Sabtu, 25 Februari 2012

KEMELUT

Entahlah aku harus berkata apa?
Tentang kemelut hidup yang datang menerpa
Rasa lara itu masih saja merajalela
Didalam batinku yang terluka

Seperti menanti suatu yang tak pernah ada
Asa itu tak semerekah lentera
Sedih, kecewa, meradang petaka
Semua seperti tak ada akhirnya

Hanya ........ada aku dan kemelut
Kemudian kemelut dan aku
Matahari yang enggan bersinar
Akhirnya hanya kemelut dan kemelut


Dari mana seharusnya aku mulai ceritaku ini ? Entahlah aku bingung untuk memulainya. Aku kuatir kau akan menganggapku sebagai perempuan yang tak punya prinsip, yang tak menghormati sebuah tatanan kehidupan berumah tangga, perempuan egois yang tak peduli dengan nasib keluarga, atau belum lagi ada yang akan mencaciku sebagai perempuan yang tak mau menerima nasib dan takdirnya. Bahkan yang paling parah adalah bila ada yang menuduhku manusia yang tak beragama karena tak pernah bersyukur dengan semua yang terjadi. Dan masih banyak lagi predikat yang akan aku terima nantinya setelah aku bercerita. Tapi aku bingung, aku perlu saran, untuk itulah aku perlu bercerita. Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing. Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan pekerjaanku. Lebih-lebih terhadap dua permata yang Tuhan telah titipkan kepadaku, anak anakku Raja dan Putri.

Tapi sungguh, aku tidak pernah meminta takdir akan membawaku pada sebuah kisah yang tak berujung ini. Semua yang terjadi dalam hidupku sekarang ini bukanlah kehendakku. Sebenarnya aku hanyalah perempuan biasa tanpa angan yang muluk dan cita cita setinggi langit. Aku bahkan hanya perempuan kebanyakkan yang bermimpi tentang indahnya sebuah pernikahan. Bagiku hidup ini hanyalah sebuah deretan metamorofosa. Aku mengimajinasikan proses itu sebagai proses alami dari sebuah kehidupan. Sekolah, bekerja dan pada akhirnya berkeluarga. Pada proses yang terakhir itulah aku ditimpa keraguan dan kebimbangan. Dan itu semua berawal dari sebuah keputusan yang telah aku ambil. Keputusan yang semula aku anggap benar namun akhirnya membawaku pada sebuah kemelut yang tak berujung.

Dari sebuah keputusan itulah kisahku dimulai. Sesungguhnya aku adalah perempuan apa adanya. Tidak terlalu baik. Tidak terlalu lembut. Tidak terlalu halus. Aku adalah perempuan yang sangat perempuan. Aku perempuan yang terjebak oleh sebuah aturan. Sebuah aturan yang tak tertulis dalam undang undang tetapi telah disepakai oleh semua manusia dibumi ini. Peraturan yang mengharuskan seorang perempuan menikah sebelum ada yang menyebutnya perawan tua. Dan untuk mentaati peraturan itulah aku terpaksa memilih. Usiaku masih 27 tahun saat itu. Ibuku sudah mengannggap usiaku sangat terlambat memasuki dunia pernikahan. Setiap hari ibuku mulai nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, tampak sekali ia menginginkanku untuk segera menikah. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena malu kepada para kerabatnya yang melihat anaknya sudah berumur tetapi belum menikah juga. "Nduk, menikah itu ibadah. Bagaimana pun sibukmu, jangan sampai kau abaikan!"
"Cobalah kau memilih satu diantara mereka yang mendekatimu. Ibu malu bila ada kerabat yang bertanya, kenapa kau belum menikah juga.” Aku hanya tersenyum menanggapi omongan ibuku. Hanya kalimat pendek yang kuberikan untuk sekedar menyenangkannya. “Baik Bu, aku akan memikirkan semua itu.” Kalimat kalimat semacam itulah yang sering ibu lontarkan kepadaku. Mula-mula memang tak ku perhatikan, tetapi lama-lama aku risi juga.

