Minggu, 07 November 2010

MEMBUNUH KUCING TETANGGA

Meong……Meong…...Meong…… prak!! Kucing berwarna coklat itu berusaha berlari sambil mengeong, menghindari lemparan sandal yang memang aku gunakan untuk mengusirnya. Aku melihat kucing itu berlari menyelinap dibawah pagar besi yang memagari halaman rumah kontrakkan kami. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya kucing itu masuk kedalam rumah kontrakan yang hampir satu tahun terakhir ini kami tempati. Namun akhir akhir ini kucing itu sudah membangkitkan kemarahanku termasuk keempat temanku yang notabene sangat menyayangi mahluk bernama binatang itu. Mungkin kalau aku yang marah dengan ulah kucing sialan itu, masih wajarlah, karena sepanjang ingatanku, aku memang tidak pernah jatuh hati dengan mahluk bernama binatang, apapun bentuknya itu. Entahlah selain aku memang tidak suka, rasanya geli sekali melihat mahluk hidup selain manusia menghuni bumi ini. Dan yang terjadi keempat temanku penyayang binatang itu juga ikut ikutan kesal dengan ulah kucing tersebut. Bagaimana tidak kesal kalau setiap hari ada saja yang dilakukan kucing itu dirumah kami. Selain kotorannya berserakan disetiap pot pot bunga yang sengaja kami susun dihalaman rumah, kucing itu juga sering memporak perandakan tempat sampah yang terletak disudut dapur rumah kami. Mungkin ia mencium sisa sisa tulang bekas makan semalam ditempat sampah. Sehingga begitu kami pulang dari kantor sore hari, aroma tidak sedap dan sampah yang bertebaran kemana mana menjadi pemandangan kami hampir setiap hari.
Kucing berwarna coklat yang hampir setiap hari mondar mandir dirumah kami itu memang tidak seperti kucing kebanyakkan. Bentuk tubuhnya lumayan besar, bulunya lebat berwarna coklat bersih, tatapan matanya tajam, dan kuku kukunya juga kelihatan runcing. Dilihat dari bentuknya saja, aku yakin kucing itu pasti memiliki seorang tuan, karena memang kucing tersebut lumayan terawat. Bahkan dilehernyapun terpasang sebuah kalung rantai kecil dengan liontin berbentuk hati. Tapi bagaimanapun bentuknya aku benar benar sudah tidak bisa mentolerir kelakuan kucing itu. Apalagi akulah yang hampir setiap hari bertemu muka dan memergoki aksi serta ulahnya.
Dan kekesalankupun memuncak tatkala suatu siang dihari sabtu, ketika kami semua tidak bekerja, seperti biasa kami selalu menyempatkan diri untuk membersihkan rumah. Dan sebagai akhir ritual dihari sabtu itu, kami selalu mengakhirinya dengan makan bersama. Siang itu aku yang bertugas untuk memasak, dengan menu andalan soto ayam yang menjadi favorit kami berlima. Rasanya semua lelah terbayar sudah dengan mencium aroma soto yang menggugah selera itu. Tetapi, alamak!!! belum sempat kami menikmati semua makanan itu, tanpa sepengetahuan kami kucing itu mencuri ayam goreng yang tersajii sebagai santapan makan siang kami.
“Aku harus membunuh kucing sialan itu!!” Teriakku lantang.
“Apa yang ia lakukan Vin?” Lia rupanya terkejut mendengar teriakkanku, bahkan anak anak yang lainpun ikut berkerumun menuju ke dapur.
“Tamatlah kita hari ini, semua ayam goreng kita diembat kucing sialan itu!” teriakku geram. “Semuanya Vin?” Rini berbicara sambil melongok isi piring yang hanya tersisa sayap ayam kecil, dengan helaan nafas kecewa.
“Yah kita makan nasi sama kuah soto aja dong!
Teman-temanku nampak kesal juga terhadap kucing itu, sedangkan kucing itu dengan asyiknya menikmati ayam hasil curiannya didepan teras rumah kami, tidak peduli si pemilik rumah sangat geram dengan ulahnya. Aku mengambil sapu lidi yang terletak dipojok taman, tanpa ampun lagi aku melemparkannya ke arah kucing itu.
Brak !!! Ngeong……..ngeong………Rasain kucing sialan!!! Teriakku.
Dan sejak siang itu aku menyimpan dendam kesumat terhadap kucing tersebut. Tidak peduli apapun yang kucing itu lakukan, setiap kali aku melihatnya masuk kedalam rumah, selalu saja aku berteriak untuk mengusirnya. Aku benar-benar kesal dibuatnya, kalau tidak kotorannya yang berserakkan, sampah dirumah selalu saja dibuatnya berantakan. Maka dengan segala kesadaranku, aku berniat untuk merencanakan sebuah pembunuhan, pembunuhan terhadap seekor kucing. Sebenarnya aku tak punya nyali untuk membunuhnya, tapi tekad dan kemarahanku telah menutup mata hatiku untuk mentolerir ulah kucing itu.
Pus…..Pus…..Pus…… wanita tua itu mondar mandir didepan rumahku,tanpa bicara sepatah katapun kecuali terus memanggil-manggil kucing yang memang selalu tiduran diteras rumahku itu. Tetapi kucing itu sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Entahlah aku sendiri tidak pernah tahu, kenapa kucing itu sangat menyukai rumah kami menjadi tempat favoritnya. Bahkan hampir setiap hari kucing itu selalu berkeliaran, keluar masuk rumah kami seenaknya, tanpa merasa takut sedikitpun. Padahal hampir setiap kedatangannya, ada saja barang yang aku lemparkan untuk mengusirnya, tetapi ia selalu datang dan datang kembali. Pus…..Pus……Pus…… kembali aku mendengar suara memanggil manggil kucing itu, namun kali ini suaranya agak berat. Aku mengintip dari balik jendela, Oh……rupanya laki laki yang sering kali mondar-mandir di depan teras rumah kami itu juga salah satu dari pemilik kucing yang rencananya akan kubunuh itu! Aku berbicara dalam hatiku. Ehm…. Pantas!!! Sama sama misterius dengan kucingnya. Semula kami semua memang tidak pernah tahu kalau laki-laki misterius yang selalu mondar-mandir didepan teras kami itu adalah sang tuan dari kucing yang selama ini selalu ada dirumah kami. Karena laki laki yang usianya kira kira 45 tahunan itu, hampir setiap hari berdiri didepan pintu pagar rumah kami, tanpa bicara, tanpa suara. Aku dan teman-temanku berpikir, laki laki itu mungkin mengalami gangguan jiwa, dan memang seperti itulah yang aku dengar dari para tetangga. Akhirnya aku mengerti, ia berdiri didepan rumah kami, untuk mengawasi kucing kesayangannya itu. Seperti ada chemistry yang kuat antara ia dan kucingnya, kali ini kucing itupun langsung keluar dari peraduannya untuk pulang bersama dengan tuannya. Pemandangan seperti itu hampir setiap hari aku lihat, kucing itu tidur tiduran didepan teras rumah kami dan kemuian sang tuan segera menjemputnya. Kalau tidak laki laki itu, maka perempuan tua yang kemungkinan adalah ibu dari laki laki itulah yang datang menjemput kucingnya. Melihat kebersamaan yang menarik itu, tak juga menyurutkan niatku untuk menghabisi nyawa kucing itu.
Setelah banyaknya kejaian serta ulah yang menjengkelkan dari kucing itu, rasanya tak bisa ditawar-tawar lagi niatku. Kucing itu harus lekas dibunuh. Kalau tidak, akan berbahaya bagi kami semua, semua yang berada dirumah ini. Bagaimana tidak, kemarin kucing itu membawa bangkai tikus kedalam rumah, dan aroma tak sedappun mewarnai rumah kami. Pasti akan ada banyak virus yang bercokol dirumah kami akibat dari bangkai tikus yang dibawanya. Aku tidak peduli lagi siapa pemilik kucing itu, dan betapapun berartinya kucing itu, yang jelas aku sudah punya niat untuk menghabisinya. Kalau perlu aku sendiri yang akan merenggut nyawanya. Karena semua orang dirumah ini terlalu lemah untuk sekedar membunuh seekor binatang, bahkan salah satu dari keempat temanku itu sama sekali tidak berani membunuh binatang apapun, meski hanya untuk seekor semutpun. Sebelumnya tak pernah terbersit sedikitpun rencana untuk membunuh kucing itu. Bahkan aku sadar, niatku pasti akan ditentang oleh keempat temanku yang mempunyai label penyayang binatang itu. Namun kali ini aku tak berdaya menahan gejolak hatiku, kegeramanku terhadap kucing itu telah membuat darahku naik sampai keubun ubun.
Lia langsung tertawa ketika aku menceritakan niatku untuk membunuh kucing tetangga sebelah tersebut. Bahkan hampir seisi rumah ikut menertawakan niatku itu. Mereka berpikir aku sedang bercanda saja.
“ Kamu serius mau membunuh kucing itu? Vin, memangnya kamu tidak takut?” Kata Cicil yang paling antusias mendengar rencanaku untuk membunuh kucing tetangga sebelah itu. “ Aku serius Cil, makanya aku masih mencari cara yang tepat untuk melenyapkan kucing sialan itu dari muka bumi ini”, aku menjawab dengan berapi api. Tekadku memang sudah bulat untuk segera menghabisi nyawa kucing yang sudah membuat darahku naik sampai keubun ubun setiap melihat kucing itu berada di rumahku. “ Hati hati lho, nanti kamu kualat”, Leni mulai berkomentar. “ Dulu nenekku pernah bercerita, kalau kita membunuh seekor kucing, kita akan mendapatkan musibah” dengan serius Leni mulai menjelaskan sebuah mitos yang memang pernah aku dengar itu. “ Iya tuh aku juga pernah dengar lho!” Rini yang dari tadi nampak iam mulai ikut ikutan berbicara. “ Ah Vina, sudahlah urungkan saja niat kamu itu, bikin takut orang aja deh!” teriak Lia. Aku cuma tersenyum menanggapi kata-kata mereka. Tapi niatku untuk membunuh kucing itu sudah tidak dapat terbendung lagi. Aku tidak akan mundur dari rencanaku semula, dengan ataupun tanpa dukungan dari teman temanku. Dihatiku hanya ada satu niat “ Aku harus membunuh kucing sialan itu!”
Pagi itu sebelum niatku untuk membunuh kucing itu terlaksana, aku melihat kucing itu terkapar tanpa nafas didepan pagar rumah dengan aroma busuk yang menyengat. Aku terkejut sekali, apa yang terjadi dengan kucing itu, kenapa tiba tiba kucing itu mati? Pertanyaan pertanyaan itulah yang menggerayangi pikiranku. Tiba tiba laki laki yang menjadi tuan dari kucing tersebut menangis sejadi jadinya, meratapi jasad kucing kesayangannya. Ia tak mampu menampung kesedihannya. Dipeluknya kucing tak bernyawa itu sambil terus meraung-raung. Seperti anak kecil, laki laki itu terus menerus berteriak meratapi kepergian kucingnya. Dan aku mendengar ia memanggil-manggil sebuah nama, kalau tidak salah dengar ia memanggil manggil nama “Marni”. Aku bersama dengan teman-temanku serta beberapa tetangga yang kebetulan melihat adegan itu, hanya bisa saling bertatapan, tanpa pernah bisa memahami sepenting apakah arti kucing itu bagi laki laki itu. Aku melihat tatapan mata nelangsa dari laki-laki itu, dirinya terus menerus memeluk kucing itu sambil berteriak “Marni, Marni, maafkan aku!!” Sampai akhirnya laki-laki itu membawa kucing tak bernyawa itu masuk kedalam rumahnya,sayup sayup masih ku dengar isak tangisnya, serta teriakkannya memanggil mangil nama Marni. Begitu laki laki itu menghilang kedalam rumahnya, aku langsung menerima tatap curiga dari teman-temanku. “Jadi juga kamu melaksanakan niatmu Vin?” teriak Lia, “ Kasian lho Vin, kamu jahat banget sih?” kata Cicil, “Kita memang kesal dengan kucing itu, tapi kita juga tidak sampai hati kalau harus membunuhnya” Leni ikut ikutan menyalakahkanku. Aku iam tanpa bisa berkata-kata, perasaanku miris sekali melihat kejaian yang baru saja terjadi. “Bukan aku yang membunuhnya teman-teman!” aku berkata dengan perasaan kesal terhadap tuduhan teman-temanku. “Terus kenapa kucing itu tiba tiba mati?” Lia menyudutkanku. “Mana aku tahu! Aku sendiri juga kaget, tiba tiba melihat kucing itu sudah mati!” Dan kematian kucing yang secara misterius itu, semula masih menjadi tanda tanya besar bagi kami semua. Sampai akhirnya dari tetanggaku yang lain, aku mendengar ternyata kucing itu mati karena memakan bangkai tikus yang mati karena racun. Setelah misteri kematian kucing itu terungkap, teman-temankupun kelihatannya bernafas lega mendengar berita itu. Paling tidak kami tidak perlu merasa bersalah akibat kematian kucing itu, meskipun aku nyaris merencanakan pembunuhannya. Entahlah aku harus merasa senang dengan kematian kucing itu atau aku harus merasa menyesal memiliki niat membunuhnya, karena tangisan serta teriakkan laki laki itu sepertinya terus menerus terngiang-ngiang menghantui pikiranku. Marni?Siapakah Marni yang namanya terus dipanggil panggil oleh lelaki itu? Nama kucing itukah atau nama siapa? Pertanyaan pertanyaan itu silih berganti menghampiriku.
Aku masih penasaran dengan peristiwa kematian kucing tersebut. Tetapi belum habis rasa penasaranku terhadap kucing yang ingin kubunuh itu, tiba tiba keesokan harinya kami semua, bahkan semua tetangga yang ada dikomplek perumahan kami, dikejutkan dengan berita yang benar benar menggemparkan. Laki laki pemilik kucing itu menghabisi dirinya sendiri dengan meneguk segelas racun serangga. “Hah!! aku terkejut, bahkan shock mendengar berita itu. “Hanya karena seekor kucing laki laki itu bunuh diri? Begitu berartikah kucing itu, sampai laki laki itu berniat mengakhiri hidupnya setelah kematian kucingnya? Beruntung sekali aku belum melaksanakan niatku untuk membunuh kucing itu, kalau saja aku yang membunuhnya, berarti sekarang aku jugalah yang telah membunuh laki laki itu. Tiba tiba seluruh tubuhku menggigil dipenuhi oleh perasaan takut yang begitu menggunung. Dalam hati aku mengutuki laki laki itu, ah betapa bodohnya laki laki itu, seolah kucing itu adalah penentu takdir kematiannya.
Aku tidak berani keluar rumah, sejak kejaian itu. Bahkan semua teman serumahku tidak mau lagi berada diteras untuk sekedar bercengkrama seperti biasanya. Dengan alasan, masih terbayang bayang dengan sosok laki laki pemilik kucing itu. Berita kematian kucing yang disusul oleh pemiliknya itu benar benar menjadi topik yang menghebohkan para tetangga disekitar rumah kami. Lewat obrolan dengan beberapa tetanggaku itu, sedikit demi sedikit akhirnya aku menemukan rangkaian cerita yang cukup dramatis dan membuat perasaan setiap orang yang mendengarnya jadi miris. Kucing yang sudah seperti belahan jiwa bagi laki laki itu ternyata pemberian dari seorang wanita bernama Marni yang telah meninggal. Marni adalah kekasih dari lelaki itu. Sebelum meninggal Marni menitipkan kucing kesayangannya itu untuk dirawat. Memang sejak kepergian kekasihnya yang bernama Marni itu, laki laki tersebut sedikit mengalami gangguan jiwa. Dan hanya kepada kucing itulah jiwanya mampu berkata kata dan berbagi rasa. Ah… lagi lagi cinta membuat manusia kehilangan akal sehatnya. Cinta…. Siapa yang pernah mengundang cinta itu untuk datang, kalau pada akhirnya hanya membuat hati nelangsa dan putus asa? Kasihan laki laki itu, cinta telah membawanya pada pusaran tak bertepi dan membuatnya terluka begitu dalam. Tiba tiba ada perasaan menyesal yang cukup dalam dari hatiku, kenapa aku harus berniat membunuh kucing itu? Kucing yang ternyata mampu mewakili pernyataan cinta seorang wanita bernama Marni terhadap laki laki itu. Yah, itulah misteri kehidupan, hidup memang rahasia besar yang tak hanya ialami dalam cerita laki laki itu saja, karena setiap orang pasti akan menempuh misteri kehidupannya masing masing.
Pus ……pus…..pus…….sayup sayup kudengar suara seorang laki laki memanggil manggil seeokor kucing. Aku mencoba memberanikan diri mengintip dari balik jendela. Deg…..jantungku berdegup dengan kencang, seolah darahku serasa berhenti mengalir. Aku serasa tidak percaya pada penglihatanku sendiri, seperti gambar yang silih berganti berebut imajinasi merasuk ketakutan dijiwaku. Seperti sebelum kematiannya, laki laki itu berdiri dibalik pagar melihat pada kucingnya. Aku iam membatu tanpa bisa berkata kata, serasa tubuhku tersengat halilintar. Pemandangan dibalik pagar rumahku itu begitu nyata,padahal baru tadi siang lelaki itu telah disatukan dengan bumi. Dalam iamku masih sempat kulihat sepasang mata laki laki itu menatap tajam kearahku, seolah ingin menyalahkanku atas kematian kucingnya. Aku tetap tak bergeming, entahlah kemana jiwa dan ragaku berkelana, kakiku masih melekat pada bumi. Ingin aku berteriak membela diri “Bukan, bukan aku pembunuh kucing itu!”
January 2007

