan berduaan dengan Aldy sambil bergandeng tangan. Menyakitkan!! Apa kau sudah bisa merasakan apa yang aku rasakan teman?

Begitulah...........kenapa aku sulit sekali melupakan kejadihan pahit itu, karena aku masih malu, baik kepada diriku dan juga teman temanku. Malu karena Aldy, laki laki yang aku cintai itu mau juga berbagi hati dengan sahabatku. Perasaanku langsung hancur, cintaku terhadap Aldy berubah menjadi kebencian yang mendalam. Nyatanya waktu tak juga mampu menghapusnya, meski semua telah lama berlalu. Entah kemana sekarang Aldy dan Erna berada. Aku tak pernah ingin mendengar kabarnya. Setelah jalinan cintanya diam diam terhadap Aldy terbongkar, Erna sempat mengatakan ”Maaf aku telah merusak persahabatan kita, tapi aku berjanji untuk memperbaiki semuanya. Aku mau kita tetap bersahabat. Aku akan memutuskan hubunganku dengan Aldy. Aku lebih memilih persahabatan kita dibandingkan harus berhubungan dengan Aldy” Begitulah kata kata palsunya saat menghiburku. Dan memang beberapa saat Erna mampu mengelabui hatiku. Ia mulai intens mengajakku keluar makan, dan berusaha bersikap seperti dulu sebelum berkhianat. Namun itu hanya sesaat, nyatanya ia tak berkuasa atas cintanya terhadap Aldy. Pada akhirnya iapun pasrah menerima kebencianku.

Aku belum beranjak dari dunkin donuts, kebetulan hujan turun membasahi jalanan kota ini. Tanpa aku sadari ada yang menggenang di pelupuk mataku. Terasa kompak dengan air yang mengalir dari langit. Aku begitu sedih. Telah begitu lama aku memendam kebencian terhadap Erna, dan ternyata waktupun tak pernah mampu memberiku ruang untuk aku berlapang dada memaafkannya. Aku sangat menyesal teman. Ia itu sahabatku, aku begitu menyayanginya. Antara benci dan rindu berbaur menjadi satu selama belasan tahun dan aku tak pernah goyah oleh permintaan maaf macam apapun. Hatiku telah beku untuk sekedar berbaikan kembali dengan Erna dan juga Aldy pria yang aku cintai sekaligus turut aku benci itu. Ada pengalaman berharga dari kisah drama antara aku dan Erna, kisah yang sebenarnya bersumber pada diriku sendiri dan bukan pada seorang Erna, sikapku terhadap Erna selama ini hanyalah ungkapan kehampaan yang mendalam dari diriku. Ahh.... apa sebenarnya yang aku mau dalam hidup ini? Bukankah aku juga telah memiliki pengganti Aldy? Pria yang lebih baik dan lebih segalanya dari Aldy. Memang tidak menjadi nomor satu itu menyakitkan, tapi memendam rasa bencipun sebenarnya tidaklah nyaman. Kalau aku pikir pikir sebenarnya Erna adalah salah satu sarana yang Tuhan pakai untuk menuntunku menjadi aku yang sekarang ini, andai Erna tak berkhianat, andai aku tak pindah kekota Jakarta ini. Mungkin cerita hidupku akan berbeda, entahlah jadi seperti apa aku. Tapi begitulah manusia, tak pernah rela menerima kenyataan pahit yang terjadi didepan mata. Padahal dengan kejadian yang terjadi, Tuhan merencanakannya untuk sesuatu yang lebih baik dimasa mendatang.

Surabaya, 23 Desember 2009 Dunkin Donat depan UBAYA

JANGAN PANGGIL AKU MERRY !!