Sampai akhirnya ada seorang yang mengagumiku pada saat saat penantianku itu. Ia adalah pria yang baik. Ia sangat mencintaiku. Jadi aku terima saja saat ia meminangku untuk menjadi istrinya. Akupun mencintai dengan cara yang berbeda dari yang aku yakini. Aku mengerti bahwa aku tak sepenuh hati mencintai. Tapi aku yakin semua akan berubah seiring berjalannya waktu. Dulu aku tak dapat membedakan antara cinta dan sepi. Aku menganggap hidupku telah sempurna bila ada yang mencintai dan akupun bisa melakukan hal serupa yaitu mencintainya. Aku sangat menyukai hari hariku akan ditemani, apalagi bila kekasih hatiku itu membumbui cintanya dengan beraneka puisi. Ternyata aku salah menduga, apa yang kurumuskan itu bukanlah cinta, tetapi sepi. Sekarang aku paham mengapa aku ingin senantiasa ditemani dan dibuatkan puisi. Aku hanya takut pada sepi. Sepi itulah yang membuatku ingin ditemani. Hanya untuk membunuh sepi itulah aku membuat dan menuliskan beratus puisi cinta. Barangkali ini pula alasan seseorang yang menyangka sepi itu adalah cinta. Mereka yang jatuh cinta selalu menyukai puisi puisi cinta, padahal itu hanyalah ungkapan kehampaan hati semata. Seperti aku yang tak bisa membedakan antara cinta dan kesepian. Selain sepi, aku begitu takut diburu oleh waktu. “Waktu” lah yang akhirnya menyergapku dan membantingku ke jurang pernikahan secepatnya.

Begitulah kawan, akhirnya aku memutuskan untuk menikah. Memang sebagai perempuan yang akhirnya bersuami, aku cukup lega dengan kehidupanku yang boleh dibilang sudah utuh. Aku telah mampu membuat keluargaku lega dan bahagia dengan status baruku. Di awal-awal pernikahanku, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Aku masih bekerja seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar menjadi awal kemelut hidupku. Beberapa bulan setelah Putri, anak keduaku lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Ia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Ia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar kepadaku. Ia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya ia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya. Untungnya aku masih bisa membantu dengan membuka toko kecil kecilan, meskipun tak terlalu besar, tapi bisa membantu ekonomi keluargaku. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga kami, akibat perubahan perilaku suamiku. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru ialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari. Bahkan semua urusan dalam keluarga, diserahkan pemecahannya kepadaku. Hidupku serasa pincang, karena sosok yang aku anggap mampu melindungiku justru tak melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan keluarga kami.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suamiku. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menyibukkan diri dengan toko sembakoku yang mulai berkembang menjadi besar. Tidak itu saja, aku juga berusaha membaca buku-buku keagamaan untuk mencari solusi dari semua kemelut ini. Seminar seminar tentang keluarga yang bahagiapun tak luput dari keikut sertaanku. Namun itu semua tak membuatku sanggup untuk mempertahankan rumah tanggaku. Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi perasaanku dan anak-anakku. Namun aku tak mampu untuk melakukannya. Bagaimana dengan keluargaku? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak yang orang tuanya bercerai. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi perasaanku ataukah sebaiknya aku meneruskan pernikahanku dalam kemelut yang tak berujung ini? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!