Rabu, 03 November 2010

SAHABAT

Rasanya telah begitu lama kota ini tak pernah aku kunjungi. Aku sudah lupa kapan terakhir aku berada disini. Tapi hari ini aku harus berada dikota ini, di Surabaya, kota yang terkenal dengan berbagai macam makanan khasnya dan segala keramahan penduduknya. Adikku yang paling kecil akan bertunangan, dan aku harus hadir untuk menyaksikannya. Itulah alasanku, kenapa aku harus berada di Surabaya, kota yang pernah memberiku kenangan paling pahit tentang cinta. Kota yang pernah memberiku kesedihan paling dalam sekaligus tempat yang telah membuatku pintar dan membentukku menjadi aku yang sekarang ini. Seharusnya aku bisa berdamai dengan suasana kota ini, namun semua ingatanku menuntunku untuk tidak mengingatnya lagi. Mengingat sebuah drama tentang penghianatan cinta yang dilakukan oleh sahabatku Erna. Sebenarnya aku sudah melupakan kenangan pahit itu, namun setiap kali aku berada di Surabaya, ingatan itu otomatis muncul dalam otakku. Sedih sekali mengingatnya. Apakah selama ini aku memang hanya pura pura melupakannya? Entahlah.........aku masih saja menyimpan bara setiap kali berbicara tentang Erna, teman satu kostku yang begitu akrab denganku. Selintas mataku menerawang membayangkan peristiwa 12 tahun silam. Dimana aku pernah memiliki seorang sahabat yang telah begitu dekat, baik dihati dan dijiwaku. Sahabat yang telah tega mencurangiku, yang diam diam menjalin cinta dengan orang yang aku cintai, Aldy. Sudah begitu lama, namun sakitnya masih bisa dirasakan sampai sekarang.

Aku sedang menikmati coklat panas di dunkin donuts yang ada didepan Universitas Surabaya. Sengaja aku memisahkan diri dari rombongan keluargaku, untuk menikmati jalanan surabaya ini sendirian. Menikmati coklat panas serta muffin rasa keju ......ehm rasanya nikmat, perpaduan rasa yang pas. Ahh........sungguh nikmatnya dunia ini. Tapi berbicara soal nikmatnya coklat panas dan muffin rasa keju di dunkin donuts, sungguh membuatku kesal. Tempat ini sebenarnya adalah tempat pertama kali aku memergoki penghianatan yang dilakukan oleh Erna. Hm…. Lagi lagi aku jadi kesal sendiri setiap kali mengingatnya. Aku menyesal pernah menjadikannya seorang sahabat. Harusnya aku tak mengenalkan Aldy kepada Erna, kalau aku tahu Aldy akan berpaling hati. Aku sangat menyesal mengingat kejadian itu. Karena beberapa hari setelah itu, aku lihat mereka tengah jalan berdua tanpa kehadiranku. Mengingatnya saja membuat aku ingin muntah sekarang. Gayanya yang sok bijaksana, juga sok ingin membuat orang tenang di sebelahnya. Nyatanya palsu! Ia seringkali menasehati aku untuk menjauhi Aldy, tapi rupanya ia menyimpan hatinya untuk Aldy. Keterlaluan!!
Erna, menurutku tidak terlalu menarik. Kulitnya tidak seterang kulitku, bahkan kulitnya mirip warna air aquarium tante kosku yang belum dibersihkan selama sebulan. Maaf ya bukannya aku menghina, tapi begitulah kenyataannya. Kalau kulitku lebih bersih, orang bilang kuning langsat. Berbeda dengan Erna yang memiliki kulit sedikit keruh, kurang bercahaya. Wajahku lebih sedikit oriental, diturunkan dari nenekku, semua itu begitu kental mengidentitaskan diriku sebagai gadis keturunan indo yang cantik. Aku bukannya sombong atau melebih-lebihkan. Tapi begitulah orang orang sering memujiku. Tentu saja aku akan selalu mengingatnya dan mencatatnya dilubuk hatiku yang terdalam. Erna asli Jawa, tak ada campuran apa-apa. Kalaupun ada, paling dari jawa dan sekitarnya. Aku pernah kok bertanya tentang silsilah keluarganya. Aku bilang sih, wajahnya lumayan ndeso gitu. Ahhh… aku tidak simpati lagi pada Erna. Bahkan, aku telah membakar dan tak mau lagi menyimpan foto-foto kami sewaktu liburan di Yogyakarta berdua.