Ini adalah kisah cintaku. Dulu aku pernah menjadi orang yang paling bahagia dibumi ini. Punya cerita cinta yang indah, kekasih yang setia serta semua hal yang indah indah dibumi ini pernah menjadi milikku. Merry adalah namaku, nama yang cukup indah, pemberian kedua orang tuaku. Nama Mery memiliki arti riang dan bahagia. Orang tuaku berharap dengan memberi nama itu, aku akan membawa keceriaan dan kebahagiaan bagi orang orang yang ada sekitarku. Cukup manis bukan? Tapi .......akhir akhir ini nama itu menjadi sangat aku benci. Ketika orang memanggil namaku, seperti ada rasa nyeri yang luar biasa menghantam dadaku. Kau tahu kenapa? Semua itu terjadi sejak Hermawan, kekasih yang paling aku cintai berpaling hati kepada wanita lain yang bernama sama denganku, Merry. Suatu kebetulan yang menyakitkan. Dan sejak itu pula aku langsung membenci namaku sendiri. Yah….mungkin aku harus melupakan namaku.
Disatu sisi namaku adalah Merry, namun disisi yang lain aku tidak ingin lagi mendengar nama Merry disebut sebut lagi . Sungguh sesuatu yang sangat rumit terjadi ketika ada seseorang yang memanggil namaku. Lalu apakah aku harus mengganti namaku?. Beberapa waktu ini aku sempat bergelut dengan perasaan luka yang berkepanjangan. Hanya karena Mery dan Mery!! Kejadian itu membuatku begitu membeci diriku sendiri. “Jangan panggil aku Merry!” pintaku kepada siapapun yang mengenalku. “ Lalu kami harus memanggilmu apa? Bukankah itu memang namamu?” Tanya mereka dengan sikap bingung mendengar permintaanku. “Terserah panggil apa saja , asal jangan Merry?” Harapku memohon. Kejadian itu membuatku ingin hidup dalam tubuh seseorang. Aku ingin menjadi orang lain, siapapun itu kecuali menjadi manusia bernama Mery. Aku tahu itu tidak mungkin. Itu adalah sebuah dusta yang berusaha aku buat untuk diriku sendiri. Dusta murahan yang membuat diriku menjadi bahan olok-olok didalam diriku sendiri. Suara hati nuraniku berperang melawan kenyataan yang sesungguhnya.
“ Merry aku telah mempertaruhkan segalanya!!Tetapi kenyataan hidup berkata lain. Aku tak sanggup lagi menggenggam janji kita. Orang tuaku tak pernah menyetujui hubungan kita. Telah sekian lama aku berpikir, mungkin aku memang tak ditakdirkan untuk memilikimu” Itulah ucapan Hermawan kepadaku disiang yang naas menurutku. Karena sejak itu langit tak pernah nampak biru dimataku. Hanya kalimat pendek, tapi setidaknya tak berbeda jauh dengan drama satu babak tentang penghianatan seorang kekasih. Tatkala cinta tak lagi mengisi salah satu dari dua hati. Hermawan telah ingkar janji, dan semudah itu ia mengucapkanya. Padahal hatiku begitu hancur menerima pernyataannya. Aku tertatih tatih mengumpulkan sisa sisa tenagaku untuk berusaha meneruskan hidup ini meski tanpa Hermawan. Namun belum sempat luka akibat dicampakkan oleh Hermawan itu sembuh, tiba tiba saja tanpa butuh waktu yang lama Hermawan telah mampu berpaling kepada wanita lain, wanita yang bernama sama denganku. Hermawan telah melukaiku dengan pilihannya. Ia menjadi laki laki yang tak setia setelah kami menjalin hubungan selama empat tahun. Aku tak kuasa. Aku telah menyerahkan diriku sepenuhnya , tapi tampaknya hanya separuh diri Hermawan yang ingin memilikiku. Aku seperti manusia bodoh yang kehilangan arah. Masa depankupun nampak menjadi samar samar. Semua karena perasaan cintaku yang terlanjur dalam terhadap Hermawan.