Aku sering menangis akhir- akhir ini. Aku benar benar terbelenggu dengan kisah yang telah aku buat sendiri. Maafkan kesentimentilanku ini, Kawan. Tapi, bukankah setiap manusia lebih dari sekali bersikap seperti itu? Aku tak ragu lagi tentang hal itu. Bagaimana denganmu? Apa kau juga memiliki kemelut hidup seperti diriku? Tak ada yang bisa membantuku keluar dari kemelut ini, pun keluargaku yang dulu begitu bersemangat mendorongku dalam jurang pernikahan. Aku telah berusaha mencari apa yang salah dari pernikahanku ini. Namun tak satupun dari yang aku tanya, bisa menjawabnya. Tak ada. Sampai pada ketermenunganku itulah akhirnya kutemukan jawabnya. Yah .....“Cinta”, cintaku kepada pilihan hatiku telah memudar seiring berjalannya waktu. Aku tak pernah berusaha mencintai pilihanku apa adanya. Seharusnya cinta yang akan membuatku mampu mengatasi segala kemelut yang ada. Cinta akan membuatku belajar menyenangkan hatinya dan menerima kekurangannya. Cinta pula yang seharusnya membuatku belajar bahwa sebesar apapun kemelut hidup ini, aku dan suamiku akan menyelesaikannya atas nama cinta. Tapi sayang cinta itu memang tak pernah ada pada awalnya.

Begitulah kemelut hidupku Kawan. Apakah kau sudah bisa memahami keadaan hatiku saat ini? Dicintai itu memang menyenangkan Kawan. Tetapi dicintai oleh orang yang tidak pernah kita cintai itu menyedihkan. Itu seperti menabur kesepian dihati orang lain. Apa kau tahu Kawan, ketika kau berpura pura mencintai seseorang hanya untuk mengisi kesepian, itu justru akan lebih menenggelamkan dirimu dalam kesepian yang panjang. Aku berharap kau tak akan pernah meniru kisahku Kawan! Jangan pernah kau membuat kisah cinta yang tak bermakna lagi sepertiku. Meskipun pada akhirnya kesedihan dan keterharuanku pada jalan hidupku membuatku lebih mengerti bahwa setiap orang akan digiring pada jalannya masing masing. Ada yang ihklas menerimanya dan ada yang memberontak. Entalah, apakah aku harus ihklas atau memberontak terhadap jalan hidupku ini? Pastinya akan lebih bijaksana bila aku menyerahkan semua kemelut hidupku ini kepada Sang Pemberi kehidupan.
Jadi pahatlah kisah pernikahanmu seindah mungkin atas nama cinta dan apa yang
Tuhan mau dalam hidupmu. Semoga kau menemukannya Kawan!

Jumat, 17 Februari 2012

DIA INGIN ANAKNYA MENIKAH DENGAN ORANG KAYA

Laki laki itu baru saja melewati usianya yang 58 tahun, tidaklah terlalu tua untuk ukuran jaman sekarang ini. Tapi wajahnya telah banyak dimangsa oleh kerutan kulitnya, sehingga dia sedikit kelihatan tampak lebih tua dari usianya. Mungkin wajahnya yang kelihatan lebih tua itu juga disebabkan oleh beban hidup yang selama ini dipikulnya. Selama hidupnya dia belum pernah merasa terbebas dari sebuah rasa tanggung jawab yang terus menerus memasung hidupnya.

Keenam anak Pak Tirto, begitulah nama laki laki itu, lahir pada tahun yang hampir berurutan sehingga berderet deret rata laksana gambar diagram yang menunjukkan tahun tahun pencapaian target perusahaan, yang sering dipasang dikantor kantor perusahaan. Mulai dari anak pertamanya laki laki yang lahir ditahun 1976, menyusul anak keduanya perempuan lahir tahun 1977, kemudian anak ke tiga laki laki tahun1978, lalu anak keempat laki laki tahun1979, anak kelima perempuan tahun 1980 dan terakhir sibungsu laki laki lahir ditahun 1984. Entah karena pengetahuannya terhadap keluarga berencana yang kurang atau memang dia punya prinsip banyak anak banyak rejeki, yang jelas memiliki enam orang anak dengan penghasilannya sebagai sopir bus tidaklah cukup untuk menghidupi kel uarga besarnya. Untuk itulah istrinya ikut membantu Pak Tirto bekerja sebagai tukang jahit pada sebuah garment.. Dari pagi pagi buta sampai menjelang malam, Pak Tirto berkeliling dari satu kota ke kota yang lainnya. Dari terminal ke terminal bus itulah Pak Tirto menafkahi keluarganya. Ajaibnya Pak Tirto tidak pernah sedikitpun mengeluh dengan beban hidup yang begitu berat ditanggungnya. Dia selalu bersemangat mengasuh dan menjaga ke enam anak anaknya dengan baik. Semua anak anaknya dia sekolahkan sampai lulus SMA, bahkan dia berniat menyekolahkan anak anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi..