Persahabatan yang kami bina beberapa tahun itu, akhirnya hanya tinggal kenangan saja. Erna telah menghancurkannya. Ia telah menghianati persahabatan kami, dengan diam diam menjalin hubungan dengan Aldy, orang yang paling aku cintai diseantero bumi ini. Bahkan kalau bisa seluruh mahluk laki laki dibumi ini ingin kuberi nama Aldy didepan nama nama mereka. Aku memang sudah cinta abis terhadap Aldy, setidaknya begitulah suasana hatiku saat itu, sebelum Erna menghianatiku. Erna sangat tahu isi hatiku, karena tak ada sedikitpun hatiku yang tersembunyi didepan Erna.Semua serba terbuka didepan Erna, begitupun sebaliknya aku tahu semua tentang Erna. Anak anak satu kos sampai cemburu melihat keakraban kami. Dimana ada aku, disitu juga pasti ada Erna.
Aku benci perempuan itu! Aku pikir ia sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Tanpa basa-basi dan tak meminta pendapatku sebelumnya, ia berani jalan berdua dengan orang yang aku cintai. Apa ia tak punya etika berteman? Padahal aku yang mengenalkannya pada cowok bernama Aldy itu. Seingatku, Erna juga yang dulu memaksa-maksa agar aku tak berhubungan dekat dengan Aldy. “Kamu jadi tidak ceria, setelah jatuh cinta dengan Aldy. Ia itu kan usianya jauh dibawah kamu! Sudahlah lupakan anak kecil itu” begitulah nasehatnya yang sok dewasa ketika aku mengeluh tentang hubunganku dengan Aldy, cowok yang usianya lebih muda empat tahun dibawahku. Dasar pagar makan tanaman!! Semua kata katanya palsu belaka!!!
Aduh……setiap kali aku mengingat peristiwa itu, rasanya aku ingin makan sebanyak mungkin. Tiba tiba bakso kikil diperempatan jalan Ngagel Jaya jadi melintas dikepalaku tanpa permisi. Bakso dengan potongan kikil , kuahnya dikasi sambal dan saos tomat serta dipadukan dengan lontong, Nikmatnya luar biasa……aku bahkan masih bisa merasakan nikmatnya dilidahku sampai sekarang, meskipun semua kejadian itu telah berlalu. Sayang sekali ingatan itu harus segera kutepis, karena dulu aku sering menikmati bakso kikil itu bersama dengan Erna. Sahabat karibku!! Menyebalkan memang ……membayangkan nikmatnya bakso kikil, sekaligus peristiwa yang menyakitkan itu. Semuanya memang harus terangkai satu paket spesial. O ya… ada satu yang masih terlupakan, minumnya es kelapa muda…………..hmm enaknya!!! Setelah itu aku langsung makan buah nanas sepulang dari pesta kecil itu, supaya semua lemak , daging bakso yang aku makan segera larut dan dicerna dengan mudah oleh perutku. Begitulah teorinya, menurut beberapa sumber yang aku sendiri tak tahu kebenarannya, dan ritual pelarutan itu tetap kulakukan. Walah…..benci aku mengingatnya!! Aku jadi benci kota ini, Ini semua gara gara penghianatan cinta yang dilakukan oleh sahabatku Erna. Tuh kan hatiku jadi panas. Huh……sepanas bakso kikil pak Jo dipojokan Ngagel.

Semua kisah 12 tahun lalu itu nyatanya terulang kembali dalam napak tilasku sehari ini di kota Surabaya. Ternyata memang benar menyimpan masa lalu yang menyakitkan itu lebih mudah dari pada melupakannya. Aku akui, sejak aku jatuh cinta dengan Aldy, aku merasa hidupku telah berubah, ia memberiku warna indah dalam setiap langkah hidupku, dan Erna tahu itu. Namun sayang, semua keindahan itu tak berjalan mulus, semua terhalang oleh usia diantara kita. Dan itulah problem yang selalu menjadi topik kami sehari hari. Erna sama sekali tak pernah bosan mendengarnya, ia memang pendengar yang baik. Namun sayang pada akhirnya aku telah salah menobatkannya menjadi sahabat terbaikku dibumi ini.
Coklat panas yang ada didepanku jadi dingin sebelum habis kuminum, aku masih merenungkan masa lalu itu. Ada sedikit gundah merayapi hatiku. Berkali kali aku mengusirnya pergi dari hatiku, namun rasa itu tetap kerasan. Entahlah sampai kapan aku bisa berlenggang dengan tenang dikota ini. Peristiwa itu membuatku terluka dalam. Aku merasa rendah dan dipermalukan. Sakitnya telah mampu merubah kehidupanku. Sejak saat itu aku tak pernah bisa percaya lagi terhadap orang lain. Aku hidup sendiri tanpa pernah peduli pendapat orang lain. Aku jadi tidak pernah ingin memiliki sahabat dekat kembali. Tak ada yang ku akui sebagai sahabat dibumi ini. Semua hanya teman biasa. Tak pernah lebih dari itu. Hasilnya aku jadi terbiasa dengan kesendirian. Dan aku tak pernah butuh sahabat. Kau tentu menganggapku berlebihan teman? Begitulah yang aku rasakan. Aku malu, aku merasa tak berharga dan dicampakkan. Kalau orang lain, mungkin aku masih bisa menerima keadaan ini dan dengan mudah pula aku pasti sudah melupakannya. Tapi ini sahabatku sendiri teman. Orang yang setiap hari bersamaku membicarakan cintaku........ dan ia juga yang menghancurkannya. Erna memang sutradara yang hebat, setiap hari yang ia lakukan adalah memberiku banyak peran diantara percintaanku dengan Aldy. Aku harus begini, aku harus begitu dengan Aldy nantinya............dan semuanya diatur dengan rapi oleh Erna, sampai drama penghianatan itu terbongkar dan aku melihat sendiri Erna sedang berjalan berduaan dengan Aldy sambil bergandeng tangan. Menyakitkan!! Apa kau sudah bisa merasakan apa yang aku rasakan teman?

Begitulah...........kenapa aku sulit sekali melupakan kejadihan pahit itu, karena aku masih malu, baik kepada diriku dan juga teman temanku. Malu karena Aldy, laki laki yang aku cintai itu mau juga berbagi hati dengan sahabatku. Perasaanku langsung hancur, cintaku terhadap Aldy berubah menjadi kebencian yang mendalam. Nyatanya waktu tak juga mampu menghapusnya, meski semua telah lama berlalu. Entah kemana sekarang Aldy dan Erna berada. Aku tak pernah ingin mendengar kabarnya. Setelah jalinan cintanya diam diam terhadap Aldy terbongkar, Erna sempat mengatakan ”Maaf aku telah merusak persahabatan kita, tapi aku berjanji untuk memperbaiki semuanya. Aku mau kita tetap bersahabat. Aku akan memutuskan hubunganku dengan Aldy. Aku lebih memilih persahabatan kita dibandingkan harus berhubungan dengan Aldy” Begitulah kata kata palsunya saat menghiburku. Dan memang beberapa saat Erna mampu mengelabui hatiku. Ia mulai intens mengajakku keluar makan, dan berusaha bersikap seperti dulu sebelum berkhianat. Namun itu hanya sesaat, nyatanya ia tak berkuasa atas cintanya terhadap Aldy. Pada akhirnya iapun pasrah menerima kebencianku.

Aku belum beranjak dari dunkin donuts, kebetulan hujan turun membasahi jalanan kota ini. Tanpa aku sadari ada yang menggenang di pelupuk mataku. Terasa kompak dengan air yang mengalir dari langit. Aku begitu sedih. Telah begitu lama aku memendam kebencian terhadap Erna, dan ternyata waktupun tak pernah mampu memberiku ruang untuk aku berlapang dada memaafkannya. Aku sangat menyesal teman. Ia itu sahabatku, aku begitu menyayanginya. Antara benci dan rindu berbaur menjadi satu selama belasan tahun dan aku tak pernah goyah oleh permintaan maaf macam apapun. Hatiku telah beku untuk sekedar berbaikan kembali dengan Erna dan juga Aldy pria yang aku cintai sekaligus turut aku benci itu. Ada pengalaman berharga dari kisah drama antara aku dan Erna, kisah yang sebenarnya bersumber pada diriku sendiri dan bukan pada seorang Erna, sikapku terhadap Erna selama ini hanyalah ungkapan kehampaan yang mendalam dari diriku. Ahh.... apa sebenarnya yang aku mau dalam hidup ini? Bukankah aku juga telah memiliki pengganti Aldy? Pria yang lebih baik dan lebih segalanya dari Aldy. Memang tidak menjadi nomor satu itu menyakitkan, tapi memendam rasa bencipun sebenarnya tidaklah nyaman. Kalau aku pikir pikir sebenarnya Erna adalah salah satu sarana yang Tuhan pakai untuk menuntunku menjadi aku yang sekarang ini, andai Erna tak berkhianat, andai aku tak pindah kekota Jakarta ini. Mungkin cerita hidupku akan berbeda, entahlah jadi seperti apa aku. Tapi begitulah manusia, tak pernah rela menerima kenyataan pahit yang terjadi didepan mata. Padahal dengan kejadian yang terjadi, Tuhan merencanakannya untuk sesuatu yang lebih baik dimasa mendatang.

Surabaya, 23 Desember 2009 Dunkin Donat depan UBAYA

JANGAN PANGGIL AKU MERRY !!

