Sabtu, 25 Februari 2012

KEMELUT

Entahlah aku harus berkata apa?
Tentang kemelut hidup yang datang menerpa
Rasa lara itu masih saja merajalela
Didalam batinku yang terluka

Seperti menanti suatu yang tak pernah ada
Asa itu tak semerekah lentera
Sedih, kecewa, meradang petaka
Semua seperti tak ada akhirnya

Hanya ........ada aku dan kemelut
Kemudian kemelut dan aku
Matahari yang enggan bersinar
Akhirnya hanya kemelut dan kemelut


Dari mana seharusnya aku mulai ceritaku ini ? Entahlah aku bingung untuk memulainya. Aku kuatir kau akan menganggapku sebagai perempuan yang tak punya prinsip, yang tak menghormati sebuah tatanan kehidupan berumah tangga, perempuan egois yang tak peduli dengan nasib keluarga, atau belum lagi ada yang akan mencaciku sebagai perempuan yang tak mau menerima nasib dan takdirnya. Bahkan yang paling parah adalah bila ada yang menuduhku manusia yang tak beragama karena tak pernah bersyukur dengan semua yang terjadi. Dan masih banyak lagi predikat yang akan aku terima nantinya setelah aku bercerita. Tapi aku bingung, aku perlu saran, untuk itulah aku perlu bercerita. Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing. Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan pekerjaanku. Lebih-lebih terhadap dua permata yang Tuhan telah titipkan kepadaku, anak anakku Raja dan Putri.

Tapi sungguh, aku tidak pernah meminta takdir akan membawaku pada sebuah kisah yang tak berujung ini. Semua yang terjadi dalam hidupku sekarang ini bukanlah kehendakku. Sebenarnya aku hanyalah perempuan biasa tanpa angan yang muluk dan cita cita setinggi langit. Aku bahkan hanya perempuan kebanyakkan yang bermimpi tentang indahnya sebuah pernikahan. Bagiku hidup ini hanyalah sebuah deretan metamorofosa. Aku mengimajinasikan proses itu sebagai proses alami dari sebuah kehidupan. Sekolah, bekerja dan pada akhirnya berkeluarga. Pada proses yang terakhir itulah aku ditimpa keraguan dan kebimbangan. Dan itu semua berawal dari sebuah keputusan yang telah aku ambil. Keputusan yang semula aku anggap benar namun akhirnya membawaku pada sebuah kemelut yang tak berujung.

Dari sebuah keputusan itulah kisahku dimulai. Sesungguhnya aku adalah perempuan apa adanya. Tidak terlalu baik. Tidak terlalu lembut. Tidak terlalu halus. Aku adalah perempuan yang sangat perempuan. Aku perempuan yang terjebak oleh sebuah aturan. Sebuah aturan yang tak tertulis dalam undang undang tetapi telah disepakai oleh semua manusia dibumi ini. Peraturan yang mengharuskan seorang perempuan menikah sebelum ada yang menyebutnya perawan tua. Dan untuk mentaati peraturan itulah aku terpaksa memilih. Usiaku masih 27 tahun saat itu. Ibuku sudah mengannggap usiaku sangat terlambat memasuki dunia pernikahan. Setiap hari ibuku mulai nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, tampak sekali ia menginginkanku untuk segera menikah. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena malu kepada para kerabatnya yang melihat anaknya sudah berumur tetapi belum menikah juga. "Nduk, menikah itu ibadah. Bagaimana pun sibukmu, jangan sampai kau abaikan!"
"Cobalah kau memilih satu diantara mereka yang mendekatimu. Ibu malu bila ada kerabat yang bertanya, kenapa kau belum menikah juga.” Aku hanya tersenyum menanggapi omongan ibuku. Hanya kalimat pendek yang kuberikan untuk sekedar menyenangkannya. “Baik Bu, aku akan memikirkan semua itu.” Kalimat kalimat semacam itulah yang sering ibu lontarkan kepadaku. Mula-mula memang tak ku perhatikan, tetapi lama-lama aku risi juga.

Sampai akhirnya ada seorang yang mengagumiku pada saat saat penantianku itu. Ia adalah pria yang baik. Ia sangat mencintaiku. Jadi aku terima saja saat ia meminangku untuk menjadi istrinya. Akupun mencintai dengan cara yang berbeda dari yang aku yakini. Aku mengerti bahwa aku tak sepenuh hati mencintai. Tapi aku yakin semua akan berubah seiring berjalannya waktu. Dulu aku tak dapat membedakan antara cinta dan sepi. Aku menganggap hidupku telah sempurna bila ada yang mencintai dan akupun bisa melakukan hal serupa yaitu mencintainya. Aku sangat menyukai hari hariku akan ditemani, apalagi bila kekasih hatiku itu membumbui cintanya dengan beraneka puisi. Ternyata aku salah menduga, apa yang kurumuskan itu bukanlah cinta, tetapi sepi. Sekarang aku paham mengapa aku ingin senantiasa ditemani dan dibuatkan puisi. Aku hanya takut pada sepi. Sepi itulah yang membuatku ingin ditemani. Hanya untuk membunuh sepi itulah aku membuat dan menuliskan beratus puisi cinta. Barangkali ini pula alasan seseorang yang menyangka sepi itu adalah cinta. Mereka yang jatuh cinta selalu menyukai puisi puisi cinta, padahal itu hanyalah ungkapan kehampaan hati semata. Seperti aku yang tak bisa membedakan antara cinta dan kesepian. Selain sepi, aku begitu takut diburu oleh waktu. “Waktu” lah yang akhirnya menyergapku dan membantingku ke jurang pernikahan secepatnya.