Dia ingin anak anaknya mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan ilmu yang mereka tempuh.. Sampai untuk menyekolahkan anak anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, Pak Tirtopun rela menjual rumahnya, satu satunya harta berharga yang dimilikinya. Apapun yang terjadi dia telah bertekad menyekolahkan semua anak anaknya sampai ke bangku kuliah meskipun keluarga mereka harus pindah kerumah kontrakan. Namun sekuat apapun perjuangannya, semua yang dia miliki tidaklah cukup untuk membawa anak anak nya sekolah kejenjang yang lebih tinggi sesuai dengan cita citanya. Hanya dua anaknya saja yang beruntung sekolah sampai ke bangku kuliah, yaitu si sulung dan anaknya yang ke tiga. Tujuan Pak Tirto hanyalah, dia tidak ingin anaknya hidup senasib dengan dirinya.

Hidup ini memang hanya deretan angka angka serta metamorofosa. Sekolah, bekerja dan pada akhirnya berkeluarga. Begitulah metamorofosa yang juga terjadi pada keluarga Pak Tirto. Anak anaknya tumbuh besar, sekolah, bekerja dan pada akhirnya mereka harus menikah. Dia berpikir kalau anak anaknya semua telah menikah, tentu beban yang dia tanggung akan lebih ringan. Maka diapun berharap anak anaknya menikah dengan orang yang cukup mapan dan mampu menopang ekonomi keluarga mereka menjadi lebih baik lagi. Sayang sekali pemikirannya itu meleset jauh dari angannya. Setelah keempat anaknya menikah, beban yang harus di tanggungnya bahkan semakin terasa berat. Takdir sepertinya kurang begitu bersahabat terhadap kehidupan Pak Tirto. Keempat anaknya menikah dengan orang orang yang tingkat ekonominya sama dengan keluarga mereka. Untuk menghidupi keluarga mereka saja, mereka kekurangan, apalagi menanggung kehidupan keluarga ayahnya. Padahal mereka semua telah dibekali dengan ilmu yang cukup oleh Pak Tirto. Mereka bahkan menitipkan anak anak mereka dirumah orang tuanya. Anak anak Pak Tirto itu hanya bisa melahirkan anak, dan memberinya nama nama yang indah, tapi tak mampu memberi kehidupan yang layak. Rumah kontrakkan Pak Tirto yang kecil itu sudah seperti layaknya taman kanak kanak saja. Perhatian mereka terhadap keluarga ayahnyapun tidak ada lagi karena mereka telah disibukkan oleh keluarganya masing ,masing. Meski begitu,Pak Tirto tetap menjalani hidupnya dengan tabah dan tanpa keluhan.