Perempuan bernama Merry lainnya itu adalah perempuan yang kebetulan aku kenal digerejaku. Ia tak sepenuhnya bersalah terhadap berpalingnya Hermawan. Namun aku begitu membencinya dengan seluruh hatiku. Apa boleh aku bertanya ” Bagaimana seandainya kau menjadi diriku? Apa yang harus kulakukan? Tolong beritahu aku, supaya aku bisa melepaskan diriku dari jerat cinta Hermawan ”. Mungkin pernah bersama Hermawan memang telah menjadi takdir hidupku. Hampir empat tahun aku dan Hermawan menjalin cinta. Kami memang berbeda, Hermawan terlahir dari keluarga yang kaya, sedangkan aku hanya terlahir dari keluarga yang biasa. Memang kami tak sepadan dalam hal materi, namun aku yakin jika cinta yang semula menurutku kuat itu pasti akan mampu menghadapi rintangan apapun juga termasuk harus berhadapan dengan orang tua Hermawan. Tak kusangka Hermawan akhirnya menyerah dan dengan cepat berpaling, padahal hatiku sangat kerasan tinggal dalam hidupnya.
Dulu pertemuanku dengan Hermawan memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan antara dua manusia yang tiba-tiba saling mendekat, tanpa kita pernah sadari bahwa pada akhirnya pertemuan itu bermuara pada sebuah kisah cinta. Dari sebuah rasa yang biasa, akhirnya bisa menjadi sebuah perasaan yang membuatku ketagihan. Seperti pertemuan dua telapak tangan yang sama, yang selama ini mungkin hanya hadir dalam cermin. Klop sudah! Dulu aku mensyukuri semuanya, seperti halnya mensyukuri pertemuanku dengan Hermawan. Namun sekarang semua telah berubah, ingin ku bunuh sosok Hermawan dalam tubuhku, entah bagaimanapun caranya. Aku tak yakin jika putaran waktu akan membuatku melupakannya, karena disetiap aliran darahku telah dipenuhi dengan sosok Hermawan.
Hari harikupun langsung dipenuhi dengan air mata. Namun sebanyak apapun air mataku keluar, itupun tak pernah cukup menghapus luka dihatiku. Hermawan tak mungkin menjadi milikku lagi. Ia telah pergi merajut mimpi barunya bersama dengan wanita bernama Merry. Dan akupun belum sama sekali ikhlas menerima keputusan Hermawan. Terlalu sulit mengubur semuanya setelah empat tahun kita bersama. Hermawan seolah membawa separuh jiwaku pergi, aku sudah tak utuh lagi. Ibarat kupu kupu, separo sayapku telah patah kini.
Hari itu diperpustakaan gereja aku bertemu dengan Merry , kekasih baru Hermawan. Hatiku masih saja terasa ngilu melihatnya, meskipun ini bukanlah pertemuan kami yang pertama. Aku tahu ” Hatiku terlalu cemburu melihatnya, bara dalam hatiku belum benar benar padam”. Tiba tiba dari arah belakang sebuah suara seperti memanggil namaku ”Merry!” . Suara itu sangat aku kenal, suara yang pernah begitu lekat dengan hatiku, itu suara Hermawan. Aku tahu panggilan itu tidak ditujukan untukku, tapi secara reflek kepalaku ikut menoleh juga. Seolah Hermawan memang sedang memanggilku. Namun belum sepenuhnya kepalaku menoleh, aku melihat Merry yang lain telah berjalan terlebih dahulu menghampiri Hermawan. Hermawan melihat kearahku dengan perasaan kikuk dan aku buru buru berlalu pergi dari hadapannya. Aku belum sanggup melihatnya berpaling, apalagi dengan wanita bernama sama denganku. Nama kebanggaanku, nama yang pernah dengan begitu mesra diucapkan oleh Hermawan saat memanggilku. Namun sekarang panggilan mesra untuk namaku telah diberikan kepada perempuan lain. Aku semakin membenci namaku sendiri. Apa kau paham dengan yang aku rasakan kawan? Semoga!! Jadi aku anjurkan jangan pernah panggil namaku ”Merry”!! Aku benci itu!!