Ini adalah kisah cintaku. Dulu aku pernah menjadi orang yang paling bahagia dibumi ini. Punya cerita cinta yang indah, kekasih yang setia serta semua hal yang indah indah dibumi ini pernah menjadi milikku. Merry adalah namaku, nama yang cukup indah, pemberian kedua orang tuaku. Nama Mery memiliki arti riang dan bahagia. Orang tuaku berharap dengan memberi nama itu, aku akan membawa keceriaan dan kebahagiaan bagi orang orang yang ada sekitarku. Cukup manis bukan? Tapi .......akhir akhir ini nama itu menjadi sangat aku benci. Ketika orang memanggil namaku, seperti ada rasa nyeri yang luar biasa menghantam dadaku. Kau tahu kenapa? Semua itu terjadi sejak Hermawan, kekasih yang paling aku cintai berpaling hati kepada wanita lain yang bernama sama denganku, Merry. Suatu kebetulan yang menyakitkan. Dan sejak itu pula aku langsung membenci namaku sendiri. Yah….mungkin aku harus melupakan namaku.
Disatu sisi namaku adalah Merry, namun disisi yang lain aku tidak ingin lagi mendengar nama Merry disebut sebut lagi . Sungguh sesuatu yang sangat rumit terjadi ketika ada seseorang yang memanggil namaku. Lalu apakah aku harus mengganti namaku?. Beberapa waktu ini aku sempat bergelut dengan perasaan luka yang berkepanjangan. Hanya karena Mery dan Mery!! Kejadian itu membuatku begitu membeci diriku sendiri. “Jangan panggil aku Merry!” pintaku kepada siapapun yang mengenalku. “ Lalu kami harus memanggilmu apa? Bukankah itu memang namamu?” Tanya mereka dengan sikap bingung mendengar permintaanku. “Terserah panggil apa saja , asal jangan Merry?” Harapku memohon. Kejadian itu membuatku ingin hidup dalam tubuh seseorang. Aku ingin menjadi orang lain, siapapun itu kecuali menjadi manusia bernama Mery. Aku tahu itu tidak mungkin. Itu adalah sebuah dusta yang berusaha aku buat untuk diriku sendiri. Dusta murahan yang membuat diriku menjadi bahan olok-olok didalam diriku sendiri. Suara hati nuraniku berperang melawan kenyataan yang sesungguhnya.
“ Merry aku telah mempertaruhkan segalanya!!Tetapi kenyataan hidup berkata lain. Aku tak sanggup lagi menggenggam janji kita. Orang tuaku tak pernah menyetujui hubungan kita. Telah sekian lama aku berpikir, mungkin aku memang tak ditakdirkan untuk memilikimu” Itulah ucapan Hermawan kepadaku disiang yang naas menurutku. Karena sejak itu langit tak pernah nampak biru dimataku. Hanya kalimat pendek, tapi setidaknya tak berbeda jauh dengan drama satu babak tentang penghianatan seorang kekasih. Tatkala cinta tak lagi mengisi salah satu dari dua hati. Hermawan telah ingkar janji, dan semudah itu ia mengucapkanya. Padahal hatiku begitu hancur menerima pernyataannya. Aku tertatih tatih mengumpulkan sisa sisa tenagaku untuk berusaha meneruskan hidup ini meski tanpa Hermawan. Namun belum sempat luka akibat dicampakkan oleh Hermawan itu sembuh, tiba tiba saja tanpa butuh waktu yang lama Hermawan telah mampu berpaling kepada wanita lain, wanita yang bernama sama denganku. Hermawan telah melukaiku dengan pilihannya. Ia menjadi laki laki yang tak setia setelah kami menjalin hubungan selama empat tahun. Aku tak kuasa. Aku telah menyerahkan diriku sepenuhnya , tapi tampaknya hanya separuh diri Hermawan yang ingin memilikiku. Aku seperti manusia bodoh yang kehilangan arah. Masa depankupun nampak menjadi samar samar. Semua karena perasaan cintaku yang terlanjur dalam terhadap Hermawan.
Perempuan bernama Merry lainnya itu adalah perempuan yang kebetulan aku kenal digerejaku. Ia tak sepenuhnya bersalah terhadap berpalingnya Hermawan. Namun aku begitu membencinya dengan seluruh hatiku. Apa boleh aku bertanya ” Bagaimana seandainya kau menjadi diriku? Apa yang harus kulakukan? Tolong beritahu aku, supaya aku bisa melepaskan diriku dari jerat cinta Hermawan ”. Mungkin pernah bersama Hermawan memang telah menjadi takdir hidupku. Hampir empat tahun aku dan Hermawan menjalin cinta. Kami memang berbeda, Hermawan terlahir dari keluarga yang kaya, sedangkan aku hanya terlahir dari keluarga yang biasa. Memang kami tak sepadan dalam hal materi, namun aku yakin jika cinta yang semula menurutku kuat itu pasti akan mampu menghadapi rintangan apapun juga termasuk harus berhadapan dengan orang tua Hermawan. Tak kusangka Hermawan akhirnya menyerah dan dengan cepat berpaling, padahal hatiku sangat kerasan tinggal dalam hidupnya.
Dulu pertemuanku dengan Hermawan memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan antara dua manusia yang tiba-tiba saling mendekat, tanpa kita pernah sadari bahwa pada akhirnya pertemuan itu bermuara pada sebuah kisah cinta. Dari sebuah rasa yang biasa, akhirnya bisa menjadi sebuah perasaan yang membuatku ketagihan. Seperti pertemuan dua telapak tangan yang sama, yang selama ini mungkin hanya hadir dalam cermin. Klop sudah! Dulu aku mensyukuri semuanya, seperti halnya mensyukuri pertemuanku dengan Hermawan. Namun sekarang semua telah berubah, ingin ku bunuh sosok Hermawan dalam tubuhku, entah bagaimanapun caranya. Aku tak yakin jika putaran waktu akan membuatku melupakannya, karena disetiap aliran darahku telah dipenuhi dengan sosok Hermawan.
Hari harikupun langsung dipenuhi dengan air mata. Namun sebanyak apapun air mataku keluar, itupun tak pernah cukup menghapus luka dihatiku. Hermawan tak mungkin menjadi milikku lagi. Ia telah pergi merajut mimpi barunya bersama dengan wanita bernama Merry. Dan akupun belum sama sekali ikhlas menerima keputusan Hermawan. Terlalu sulit mengubur semuanya setelah empat tahun kita bersama. Hermawan seolah membawa separuh jiwaku pergi, aku sudah tak utuh lagi. Ibarat kupu kupu, separo sayapku telah patah kini.
Hari itu diperpustakaan gereja aku bertemu dengan Merry , kekasih baru Hermawan. Hatiku masih saja terasa ngilu melihatnya, meskipun ini bukanlah pertemuan kami yang pertama. Aku tahu ” Hatiku terlalu cemburu melihatnya, bara dalam hatiku belum benar benar padam”. Tiba tiba dari arah belakang sebuah suara seperti memanggil namaku ”Merry!” . Suara itu sangat aku kenal, suara yang pernah begitu lekat dengan hatiku, itu suara Hermawan. Aku tahu panggilan itu tidak ditujukan untukku, tapi secara reflek kepalaku ikut menoleh juga. Seolah Hermawan memang sedang memanggilku. Namun belum sepenuhnya kepalaku menoleh, aku melihat Merry yang lain telah berjalan terlebih dahulu menghampiri Hermawan. Hermawan melihat kearahku dengan perasaan kikuk dan aku buru buru berlalu pergi dari hadapannya. Aku belum sanggup melihatnya berpaling, apalagi dengan wanita bernama sama denganku. Nama kebanggaanku, nama yang pernah dengan begitu mesra diucapkan oleh Hermawan saat memanggilku. Namun sekarang panggilan mesra untuk namaku telah diberikan kepada perempuan lain. Aku semakin membenci namaku sendiri. Apa kau paham dengan yang aku rasakan kawan? Semoga!! Jadi aku anjurkan jangan pernah panggil namaku ”Merry”!! Aku benci itu!!
Begitulah kisah cintaku. Dua belas purnama telah berlalu, namun perasaanku terhadap Hermawan tak juga hambar. Cinta itu masih bergelora. Antara cinta dan luka telah merobek dan mengiris iris hatiku. Diam diam masih sering kutangisi sosok Hermawan. Hingga pada akhirnya sebuah kesadaran menyentakkan hatiku. Aku membaca sebuah buku tentang kisah penghianatan cinta yang sangat memilukan. Bahkan lebih menyedihkan dari kisah cintaku sendiri. Diceritakan sepasang kekasih yang pada mulanya saling mencintai. Kemudian seiring waktu berlalu sang pria berkhianat. Rupanya ia tertarik dengan wanita yang lebih kaya dari pada kekasihnya. Ternyata pria itu memang memiliki watak yang kurang baik. Tidak cukup ia menghianati wanita itu, karena ketakutan perselingkuhannya terbongkar, iapun membuat skenario yang kejam untuk mengenyahkan wanita yang telah menjadi kekasihnya itu. Iapun dengan sengaja memasukkan semacam obat terlarang kedalam tas wanita tersebut, dan mengajak wanita itu berlibur kesebuah tempat, namun belum sempat mereka menikmati liburan, sang wanita tertangkap dibandara akibat ditemukan obat terlarang itu didalam tasnya. Tidak ada alibi, tidak ada saksi yang mampu menolong wanita tersebut dari jerat hukum. Pada akhirnya wanita itu harus menanggung akibat dari perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Ia dipenjara, dan laki laki penghianat itu memiliki alasan untuk memutuskannya. Tragis !! Kejamnya kekasih!. Setelah membaca cerita itu, akupun menangisi kebodohanku. Ternyata begitu banyak kisah kisah cinta yang lebih menyedihkan dibumi ini dibanding kisahku sendiri. Kisah itupun langsung menyadarkanku. Aku tak boleh bersedih lagi.
Kurun memang sering tak menentu, meski kadang datang dan pergi tak tentu arah. Begitu juga dengan hidup ini, selalu berjalan antara kejutan dan kenangan. Meski aku belum bisa melupakan Hermawan seutuhnya, namun aku telah bertekad membuat diriku sembuh dari luka cintanya. Tidak boleh lagi aku bersedih karena Hermawan. Aku harus menganggap Hermawan adalah laki laki yang tidak beruntung karena telah mencampakkan aku. Sedih?? Tidak! Aku tak boleh tersiksa dalam kesedihan. Aku harus berpikir bahwa justru dengan sedih itu aku bisa merasakan manisnya kehidupan. Aku harus bisa memaknai kesedihanku selama ini. Mungkin tak cuma air mata yang telah aku curahkan, melainkan juga seluruh luka hati yang telah Hermawan goreskan di tubuhku ini. Aku memang masih akan bertahan dengan potongan-potongan kenangan yang beberapa penggal telah mengabur seiring langkah Hermawan yang kian menjauh. Namun aku harus yakin bahwa akan ada cerita cinta indah lainnya yang akan menjadi milikku nantinya.
Malam tak dapat mepertahankan diri untuk tidak menjadi siang. Pada waktunya kelak siangpun akan dirampas oleh malam. Semua akan tergeser oleh waktu dan keadaan. Dan aku percaya , sayapku yang patah akan pulih bersama dengan waktu. Hingga aku mampu terbang kembali. Kemudian aku tak perlu lagi menyalahkan namaku, ataupun membencinya, karena itu adalah nama terindah yang pernah diberikan oleh kedua orang tuaku. Sekarang aku beritahu kalian ” Namaku adalah Merry dan aku sangat bangga dengan namaku” Jangan pernah ragu lagi, panggil aku ”Merry”!!!!

Jakarta, 19 September 2009, kutulis ini saat aku berulang tahun.........ternyata tak mudah juga menulis sebuah kisah cinta

Selasa, 02 November 2010

RABUN SENJA CINTA

Apa kau pernah jatuh cinta? Orang bilang jatuh cinta itu sangat indah dan berjuta rasanya. Cinta selalu saja mampu membuat tegar semua insan yang merasakanya. Begitu banyak kenangan kenangan tentang cinta yang bisa dikais disudut alam ini. Kali ini aku jatuh cinta lagi. Ini adalah untuk yang kesekian kalinya, aku jatuh cinta. Jatuh cinta, lalu disakiti, jatuh cinta lagi dan terluka lagi. Tapi aku masih saja ingin mengejarnya, tak peduli seberapa jauh aku mengejar dan berlari, aku tetap ingin jatuh cinta lagi. Kau mungkin tak kan pernah mengerti betapa kesepiannya aku menghadapi kebebasanku tanpa cinta.
Banyak orang yang menderita karena cinta. Tapi tak sedikit yang begitu bahagia menerima cinta. Aku merasa cinta selalu memberiku ketenangan. Memberiku keindahan. Sehingga aku tak pernah merasa takut untuk jatuh cinta dan jatuh cinta lagi. Cinta membuat jantungku berdegup lebih kencang. Ada desir desir indah yang menggelitik ragaku. Dan aku rela menukar semua keindahan cinta itu dengan apapun juga.
Begitulah aku. Saat cinta datang menghampiriku, aku merasa mataku telah rabun senja. Meski mataku harus buta dikala senja. Aku tak pernah peduli, aku rela menukarnya dengan mataku yang buta. Namun kebutaanku malah mampu memberiku ketenangan. Sekilas mataku memandang kegelapan, namun aku mampu mendengar suara suara yang merdu itu lebih dekat.Semakin mataku buta, rasanya semua makin jelas terlihat. Mungkin karena itulah aku selalu membutuhkan cinta. Yah ….cinta dan buta telah begitu erat bersahabat sepanjang masa.
Kebutaan mataku itu seolah seperti rabun senja, sesaat aku mampu memandang cinta dengan mataku yang menyala. Tapi sesaat yang lain mataku telah menjadi buta karena cinta. .Meski aku berjalan bertatih tatih dalam kebutaanku, namun aku tak pernah salah menerka apapun yang kulihat. Karena cinta memang tak pernah salah. Pada saatnya cinta akan menghampiri siapa saja, tak peduli miskin kaya, tua muda, semua berhak untuk jatuh cinta. Bahkan akupun tidak pernah tahu lagi, apakah malam akan berganti dengan siang dan sebaliknya, karena meski buta, mataku seolah terus bersinar kapanpun dan dimanapun aku berada. Dan semua itu karena aku telah jatuh cinta.
Aku juga tak pernah berpikir tentang hari esok. Kebutaanku begitu memabukkan. Kebutaan yang telah membiusku untuk tidak pernah peduli lagi dengan semua yang ada disekelilingku. Suara suara ejekkan, nada nada sumbang yang didengungkan dari luar duniaku, seolah menjadi melodi terindah yang mampu membuatku terbang kelangit yang tinggi. Akupun tak mampu tersadar, meski tubuhku pelan pelan telah terpisah dan menjauh dari hiruk pikuknya isi bumi ini. Semua telah kuanggap tak ada. Tidak ada yang lebih berarti kecuali cinta dan diriku sendiri. Mataku bahkan tidak hanya rabun senja lagi, tapi matakupun semakin buta. Akupun terseret dalam arus cinta yang begitu mendalam.
Kadang aku bertanya kepada diriku sendiri, kenapa aku selalu buta ?? Kenapa aku tidak bisa menggunakan mataku dengan jelas saat aku jatuh cinta? Supaya aku bisa membedakan kapan waktu harus pagi dan kapan harus beranjak menjadi siang ataupun malam. Namun aku tak pernah bisa menemukan jawabnya. Yang aku tahu semua itu karena aku telah jatuh cinta. Cinta telah mampu membuatku merasakan segala sesuatunya. Pahit, manis, getir semuanya ada didalam cinta.
Kalau saja aku mampu menerima cinta dengan pemikiran yang sederhana, tentu aku tak kan sendiri lagi. Bertahun tahun waktu bergulir tanpa batas yang pasti. Aku masih saja sibuk dengan kebutaanku. Entah kapan aku bisa melihat semuanya dengan jelas! Karena sebenarnya aku telah lelah untuk jatuh cinta lagi, buta lagi, dilukai lagi dan kesepian lagi.
Aku hanya memiliki dua mata, namun mataku tak pernah lelah untuk memandang begitu banyak cinta. Aku selalu saja terjebak dalam arus cinta yang membutakanku. Meski begitu aku selalu ingin dan ingin lagi mencari cinta. Antara pasrah dan terjebak, aku akhirnya memutuskan untuk jatuh cinta lagi, buta lagi dan jatuh cinta lagi.