Pak Tirto masih berharap, kedua anaknya yang lain akan menikahi orang yang lebih baik dan layak secara materi. Dan harapannyapun hampir menjadi kenyataan manakala anak laki laki tertuanya mulai menjalin hubungan dengan seoorang wanita yang cukup mapan secara materi. Seorang wanita cantik, berpendidikan dan memiliki standard ekonomi yang lebih tinggi dari keluarga Pak Tirto. Memang seperti itulah menantu yang didambakan oleh Pak Tirto. Seperti yang pernah dia katakan kepada istrinya “ Aku memang berharap punya menantu yang kaya bu, tapi sebenarnya aku bukannya materialistis, hanya saja sebenarnya aku sudah lelah hidup dalam kemiskinan. Aku pikir anak anak akan hidup lebih baik dari kita setelah kita bekali dengan ilmu yang tinggi, tapi nyatanya sama saja Bu”. Istrinya hanya tersenyum getir, menyepakati omongan pak Tirto. Itulah untuk pertama kalinya pak Tirto berani mengeluh dan mengungkapkan isi hatinya selama ini terhadap istrinya.
Begitu bahagia dan bangganya Pak Tirto beserta istrinya , saat anaknya itu membawa perempuan yang lumayan kaya kerumah kontrakan mereka yang memang kecil. Tak henti hentinya Pak Tirto menatap calon menantunya dengan tatapan puas, tatapan yang selama ini belum pernah dia perlihatkan terhadap menantu menantunya yang lain. “Yah ….beginilah rumah kami!” Pak Tirto mengawali pertemuannya dengan calon menantunya itu. Wanita yang memiliki status sosial lebih tinggi itu hanya tersenyum menanggapi ucapan calon ayah mertuanya. Calon menantunya itu kelihatan sopan sekali menanggapi obrolan demi obrolannya bersama Pak Tirto dan keluarganya. Pak Tirtopun semakin bangga serta puas melihat betapa santunnya sang calon menantu. Pertemuan demi pertemuan antara keluarga Pak Tirto dan keluarga calon menantunya berjalan dengan baik dan lancar. Tidak ada hambatan yang berarti seperti status sosial ekonomi yang berbeda dan hal hal lain yang berhubungan dengan derajat seorang manusia. Karena memang keadaan kedua keluarga tersebut sangat berbeda layaknya belahan langit dan bumi. Kedua pihak telah sepakat memberikan restu bagi kedua calon mempelai itu untuk menikah. Rencana rencana pernikahanpun telah dipersiapkan dengan matang dan tinggal menunggu hari pelaksanaannya saja.

Pesta pernikahan anak Pak Tirto kali ini diadakan dengan begitu mewah dan meriah. Semua biaya pernikahan ditanggung oleh mempelai wanita. Tak sedikitpun keluarga Pak Tirto mengeluarkan uang untuk pernikahan tersebut. Boleh dibilang ini adalah pesta termewah yang pernah dihadiri oleh Pak Tirto. Karena keempat anaknya yang lain menikah tanpa pesta apapun juga. Mereka hanya menikah secara sederhana didepan penghulu dan kerabat saja. Tapi kali ini rasanya seperti mimpi Pak Tirto melihat anaknya telah bersanding dengan jodoh yang didambakannya itu. Senyum puas tak henti hentinya menghiasi bibir Pak Tirto. Hampir semua tamu yang diundang berdecak kagum memuji anak Pak Tirto. “Wah hebat benar anakmu To, bisa dapat wanita cantik dan kaya pula!” kata salah seorang tamu undangan Pak Tirto. Pak Tirto hanya tersenyum dengan bangga. “ Ah tidak juga, biasalah!” Pak Tirto menanggapi para tamunya dengan nada merendah, tapi itu semua tak mampu menutupi rasa bahagia dan bangganya hati Pak Tirto.

Pesta telah usai, Pak Tirto dan istrinyapun merasa puas. Paling tidak pernikahan anaknya kali ini telah mampu mengobati kekecewaan yang selama ini dia rasakan terhadap anak anaknya yang lain. “ Aku gembira sekaligus puas, semoga pernikahan mereka langgeng ya Bu!” Begitulah Pak Tirto tak henti hentinya mengungkapkan perasaannya kepada istrinya. Istrinyapun tak kalah bahagianya dibandingkan dengan Pak Tirto.