Begitulah kisah cintaku. Dua belas purnama telah berlalu, namun perasaanku terhadap Hermawan tak juga hambar. Cinta itu masih bergelora. Antara cinta dan luka telah merobek dan mengiris iris hatiku. Diam diam masih sering kutangisi sosok Hermawan. Hingga pada akhirnya sebuah kesadaran menyentakkan hatiku. Aku membaca sebuah buku tentang kisah penghianatan cinta yang sangat memilukan. Bahkan lebih menyedihkan dari kisah cintaku sendiri. Diceritakan sepasang kekasih yang pada mulanya saling mencintai. Kemudian seiring waktu berlalu sang pria berkhianat. Rupanya ia tertarik dengan wanita yang lebih kaya dari pada kekasihnya. Ternyata pria itu memang memiliki watak yang kurang baik. Tidak cukup ia menghianati wanita itu, karena ketakutan perselingkuhannya terbongkar, iapun membuat skenario yang kejam untuk mengenyahkan wanita yang telah menjadi kekasihnya itu. Iapun dengan sengaja memasukkan semacam obat terlarang kedalam tas wanita tersebut, dan mengajak wanita itu berlibur kesebuah tempat, namun belum sempat mereka menikmati liburan, sang wanita tertangkap dibandara akibat ditemukan obat terlarang itu didalam tasnya. Tidak ada alibi, tidak ada saksi yang mampu menolong wanita tersebut dari jerat hukum. Pada akhirnya wanita itu harus menanggung akibat dari perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Ia dipenjara, dan laki laki penghianat itu memiliki alasan untuk memutuskannya. Tragis !! Kejamnya kekasih!. Setelah membaca cerita itu, akupun menangisi kebodohanku. Ternyata begitu banyak kisah kisah cinta yang lebih menyedihkan dibumi ini dibanding kisahku sendiri. Kisah itupun langsung menyadarkanku. Aku tak boleh bersedih lagi.
Kurun memang sering tak menentu, meski kadang datang dan pergi tak tentu arah. Begitu juga dengan hidup ini, selalu berjalan antara kejutan dan kenangan. Meski aku belum bisa melupakan Hermawan seutuhnya, namun aku telah bertekad membuat diriku sembuh dari luka cintanya. Tidak boleh lagi aku bersedih karena Hermawan. Aku harus menganggap Hermawan adalah laki laki yang tidak beruntung karena telah mencampakkan aku. Sedih?? Tidak! Aku tak boleh tersiksa dalam kesedihan. Aku harus berpikir bahwa justru dengan sedih itu aku bisa merasakan manisnya kehidupan. Aku harus bisa memaknai kesedihanku selama ini. Mungkin tak cuma air mata yang telah aku curahkan, melainkan juga seluruh luka hati yang telah Hermawan goreskan di tubuhku ini. Aku memang masih akan bertahan dengan potongan-potongan kenangan yang beberapa penggal telah mengabur seiring langkah Hermawan yang kian menjauh. Namun aku harus yakin bahwa akan ada cerita cinta indah lainnya yang akan menjadi milikku nantinya.
Malam tak dapat mepertahankan diri untuk tidak menjadi siang. Pada waktunya kelak siangpun akan dirampas oleh malam. Semua akan tergeser oleh waktu dan keadaan. Dan aku percaya , sayapku yang patah akan pulih bersama dengan waktu. Hingga aku mampu terbang kembali. Kemudian aku tak perlu lagi menyalahkan namaku, ataupun membencinya, karena itu adalah nama terindah yang pernah diberikan oleh kedua orang tuaku. Sekarang aku beritahu kalian ” Namaku adalah Merry dan aku sangat bangga dengan namaku” Jangan pernah ragu lagi, panggil aku ”Merry”!!!!

Jakarta, 19 September 2009, kutulis ini saat aku berulang tahun.........ternyata tak mudah juga menulis sebuah kisah cinta