Jakarta, 14 Februari 2009 ( Saat aku ingin menulis tentang cinta)

S U M I

Sumi diam mematung dihadapanku dan beberapa anak kos lainnya. Ia sudah layaknya seorang terdakwa yang menunggu vonis akhir saja. Sebenarnya aku tak bermaksud menginterograsinya seperti seorang polisi. Namun sikap diamnya, membuatku tak sabar mencercanya dengan berbagai macam pertanyaan. Aku memang ditugaskan oleh anak anak kos sebagai juru bicara untuk menginterograsi Sumi. Ini semua berawal dari perubahan sikap dan tubuh Sumi yang memang membuat kami memiliki banyak kecurigaan. Mula-mula tak ada seorang pun yang peduli ataupun curiga dengan perubahan tubuh sumi pembantu kosku dua bulan terakhir ini. Namun ketika perubahannya mengarah pada sebuah keganjilan, maka kami anak anak satu kospun mulai bertanya tanya. Kenapa Sumi terlihat gemuk hanya pada bagian perutnya dan pada buah dadanya saja? Bukankah itu tanda tanda orang yang sedang hamil? Tapi bukankah ia belum menikah? Lalu dengan siapa Sumi hamil? Kami hanya memendam kecurigaan itu dihati masing masing. “Tapi kapan Sumi sempat memiliki teman pria? Sudah berapa bulan Sumi hamil? Ataukah sebenarnya Sumi hanya terkena penyakit perut dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan perutnya?” Begitulah bisik bisik itu meningkat menjadi sebuah kecurigaan yang pada akhirnya kami ungkapkan didepan Sumi. Sumi adalah pembantu kosku. Ia masih sangat muda. Umurnya baru 19 tahun. Seperti kebanyakan anak anak kampung yang putus sekolah, Sumi berusaha memperjuangkan nasibnya kekota. Meski hanya untuk menjadi seorang pembantu. Namun ia sudah cukup bahagia. Ia rajin dan tekun menjalani pekerjaannya. Ia sudah sangat akrab dengan anak anak kos, karena semua keperluan yang menyangkut fasilitas kos, sudah diserahkan oleh pemilik kos kepada Sumi. Om Agus pemilik kosku sudah memberikan semua mandat kepada Sumi untuk mengurusi keperluan kami, termasuk menerima uang pembayaran kos setiap bulannya. Setiap hari Sumilah yang mencuci baju baju kami dan menyiapkan segala macam keperluan kami. Bagi kami Sumi sudah seperti teman bahkan keluarga kami. Maka ketika terjadi sesuatu yang sedikit berubah terhadap keadaan Sumi, kamipun langsung mengetahuinya.

Sumi masih diam memaku. Akupun terdiam untuk memberi kesempatan ia berkata kata. Anak anak kos lainnya yang berhimpitan mengelilingi Sumi juga diam tanpa sepatah katapun. Mereka hanya menahan nafas menunggu jawaban yang keluar dari mulut Sumi. Tapi Sumi masih diam dan tak melakukan apa apa. Tatapannya kosong, keningnya yang lapang semakin memperjelas kehampaan. Rambutnya yang lurus tersisir rapi, hanya dikuncir ekor kuda saja. Sumi menunduk sambil meremas remas kedua tangannya, tanda kegelisahan yang dalam. Ia kembali menatapku, kemudian menatap secara bergantian kepada anak anak kos yang lainnya. Masih tanpa suara.
“ Apa yang sebenarnya terjadi dengan kamu Sum,” tanyaku sekali lagi. “Kami semua disini akan membantumu, jadi tolong jawab semua pertanyaan kami. Tidak perlu takut, percayalah kepada kami”. Sumi masih tetap dalam keadaan bungkam. Namun tiba tiba kulihat air mata menggenangi pipinya menanggapi kata kataku. Secara hampir bersamaan kami semua menghela nafas, antara lega dan kecewa, kami langsung memahami keadaan Sumi. Tanpa sepatah katapun penjelasan dari Sumi, kamipun langsung bisa mengartikan kegelisahan Sumi diantara kami. Sumi hamil!. Sebagaimana seorang wanita, seharusnya kehamilan bisa dimaknai dengan kebahagiaan ataupun sebuah kebanggaan. Namun ini berbeda. Sumi hamil, dan kami semua tidak tahu dengan siapa ia hamil. Sumi masih bujang, ia belum menikah. Bahkan menurut pengamatan kami, ia tidak punya pacar. Inilah yang menjadikan masalah ini semakin rumit. Aku memegang kedua tangannya, ingin kuberi sedikit kekuatan yang kumiliki untuk wanita malang yang ada dihadapanku ini. Air matanya sudah hampir mengering, namun mulutnya tetap terkunci. Aku memberikan isyarat dengan mataku kepada anak anak kos yang masih berderet deret mengelilingi Sumi, supaya mereka meninggalkan aku dan Sumi berdua saja.
“Kamu tidak sendiri Sum! Ada aku dan teman teman yang lain.” Aku mulai mengajaknya bicara kembali setelah anak anak meninggalkan kami.
“Siapa yang melakukan ini Sum?” desakku
“Kenapa kamu harus menutup nutupi dari kami? Ayolah Sum, tidak ada gunanya kamu bungkam seperti ini. Nantipun kami juga akan tahu” aku berkata sambil memegang bahunya pelan.
“Saya harus menjawab apa mbak?” jawab Sumi. Aku sudah menduga, ia pasti tak akan mau menjawab pertanyaanku. Ini sudah lebih dari setengah jam aku menjadikannya seorang sandera, supaya ia berterus terang tentang perubahan tubuhnya itu. Namun sia sia saja rupanya kerja kerasku untuk membujuknya. Sumi tetap bungkam dan menyisakan misteri yang membuat kami harus memutar otak sendiri untuk mencari jawabannya.
“Sudahlah Sum, istirahatlah!” kataku akhirnya
“Kapanpun kamu memerlukan bantuan, kami siap membantumu Sum”.
"Iya mbak, terimakasih.” Akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulut Sumi.
Sumi naik ke lantai dua, tempat dimana kamarnya berada. Begitu Sumi naik, anak anak kos yang lain langsung mengelilingi aku. Mereka penasaran, ingin mengetahui apa yang telah Sumi katakan kepadaku.
“ Gimana Mel, apa yang Sumi katakan?, ia benar benar hamil kan? Siapa bapaknya? ” Indra langsung memberondongiku dengan pertanyaannya.
“Iya Mel Gimana hasilnya?” Eldy menimpali pertanyaan Indra dengan tak sabar. Aku hanya menggeleng gelengkan kepalaku, tanda tak ada hasilnya pembicaraanku dengan Sumi. Anak anak kos yang lain melihatku dengan perasaan kecewa.
“Kalau Sumi beneran hamil, hamil dengan siapa ya?” Indra mulai memutar otaknya mencari tahu. Lalu mulailah kami semua menghubung hubungkan semua kegiatan Sumi dan kemungkinan siapa pria yang bisa menghamili Sumi.
“Dirumah ini hanya ada dua lelaki, Om Agus dan Hendry anaknya. Apa mungkin salah satu dari mereka berdua?” Era mulai dengan analisanya.
“Hus….ngawur deh kamu Ra! Mana mungkin? Tante Rosi begitu cantiknya, masak sich Om Agus bisa tergoda dengan Sumi” sahutku
“ Ya maaf, tidak bermaksud merendahkan Sumi, tapi dibandingkan dengan tante Rosi, Sumi itu tidak ada apa apanya Teman!” Aku berusaha membuat mereka berpikir realistis
“Ya bisa aja lho!! Secara Om Agus setiap hari pakaiannya hanya berkaos kutang dan celana pendek ha…ha….” Lha apa hubungannya Ndra ……. Ha…ha….ha… semua anak anak kos tertawa berderai derai membicarakan Om Agus. Sementara lupa sudah kami dengan penderitaan yang dialami oleh Sumi. Begitulah kami, semua anak anak kos selalu berkelakar satu sama lain, ketika kami berkumpul. Termasuk seringnya kami membicarakan keluarga pemilik kos yang memang banyak hal yang bisa kami bahas dari kehidupan keluarga mereka. Salah satunya adalah cara Om Agus berbusana yang tak lepas dari pengamatan kami, yaitu celana pendek dan berkaos kutang. Seolah Om Agus memang memiliki berlusin lusin celana pendek dan kaos kutang kegemarannya itu.