Namun kebahagiaan itu ternyata hanya sesaat. Anak laki laki tertua Pak Tirto yang seharusnya ikut bertanggung jawab dengan kehidupan keluarga mereka, ternyata malah tak rela menanggung beban kehidupan Pak Tirto. Setelah pesta megah itu usai, diapun menghampiri ayahnya, selain berpamitan untuk pindah mendirikan keluarga barunya, tiba tiba saja Rahman anaknya itu mengatakan sebuah kalimat yang hampir membuat jantung pak Tirto berhenti berdetak “Pak, terimakasih sudah membesarkan aku, aku akan tetap memperhatikan kehidupan Bapak, tapi tolong Pak kalau menyangkut soal keuangan, Bapak jangan minta bantuan kepadaku, aku sudah memiliki keluarga sendiri, jadi aku tidak mau ikut campur lagi terhadap kehidupan Bapak” Kalimat seperti itulah yang diucapkan Rahman kepada Bapaknya, dan kalimat itu hampir membuat jantung pak tirto berhenti berdetak. Ternyata pernikahan mewah itu hanyalah mimpi indah, yang ketika pak tirto terjaga, dia hanya mendengar penggalan kalimat kalimat menyakitkan itu. Dengan kaki yang lemas, Pak tirto berusaha tegar. Sambil merapatkan tangannya pada pegangan pintu dia mencoba untuk tersenyum mengantarkan kepergian anaknya. “Jangan kuatir Man, Bapak tidak akan membuatmu repot” hanya itulah kalimat yang pak Tirto sanggup katakan kepada anaknya. Setelah mobil anaknya sudah tak terlihat lagi, Pak Tirto dan istrinyapun saling berpandangan, tak sepatah katapun mampu mereka ucapkan. Hati mereka telah hancur oleh perkataan anaknya. Harapan indah yang mereka rangkai telah berlalu bersama kepergian anaknya. Mereka tak lagi berharap terhadap anak anak yang telah mereka lahirkan. “ Mungkin benar apa yang pernah aku bilang ya Bu! Anak anak itu hanyalah buah dosa yang selama ini telah kita nikmati didunia ini” Entahlah apa makna ucapan dari Pak Tirto, hatinya telah hancur berkeping keping sejak anaknya meninggalkan rumah mereka.

Tiba-tiba dia merasa dirinya begitu tua, lelah dan teraniaya. Kepalanya tak kuat lagi disesaki dengan peristiwa demi peristiwa yang menyakitkan. Tak sanggup lagi membayangkan keluarga yang hidup bahagia. Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah indah yang sederhana sekalipun. Maka tak ada lagi alasan untuk berharap kepada semua anak anaknya itu. Begitulah akhirnya pak Tirto memutuskan ” Biarlah hari esok dia serahkan semua hidupnya kepada sang pemilik kehidupan, karena dari ataslah sebenarnya takdir hidupnya telah direncanakan ”

Senin, 13 Februari 2012

LELAH HATI ........................

Akhirnya kujalani hari hariku tanpa kisah

Seumpama malam menyulam gelap

Hatiku berada pada kisarannya

Terpaku pada ragu yg datang menghimpit sukma



Hariku serasa berjalan tanpa arah

Terjebak dalam kisah yang tak bermakna

Menanti jawaban namun tak terjawab

Menunggu yang hilang namun tak kudapatkan



Telah sekian lama …………..

Kucoba mempertahankan hati

Namun hasrat itu tak kurasa lagi

Semua telah hambar, sejak rasa itu pudar



Meski bersama, aku merasa hampa

Lelah jari-jari ini merenda asa

merapatkan luka yang mulai menganga

Karena asaku sendiri tak pernah menjelma



Pernah kucoba mengerti …………….

Pernah kuberusaha memahami

Namun tetap saja semua tak berarti

Dan ……… hanya sepi hati yang kudapati



Yah ……. Akhirnya kubuat hati ini mengerti

Tak ada yang pernah abadi dibumi ini

Jadi kujalani saja semua seperti ini

Menanti suratan hidup ini berganti





Surabaya, 13 Februari 2012, buat yang hari ini mengaku sangat lelah hatinya ............ semoga tetap semangat, hidup ini sangat indah!!!!!

SEPI


Sepi itu datang tanpa diundang
Ia datang menghantam jiwa yang terluka
Tidak hanya singgah untuk sesaat
Namun ia tinggal meresahkan rasa
Memangsa habis semua malam
Hingga berganti dengan pagi yang sama
Seperti hari hari kemarin
Dingin dan hampa terus merasuk jiwa
Masih sama pula yang aku dapati
Matahari yang enggan bersinar
Sepi ……..dan aku yang sendiri