Begitulah kawan, akhirnya aku memutuskan untuk menikah. Memang sebagai perempuan yang akhirnya bersuami, aku cukup lega dengan kehidupanku yang boleh dibilang sudah utuh. Aku telah mampu membuat keluargaku lega dan bahagia dengan status baruku. Di awal-awal pernikahanku, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Aku masih bekerja seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar menjadi awal kemelut hidupku. Beberapa bulan setelah Putri, anak keduaku lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Ia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Ia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar kepadaku. Ia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya ia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya. Untungnya aku masih bisa membantu dengan membuka toko kecil kecilan, meskipun tak terlalu besar, tapi bisa membantu ekonomi keluargaku. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga kami, akibat perubahan perilaku suamiku. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru ialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari. Bahkan semua urusan dalam keluarga, diserahkan pemecahannya kepadaku. Hidupku serasa pincang, karena sosok yang aku anggap mampu melindungiku justru tak melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan keluarga kami.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suamiku. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menyibukkan diri dengan toko sembakoku yang mulai berkembang menjadi besar. Tidak itu saja, aku juga berusaha membaca buku-buku keagamaan untuk mencari solusi dari semua kemelut ini. Seminar seminar tentang keluarga yang bahagiapun tak luput dari keikut sertaanku. Namun itu semua tak membuatku sanggup untuk mempertahankan rumah tanggaku. Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi perasaanku dan anak-anakku. Namun aku tak mampu untuk melakukannya. Bagaimana dengan keluargaku? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak yang orang tuanya bercerai. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi perasaanku ataukah sebaiknya aku meneruskan pernikahanku dalam kemelut yang tak berujung ini? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!

Aku sering menangis akhir- akhir ini. Aku benar benar terbelenggu dengan kisah yang telah aku buat sendiri. Maafkan kesentimentilanku ini, Kawan. Tapi, bukankah setiap manusia lebih dari sekali bersikap seperti itu? Aku tak ragu lagi tentang hal itu. Bagaimana denganmu? Apa kau juga memiliki kemelut hidup seperti diriku? Tak ada yang bisa membantuku keluar dari kemelut ini, pun keluargaku yang dulu begitu bersemangat mendorongku dalam jurang pernikahan. Aku telah berusaha mencari apa yang salah dari pernikahanku ini. Namun tak satupun dari yang aku tanya, bisa menjawabnya. Tak ada. Sampai pada ketermenunganku itulah akhirnya kutemukan jawabnya. Yah .....“Cinta”, cintaku kepada pilihan hatiku telah memudar seiring berjalannya waktu. Aku tak pernah berusaha mencintai pilihanku apa adanya. Seharusnya cinta yang akan membuatku mampu mengatasi segala kemelut yang ada. Cinta akan membuatku belajar menyenangkan hatinya dan menerima kekurangannya. Cinta pula yang seharusnya membuatku belajar bahwa sebesar apapun kemelut hidup ini, aku dan suamiku akan menyelesaikannya atas nama cinta. Tapi sayang cinta itu memang tak pernah ada pada awalnya.

Begitulah kemelut hidupku Kawan. Apakah kau sudah bisa memahami keadaan hatiku saat ini? Dicintai itu memang menyenangkan Kawan. Tetapi dicintai oleh orang yang tidak pernah kita cintai itu menyedihkan. Itu seperti menabur kesepian dihati orang lain. Apa kau tahu Kawan, ketika kau berpura pura mencintai seseorang hanya untuk mengisi kesepian, itu justru akan lebih menenggelamkan dirimu dalam kesepian yang panjang. Aku berharap kau tak akan pernah meniru kisahku Kawan! Jangan pernah kau membuat kisah cinta yang tak bermakna lagi sepertiku. Meskipun pada akhirnya kesedihan dan keterharuanku pada jalan hidupku membuatku lebih mengerti bahwa setiap orang akan digiring pada jalannya masing masing. Ada yang ihklas menerimanya dan ada yang memberontak. Entalah, apakah aku harus ihklas atau memberontak terhadap jalan hidupku ini? Pastinya akan lebih bijaksana bila aku menyerahkan semua kemelut hidupku ini kepada Sang Pemberi kehidupan.
Jadi pahatlah kisah pernikahanmu seindah mungkin atas nama cinta dan apa yang
Tuhan mau dalam hidupmu. Semoga kau menemukannya Kawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk setiap komentar yang telah dikirimkan, apapun itu akan membuat aku menjadi lebih belajar lagi untuk menulis dan menulis!!!