Om Agus pemilik kos kami adalah lelaki berusia 47 tahunan. Istrinya tante Rosi memiliki paras yang sangat cantik. Tante Rosi bekerja sebagai penata Rias, ia membuka salon disebelah kos kami. Sedangkan Om Agus sendiri tidak tahu apa pekerjaannya. Setiap hari yang dilakukan hanyalah mengurusi binatang binatang kesayangannya, anjing, ikan koi dan burung burung merpatinya. Tempat kos kami memang satu rumah dengan pemiliknya, tapi kami sangat nyaman tinggal ditempat itu. Selain tempatnya strategis berdekatan dengan jalan raya, fasilitasnya juga sangat menunjang kenyamanan kami sebagai anak anak kos. Om Agus dan tante Rosi memiliki tiga orang anak, Dua perempuan dan satu laki laki. Hendry anak pertamanya drop out dari SMA, Lusy anak keduanya masih kuliah semester tiga, namun kelihatanya sudah ada yang melamarnya. Anaknya yang ketiga perempuan masih kelas V SD, namanya Ana. Itulah sedikit gambaran tentang keluarga Om Agus. Kelihatannya seperti keluarga yang bahagia. Jadi mana mungkin kalau Om Agus yang telah menghamili Sumi?
Misteri tentang hamilnya Sumi, masih menjadi pembicaraan hangat diantara kami seminggu terakhir ini. Sedang Sumi sama sekali tak mau berterus terang tentang siapa lelaki yang telah menghamilinya. Meski setiap hari aku berusaha membujuknya, Sumi tetap tak bergeming.
“ Sum, kamu sehat kan? Kamu baik baik aja kan?”
Tanyaku suatu sore ketika ia sedang mencuci baju. Sumi menoleh dengan wajah sedikit tersenyum.
“Aha……ia tersenyum!” Baru sore ini kulihat senyum tersungging dibibirnya, setelah kami menginterograsinya seminggu lalu. Sebenarnya Sumi adalah sosok yang ramah dan menyenangkan. Namun kejadian yang menimpanya membuat ia sangat pelit senyum.
“ Saya nggak papa kok mbak, saya sehat sehat aja. Mbak mbak semua nggak usah kuatir dengan keadaan saya!”
Sumi sudah mau berbicara dengan kalimat yang lumayan panjang. Akupun merasa mendapat kesempatan untuk bertanya lebih lanjut tentang kehamilannya.
“Tapi Sum, kamu harus berterus terang mengenai siapa Bapak dari bayimu itu. Jangan kau tutup tutupi, aku dan anak anak kos yang lain akan membantumu.”
“Semua sudah selesai kok mbak, saya sudah trima dengan nasib saya” Sumi mulai buka suara lagi.
“Apa maksudmu Sum?” Aku mulai penasaran dengan jawaban Sumi
“Saya ini kan orang kecil mbak, saya cuma dianggap sampah yang gak ada artinya. Jadi nggak papa mbak, kehamilan ini akan saya terima dengan hati yang ihklas. Minggu depan saya pulang mbak, saya mau melahirkan dikampung. Terimakasih, mbak mbak sudah begitu baik dengan saya”.
Aku ternganga mendengar kalimat panjang yang diungkapkan oleh Sumi. Tiba tiba hatiku sakit sekali. Aku tidak bisa terima dengan keadaan Sumi. Tapi akupun tak kuasa memaksa Sumi untuk berterus terang, siapa laki laki keparat yang telah menghamilinya. “Siapa Bapak dari bayimu Sum? Apa kamu takut diancam oleh laki laki itu?” Sekali lagi aku mendesaknya.
“ Sudahlah mbak, saya ihklas kok”. Lagi lagi jawaban ihklas yang aku dengar dari mulut Sumi.
“ Sum, apa kamu sebenarnya sudah menikah dikampung?” Aku terus tidak puas dengan jawaban Sumi
"Saya tidak pernah menikah mbak! Dan saya tidak memiliki lelaki yang saya cintai!!" Sumi tiba tiba menangis sesunggukan. "Kamu diperkosa? Oleh siapa? Pacarmu?" “ Saya tidak punya pacar! Saya tidak mencintai siapapun mbak!”
Sebenarnya aku ingin mendesaknya sampai ia berterus terang. Tapi aku tak tega melanjutkan pertanyaan pertanyaanku yang masih menggunung itu. Sudah cukup jelas, Sumi hamil bukan karena kehendaknya. Bukan karena cinta, bukan karena ia rela ditiduri oleh seorang lelaki. Sumi terpaksa dihamili. Tapi oleh siapa? Siapa juga yang tega memperkosa Sumi? "Kenapa kau menutupi siapa laki laki itu Sum? Ia telah berbuat sangat jahat kepadamu!"
"Saya hanya tidak ingin menanggung penderitaan lagi setelah musibah ini, Mbak." Sahutnya lirih. Demi melihat penderitaan Sumi, akupun tidak berusaha mendesaknya lagi. “Sabar ya Sum! Semoga kamu bisa bertahan menghadapi penderitaan ini, jangan sungkan sungkan minta pertolongan dari kami ya Sum! Itulah akhirnya kata yang bisa aku sampaikan untuk menghiburnya. Lidahku sudah terasa kelu untuk membahas penderitaan Sumi lebih lanjut.
“ O ya, apa kamu sudah pamitan sama tante Rosi dan Om Agus?” tanyaku kembali
“ Sudah mbak!”
“ Om Agus mengijinkan kamu pulang?”
“Iya mbak, mereka semua mengerti keadaan saya kok”
“Jadi mereka juga tahu kalau kamu hamil Sum?”
“Tidak mbak! Mereka hanya bertanya, kok mendadak saya pulang?”
“Saya bilang, saya mau nemenin simbok dikampung”
Begitulah hasil pembicaraanku dengan Sumi disore yang menyedihkan itu. Aku kembali kekamarku dengan dada yang sesak. Sumi bukan perempuan nakal, ia tidak layak mendapat resiko ini. Aku sedih sekali dengan apa yang menimpanya. Usianya baru 19 tahun, ia hamil diluar nikah dan tidak seorangpun bisa dimintai pertanggung jawaban. Semestinya aku harus bisa memperjuangkan nasib Sumi, tapi aku sendiri tak berdaya. Toh Sumi tak pernah mau mengungkapkan siapa Bapak dari bayinya itu. Ihklas! Itulah alasan Sumi yang tak bisa masuk keakalku. Bagiku Sumi adalah perempuan istimewa. Ia tak mau menyebut satu namapun untuk Bapak bayinya itu. Semua beban dengan ihklas diterimanya dengan hati yang lapang. Tak banyak perempuan seperti Sumi. Betapa rasa ihklas Sumi telah mengalahkan penderitaan yang dialaminya.

Sore itu kami sedang duduk bersantai diruangan tamu. Sudah menjadi kebiasaan anak anak kos ditempat kami sehabis pulang dari kantor. Sumi baru saja pulang kekampungnya siang tadi. Namun kepulangannya masih menjadi misteri bagi kami. Tak banyak yang kami bicarakan, topik yang paling sering kami bahas adalah para artis yang makin aneh aneh saja tingkahnya atau para politisi yang bisanya hanya bicara soal rakyat tapi tidak mampu memperjuangkan nasib rakyat. “Wah kalau Sumi pulang….sementara ini kita mesti cuci baju sendiri dong!” Era berbicara sambil mengaduk susu coklat kesukaannya. “Nggaklah, besok Tante Ros, pasti dah dapat pengganti Sumi”. Sahutku sok tahu. “Jadi siapa yang menghamili Sumi ya?” Indra berbicara seolah pada dirinya sendiri, karena tak seorangpun mampu menjawab pertanyaannya. “Yah…..salah satu dari dua lelaki dirumah inilah, emangnya siapa lagi?” Eldy asal menyahut. Aku sebenarnya agak sependapat dengan Eldy, namun aku lebih suka menyimpannya sendiri. Aku tak punya nyali mengungkapkan secara terbuka kemungkinan kemungkinan siapa lelaki yang menghamili Sumi. Sumi saja yang dihamili merasa ihklas masak aku yang prostes, batinku sedih. “Hus….. Nanti kalau kedengaran sama tante Rosi, bisa bisa kita diusir keluar dari sini” kataku mengingatkan anak anak, supaya tidak asal ceplos aja membicarakan kehamilan Sumi. Anak anak tak menggubrisku, mereka semakin asal asalan memberikan prediksi, siapa laki laki yang telah menghamili Sumi. “ Kalau bukan Om Agus atau Hendry, apa Sumi di perkosa sama tukang ojek didepan rumah? “ “ Sumi mungkin sudah pernah menikah dikampung, terus suaminya datang tanpa sepengetahuan kita” “Pengunjung salonnya tante Rosi kali, kan banyak juga Om Om yang genit genit tuh!” “Tukang antar catering kita juga punya kesempatan menghamili Sumi lho?” “Pak kumis, tukang nasi goreng kita, Sumi kan sering kita suruh beli nasi gorengnya?” Begitulah anak anak kos saling bersahutan mengomentari kehamilan Sumi. Aku sendiri tercenung memikirkan nasib Sumi. Betapa hidup ini tak pernah adil. Sumi perempuan malang itu hamil tanpa suami. Tak ada yang mengaku jadi Bapak dari bayinya. Masa depan seperti apa yang tersisa untuk Sumi? Belum lagi caci maki yang akan diterimanya dari orang orang dikampung yang melihat keadaan Sumi yang hamil diluar nikah. Orang dikampung pasti akan menganggap Sumi adalah perempuan nakal, penganut sex bebas dikota, makanya ia hamil tanpa suami. Aduh…….membayangkan saja aku tak tahan dengan penderitaan Sumi. Tapi ihklas menerima kenyataan hidup, seperti yang Sumi katakan kepadaku? Hm….tak tahulah aku teman apa masih ada perempuan yang ihklas diperkosa tanpa mau menuntut lelaki keparat yang telah memperkosanya itu? Atau memang Sumilah satu satunya perempuan di bumi ini yang begitu ihklas menjalani penderitaan hidup?

Sore itu Kak Emmy, teman satu kosku yang paling senior pulang dengan mata yang masih sembab, bahkan air matanya belum benar benar mengering. Aku sedang membuat puding coklat diruang makan, tempat kita biasa berkumpul. Aku tak sengaja melihatnya menangis, jadi aku menyapanya. “Hai kak, baru pulang? Ia tidak menjawab. Demi melihatnya menangis, aku langsung mengikuti masuk kekamarnya. “Lho kak, kenapa? Sorry nggak bermaksud ikut campur, tapi Kakak boleh cerita ke aku kok”. “Barry… Barry Mel” “Iya kenapa dengan Barry Kak!” Barry itu adalah nama pacar Kak Emmy. “Kenapa sih Kak, Barry?” Aku mengulangi pertanyaanku. Dengan terbata bata kak Emmy menjawab “ Barry…… Barry, dialah yang menghamili Sumi!” “What?” Aku shock bukan kepalang. Aku langsung terduduk lemas di pinggiran ranjang yang ada dikamar Kak Emmy. Kepalaku mendadak pening berputar putar. Ini gila, ini benar benar gila! Bagaimana mungkin pacar Kak Emmy yang pendiam itu yang telah menghamili Sumi? Kemudian Kak Emmy menceritakan kronologis kejadian kenapa bisa Barry pacar Kak Emmy yang telah menghamili Sumi. Rupanya Kak Emmy meminta bantuan Barry untuk memperbaiki komputer dikamarnya. Siang itu Sumilah yang dititipi kunci kamar oleh Kak Emmy. Karena siang hari dikos selalu tidak ada orang, maka Barry punya kesempatan untuk memuaskan nafsu bejatnya itu memperkosa Sumi. Sebenarnya kos kosan kami sangat ketat, dan tak seorangpun laki laki diijinkan masuk sampai kekamar, kecuali sampai diruang tamu dan atas seijin tante Rosi. Namun hari itu iblis benar benar memberi kesempatan Barry mencelakai masa depan Sumi, hingga Sumi hamil. Hidup ini memang penuh dengan misteri. Siapa yang menyangka laki laki sebaik Barrylah yang telah menghancurkan masa depan Sumi. Padahal baru kemarin dugaan kami sudah mengarah kepada Hendry anak Om Agus yang secara bersamaan telah menghamili pacarnya juga yang masih duduk dibangku SMA. Barry bukan hanya menghancurkan masa depan Sumi, tapi ia juga telah menyakiti hati Kak Emmy. Teka teki kehamilan Sumi terjawab sudah. Namun atas permintaan Kak Emmy biarlah cerita ini hanya menjadi rahasia diantara aku dan ia. Aku sependapat dengan Kak Emmy, rasanya tak pantas saja aku mengumbar cerita tentang kebejatan pacar Kak Emmy. Kasihan Kak Emmy!. Aku akan melaksanakan mandat dari Kak Emmy, akan kusimpan sendiri pengalaman pahit dua wanita malang tersebut, Sumi dan Kak Emmy.

Jakarta 27 November 2009, Saat ku tulis kisah setengah nyata ini atas permintaan sebagian anak anak kos. (Memori kos Bratang Binangun Surabaya 1997, selamanya akan tetap menjadi kenangan)

WANITA ITU ............

Akhirnya aku kembali ketempat ini lagi, setelah berbulan bulan aku berjuang melawan perasaanku sendiri. Aku memang tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Meskipun aku pernah berjanji untuk tidak akan menginjakkan kakiku ketempat ini. Namun ada bagian dari hidupku yang selalu menghimbauku untuk kembali lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak jauh, sekedar memastikan bahwa ia akan baik baik saja menjalani hidupnya.

Dari balik tembok yang terpisah dengan batas supaya aku tidak terlihat, aku bersembunyi seperti mata mata yang sedang mengintai mangsanya. Jantungku berdegup begitu kencang diburu oleh ketakutan, perasaan kuatir kalau kalau aku akan tertangkap basah saat berusaha melihatnya dari jarak jauh. Aku melihatnya, wanita itu sedang duduk sambil tertawa tawa bersama dengan beberapa orang muda yang tidak lagi sebaya dengannya. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka perbincangkan, tetapi sesekali mereka cekikikan, sambil sekedar bercubit cubitan tanda gemas dengan isi obrolan mereka. Meski halaman rumah itu tidak begitu asri, bahkan hanya ada satu pohon jambu yang tidak begitu besar menghiasi halamannya, namun kebersamaan itu seringkali terlihat hampir sepanjang hari. Ia memang sangat berbeda dengan wanita lain. Entahlah aku tidak pernah bisa menebak apa yang ada dalam isi kepalanya. Ia seperti hidup dalam dunianya sendiri. Tak seorangpun bisa memahami apa yang diinginkannya termasuk aku, orang yang paling dekat dengannya.
Aku segera menarik kepalaku dari balik tembok itu sambil menunduk untuk bersembunyi, ketika ku lihat ia seperti sedang menatap sesuatu kearahku. Aku berharap semoga ia tidak melihatku. Jantungku semakin berdegup dengan kencang. Kembali aku melihat wanita itu dari tempat persembunyianku, setelah degup jantungku berhasil kutenangkan. Wanita itu duduk dengan santai menyandarkan punggungnya melekat pada kursi rotan yang memang sudah nampak usang. Sedangkan kakinya ia angkat dan diletakkan diatas kursi yang lain. Sepertinya ia begitu bebas, mungkin sebebas perasaannya yang seolah olah tidak memiliki keterikatan batin dengan siapapun juga. Sejenak aku berpikir, apakah selintas saja ia pernah berpikir tentang aku? Setelah sekian lama kita tidak pernah bertemu. Entahlah aku tidak pernah berani berharap banyak tentang perasaannya kepadaku. Tiba tiba dari balik tempatku bersembunyi ada seseorang yang menegurku “ Hai baru datang ya? Mengapa bersembunyi disini? “ Udah lama tidak ketemu kan?” Aku terkejut sekali mendengar sapaan itu, takut kalau wanita yang sedang aku lihat itu mendengar dan melihat kearahku. “ Oh... iya bu, nanti saya pasti akan kesana!” Jawabku seraya mengarahkan tanganku menunjuk kearah wanita yang sedang bercengkrama didepan teras rumahnya itu, lalu aku menempelkan jari telunjukku keatas bibir, supaya ibu yang menegurku tersebut diam diam saja. “ Mereka terbiasa seperti itu, bahkan sampai larut malam” kata ibu itu lagi sambil berlalu. Tanpa sadar air mataku mengucur merembes jatuh dikedua belah pipiku. Betapa sakit melihatnya tertawa tanpa beban sedikitpun. Sepertinya ia memang bahagia. Kembali aku melihat dan mendengar wanita itu beserta dengan teman temannya tertawa lepas, suaranya membahana merayapi setiap rumah yang bersebrangan dengan rumah wanita itu. Aku hanya bisa menahan rasa sakit melihat adegan itu. Sakit bukan karena ia bahagia, tapi hatiku sakit karena aku tidak pernah tahu apa makna dibalik semua tawanya itu. Aku bahkan tidak pernah tahu, apakah ia benar benar hidup bahagia atau ia hanya pura pura bahagia.
Sejak aku menjelajahi belantara ibu kota negara tiga tahun terakhir ini, aku memang hanya mengunjunginya setiap tahun sekali. Itupun sebagai ritual bahwa sosoknya masih terus menghiasi seluruh sisa usia yang kumiliki. Hanya itu .......selebihnya tidak ada kenangan sedikitpun yang bisa kuingat darinya. Semuanya nyaris terlupakan, lebih tepatnya lagi ingin kulupakan. Meskipun aku tahu, keinginan itu tidak akan pernah terwujud, karena ia selalu ada dihatiku. Meskipun tidak ada kerinduan yang membuncah yang memintaku untuk datang melihatnya., namun langkahku selalu tak rela beranjak jauh dari hidupnya. Pertemuan demi pertemuan yang terjadi selalu terasa hambar. Tidak pernah lebih dari sepuluh menit kita berbicara sekedar berbagi rasa, setelah sekian lama kita tidak berjumpa. Aku tidak mengerti, kenapa ia tidak pernah mau berlama lama bersamaku? Namun pertanyaanku itu tidak pernah ada jawabnya. Saat aku bertanya kepadanyapun, ia hanya diam tanpa berbicara. Aku sendiri juga tidak merasa nyaman dan gembira saat bersamanya. Dan waktu yang akhirnya membuat rasa yang kita miliki semakin memudar. Tapi mungkin itulah yang diinginkannya, karena setahun yang lalu ia pernah menghimbauku untuk melupakannya.

Tiba tiba rentetan peristiwa yang membuatku pergi meninggalkannya itu kembali menghiasi kepalaku seperti sebuah film yang terulas dengan jelas. Setahun yang lalu aku meninggalkannya dengan kemarahan yang meledak ledak. Sore itu tanpa sengaja telingaku mendengarkan seluruh isi pembicaraanya bersama dengan teman temannya. Aku tidak pernah mengerti kenapa ia melakukan semua itu kepadaku. Ia sama sekali tidak pernah menganggapku ada dibumi ini. “ Aku akan tetap menjual rumah ini, tanpa ataupun dengan persetujuan siapapun! Ini rumahku, ayahnya mana pernah meninggalkan warisan untuknya! Aku tidak peduli kemana ia pergi setelah rumah ini aku jual! “ Kata kata seperti itulah yang mampir ditelingaku setahun yang lalu. Singkat, namun mampu membuat dadaku sesak. Hatiku sakit sekali, seolah dadaku tak mampu lagi untuk bernafas. Apa yang ia katakan telah melukaiku. Padahal seluruh hidupku telah kuberikan untuknya.

Yah......wanita yang telah mengatakan kalimat itu adalah ibuku. Orang yang merembesi benih rahimnya dengan nyawaku. Tapi sepertinya ia tidak pernah menginginkanku. Entahlah ....... ia seolah tidak memiliki ikatan batin sama sekali denganku. Bertahun tahun aku hidup tanpa rasa peduli darinya. Jarang sekali ibu mengajakku bicara. Tatapannya selalu penuh dengan kebencian saat melihatku. Selama ini ayahlah yang berperan ganda, menjadi ayah sekaligus ibu buatku. Meski begitu aku tidak pernah membencinya. Selama hidup, ayah memberiku limpahan kasih sayang yang lebih dari cukup, hingga aku tak pernah merasa perlu seorang ibu. Aku tidak mengerti mengapa ibu bersikap seperti itu terhadapku, padahal aku adalah anak semata wayangnya. Sikap ibu benar benar misteri yang tak pernah mampu aku pecahkan. Suatu kali aku bertanya tentang sikap ibu itu kepada ayah, namun ayah juga tidak memberiku penjelasan yang membuatku puas. Ayah hanya bilang “ Apapun yang ibu lakukan kepadamu, kau tak boleh membencinya Rin” Dan sejak itu akupun tak pernah lagi bertanya ataupun menghiraukan ibu. Bagiku bersama ayah, sudah cukup membuatku bahagia.

Namun setelah ayah meninggal, tiba tiba aku merasa perlu ibu. Aku perlu ibu sebagai teman sekaligus sahabat untuk menjalani sisa hidup ini. Aku merasa kewajibanku adalah melindunginya, mencintainya dan menjaganya. Sayang semua yang aku lakukan itu tidak pernah berarti apa apa bagi ibu. Ibu tetap ibu yang tak pernah berubah, meski ada ataupun tidak ada ayah. Ia tetap tak ingin hidup bersamaku seperti yang ibu ibu lain lakukan terhadap anaknya. Bahkan hatinya tak sedikitpun tersentuh dengan semua sikapku yang selalu berusaha menyenangkannya. Ia begitu membenciku. Sampai sampai ia ingin aku melupakannya. Bahkan rumah yang seharusnya menjadi tempat ketika aku pulang, itupun ingin dijualnya tanpa menghiraukan keberadaanku.
Selama ini aku ingin sekali berbakti terhadap wanita yang telah melahirkanku itu. Namun sikap ibu membuat hatiku kecewa. Dan yang paling membuat hatiku sakit adalah diam diam ibu menjalin hubungan dengan pria lain. Ibu benar benar tak menghiraukan keberadaanku. Kalaupun tiba tiba ibu berbuat baik, itu hanya karena ia menginginkan sesuatu dariku. Aku sadar, aku hanya bisa memuaskan jasmaninya dan tidak batinnya. Ibuku berjalan dalam hidupnya sendiri. Tak seorangpun tahu apa yang sebenarnya diinginkannya. Ia melakukan apa saja yang ia mau lakukan tanpa penah peduli bahwa apa yang telah diperbuatnya itu melukai perasaanku sebagai anaknya. Aku hanyalah anak yang terlahir dari rahimnya, tapi tidak pernah ada dalam hatinya.
Sebenarnya ibuku adalah perempuan dengan wajah dan sosok yang menyenangkan. Tapi bagiku peranggai ibuku bukanlah gambaran ibu baik yang selama ini selalu iagung agungkan oleh manusia dibumi ini. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dipeluk oleh ibuku seperti yang ibu ibu lain lakukan terhadap anaknya. Akupun tak pernah mengerti kenapa ibuku melakukan itu terhadapku. Kadang aku merasa penat dengan beban hidupku. Pernah terbersit dibenakku untuk melupakan saja ibuku, namun aku tidak pernah mampu melakukannya. Apalagi sejak ayah meninggal, semua terasa berat berada dipundakku. Sehinggga kesedihan yang teramat sangat itu membuatku lupa untuk berbagi, bahkan dengan kerabatku yang lain. Aku telah terbiasa berpikir bahwa setiap masalah harus kuhadapi sendiri. Dan aku tetap merasa ibuku adalah wanita terbaik yang pernah kumiliki.

Sekali lagi aku menatapnya dari kejauhan, entahlah...... sebenarnya aku tidak pernah tega meninggalkannya, namun aku tak berdaya, aku lelah mengikuti jalan hidupnya yang memang tak pernah seirama denganku. Semua orang yang memiliki pertalian kerabat dengannya, menghimbauku untuk tidak terlalu peduli kepadanya. Bagi mereka, yang telah aku lakukan sudah lebih dari cukup sebagai sebuah pengabdian seorang anak terhadap ibunya. Tidak akan ada yang menganggapku anak durhaka. Namun aku tidak pernah bisa melakukannya. Tubuhku dapat terbang tapi jiwaku tidak. Aku tidak dapat memaafkan diriku jika aku harus melupakannya. Meskipun berulang kali para kerabatku selalu menganggapku bodoh karena aku terlalu mempedulikannya.

Kutatap lagi rumah yang membesarkanku itu untuk yang terakhir kali.. Hampir tak berubah. Pohon jambu yang masih berbuah. Pintu kayu bercat coklat yang sudah nampak begitu usang. Kursi rotan yang dipajang didepan teras. Semua masih sama, tidak ada yang berubah. Ibukupun masih sama, ia sama sekali belum berubah. Dan aku juga masih tetap menjadi orang asing dalam hidupnya. Pelan pelan kutinggalkan rumah yang tak pernah memberiku kenangan baik itu dengan air mata yang hampir tumpah. Entah sampai kapan aku bisa menjadi anak yang sesungguhnya bagi ibuku. Anak yang dilimpahi dengan kasih sayang yang tulus seperti ibu ibu didunia ini. Aku sangat ingin memeluknya, pelukkan seorang ibu yang hampir tak pernah aku rasakan itu. Maka seperti saat ini, aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Sambil menahan hatiku yang selalu terluka bila mengingatnya. Sepertinya ia bahagia dengan hari hari yang dilaluinya. Yah….semoga! Karena bagaimanapun aku tak kan pernah menghapus takdir bahwa ia tetaplah ibu yang membuatku ada dibumi ini dan ibu yang tetap harus aku cintai bagaimanapun ia.

Jakarta, 22 Desember 2007

MUSAFIR CINTA

Aku adalah seorang pengembara cinta, itu sebabnya aku belum mau terjerat dengan tali pernikahan. Cinta memang telah membuatku bodoh. Tapi aku terlalu berhati hati, supaya aku tidak tergelincir dan jatuh ke pelaminan. Aku tak ingin mahluk bernama cinta itu menyergapku dan membantingku ke jurang pernikahan secepatnya.

”Kamu harus segera menikah, apapun bentuknya itu!” Ibuku selalu mengulang pernyataanya itu hampir setiap bertemu denganku. Entah sudah berapa kali ibu memberikan pernyataan serupa itu. Memang kata katanya tidak selalu sama persis, akan tetapi intinya selalu sama, yaitu menganjurkan aku untuk segera menikah. Lama lama aku jadi terbiasa dengan omelan ibuku, yang sudah seperti kaset rusak yang diputar berulang ulang dengan suara yang sama.

” Apa aku harus menikah, Ma? " tanyaku suatu kali kepada ibu, saat dia mulai lagi mendebatku tentang kehidupan pernikahan yang selalu ingin ku hindari.

"Harus…!" jawab ibu dengan cepat. " Supaya kau tidak kesepian nantinya.
Lihatlah! semua adik adikmu sudah menikah, tinggal kau sendirian. Apa kau tidak ingin seperti mereka?”

"Aku mau ma, seperti mereka…..," jawabku. Aku memang masih punya keinginan untuk menikah. Hanya saja aku belum menemukan laki laki yang tepat untuk mendampingiku. Berkali kali cinta telah membuatku jatuh, tapi tak sampai membuatku terpeleset ke pelaminan.

“ Apakah kebahagiaan itu hanya ada dalam sebuah pernikahan, Ma?” tanyaku kembali kepada ibu. Ibuku terdiam, dia asyik menjahit baju ayah yang robek jahitannya. Aku tahu ibuku diam karena dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaanku. Dan aku sengaja memberikan pertanyaan itu untuk mengakhiri perdebatan kita.

Aku tercenung sejenak. Teringat kembali satu persatu adikku yang telah menikah beberapa tahun terakhir ini. Diantara lima bersaudara itu, hanya aku yang belum menikah, padahal aku adalah anak tertua dalam keluargaku.

“ Mama hanya ingin melihatmu bahagia” kembali ibu mengangkat mukanya melihatku. “Tapi tidak harus menikah kan, Ma?” Ibu tidak menyahutiku lagi, matanya menyorotkan kesedihan dan aku tahu itu.

Aku sangat memahami sikap ibu, dan keinginan ibu yang menganjurkan supaya aku secepatnya menikah.

Ibu selalu bilang “ Pernikahan akan membuatmu bahagia, kau akan memiliki teman hidup yang bisa menjagamu selamanya”. Terus terang, aku membenarkan pendapat ibu. Meski tidak semuanya benar apa yang ibu ceritakan tentang sebuah pernikahan. Ibu memang sesekali memaksaku untuk berhenti menjadi pengembara cinta. Namun aku juga tetap keukeh tak pernah mau sembarangan untuk dijodohkan. Bertahun tahun aku bertatih tatih melintasi jalanan terjal dan berliku, berteman dengan cinta dan harapan. Aku menjadi musafir cinta, yang melangkah tanpa kepastian. Belum ada jodoh yang membuatku berhenti untuk melangkah.

Sebagai musafir cinta, begitu banyak hal yang aku alami dan kupahami dalam hidup ini. Terutama tentang hidup berkeluarga. sungguh tak terlalu sulit aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Lewat pernikahan teman temanku, aku banyak sekali mendapat ilmu tentang hidup berumah tangga. Meskipun aku belum menikah, tetapi aku sering menjadi tempat berkeluh kesah dari semua temanku yang rumah tangganya bermasalah. Maka jadilah aku manusia paling pintar dalam urusan berkeluarga diantara teman temanku yang lain.

Dulu, aku pernah membayangkan sebuah pernikahan yang sangat indah, tak sedikitpun aku merasa takut menghadapi pernikahan. Waktu itu aku sedang menjalin cinta dengan lelaki yang kutemui di Gerejaku. Saat itu aku baru saja lulus menjadi sarjana bahasa inggris. Aku memang menyukai segala macam sastra, jadi aku mengambil jurusan itu. Kebetulan Benny, laki laki itu juga mengambil jurusan yang sama denganku. Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Benny bisa terlibat diskusi perihal tentang drama dan juga sastra. Dari diskusi itulah, perkenalanku berlanjut. Benny ternyata orang yang sangat rapi, humoris namun sedikit sensitif. Bersamanya aku sangat bahagia, hari hari indahpun sempat menjadi milik kita. Karena itulah kami berdua merencanakan sebuah pernikahan. Namun disaat kami berencana mempersiapkan pernikahan, justru konflik konflik kecil itu muncul tanpa kami sadari. Hanya karena masalah sepele, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkanku. Mungkin memang kami hanya berjodoh menjadi teman. Dengan segala keterpaksaan aku menerima keputusannya. “Maafkan aku May! Aku bukan laki laki yang tepat untukmu. Telah berulang kali aku mencoba untuk sejajar denganmu, tapi aku tak pernah bisa. Kau adalah wanita yang tak pernah butuh laki laki. Mandiri dan berkemauan keras. Aku tak mau menjadi lebih rendah darimu hanya karena kepintaranmu bekerja serta bersosialisasi. Jadi sebaiknya kita jalani kehidupan kita masing masing. Aku yakin, kau akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dariku”. Itulah ungkapan hatinya yang panjang dan sangat mengejutkanku. Aku tak pernah menyangka Benny akan berpaling dariku. Aku pikir pengembaraan cintaku akan berakhir bahagia bersama dengan Benny. Namun hanya Tuhanlah yang tahu.

Hendry? Ya, laki laki itu bernama Hendry. Lelaki itu adalah pacarku selanjutnya. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi dalam sebuah acara gereja, ketika ada acara retreat di gerejaku. Waktu itu pagi nan dingin, di daerah puncak, gerejaku mengadakan retreat untuk wanita dan pria lajang. Hendry diajak oleh seorang teman untuk mengikuti acara tersebut. Setelah acara itu berakhir, maka kamipun saling menjalin hubungan. Tak seperti Benny yang humoris, Hendry adalah lelaki pendiam. Namun dasar kerohaniannya sangat kuat. Sering kami terlibat dalam diskusi diskusi tentang Tuhan dan pentingnya Tuhan dalam hidup kita. Sehingga sering aku dibikin kewalahan ketika berdebat dengannya. Aku memang tak terlalu pandai berbicara tentang agama, Tuhan dan kerohanian. Sehingga seringkali pembicaraan kami tak seimbang. Lama kelamaan aku merasa tak pantas bersanding dengannya. Berdasarkan alasan itulah yang akhirnya membuatku memutuskan tali cinta. Padahal aku sudah mulai kerasan tinggal dihatinya.

"Hendry, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi tentang Tuhan dan kerohanian. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi dengan kerohanian yang mendalam. Aku hidup lurus dan apa adanya, tapi tak terlalu dalam dibidang kerohanian. Jadi sepertinya kita tak berjodoh". Demikian pengakuanku kepada Hendry suatu malam, setelah kami selesai menghadiri Ibadah di gereja. "Tapi kau pelaku yang baik, Woman in action. Kau mampu menjadi konselor bagi semua orang yang membutuhkan pertolongan. Aku bersyukur dipertemukan oleh Tuhan denganmu”. Begitulah Hendry merasa keberatan dengan keputusanku. Namun aku telah memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, maka jadilah Hendry yang pasrah menerima keputusanku. “Kalau kita berjodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan kita, Hen!” Demikian hiburku pada hari yang lain saat kita bertemu diacara amal Gereja, sambil dia membantuku melipat lipat pakaian yang akan dibagikan.

Setelah itu aku selalu berpindah pindah hati, dari laki laki yang satu ke laki laki yang lain. Dan beberapa dari lelaki itu selalu membuatku terluka. Aku tak mengerti kenapa cintaku selalu jatuh kepada orang yang salah. Padahal aku adalah perempuan yang kesetiaannya tak perlu diragukan lagi. Aku bukan tipe perempuan yang suka berkhianat. Namun mungkin takdir hidup belum berpihak denganku, sehingga aku masih saja jadi pengembara cinta. Aku menekuri diriku dalam kesepianku, apakah salah kalau aku sampai saat ini masih menjadi musafir cinta? Berkelana mencari hati yang tepat untuk bersandar. Aku hanya ingin kenyamanan dalam hidupku, dan itu hanya bisa dilakukan kalau aku telah menemukan seseorang yang tepat untuk menjadi teman hidupku.

Selanjutnya, ku biarkan cintaku mengalir begitu saja. Tak apalah semuanya mengalir alamiah. Hidup…….cinta……..dan kebahagiaan semua akan tetap menjadi milikku. Tidak harus terdaftar dalam sebuah lembaga perkawinan. Apa benar kita tak kan pernah bahagia, hanya karena tidak menikah, kawan? Kau tentu telah tahu jawabannya, seandainya kau memiliki nasib yang sama denganku.

Aku tak peduli apapun omongan orang tentang pengembaraanku ini. Tak juga aku peduli dengan usia yang terus menerus memburuku. Aku hanya ingin menciptakan kebahagiaanku sendiri. Bagiku kebahagiaan itu seperti setetes warna yang paling bersinar diantara warna warna lain yang lebih kusam. Bila seseorang mampu meraih segala sesuatu yang diimpikannya, tentu akan merasa bahagia. Begitulah kehidupan! Kadang aku merasa lelah juga menjadi musafir cinta, berkelana dari hati yang satu kehati yang lainnya. Seolah aku memang tak pernah sepadan dengan manusia yang lainnya. Sebenarnya aku juga ingin hidup layak seperti umumnya orang lain. Menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang diimpikan semua orang. Namun apakah itu semua adalah hakekat hidup yang sesungguhnya, kawan? Ah…..tak tahulah aku! Aku hanya tahu bahwa hidupku selalu saja bahagia, ada ataupun tanpa seseorang yang disebut pasangan hidup. Jangan kau menganggap pernyataanku ini naif, hanya karena aku memang belum memiliki pasangan hidup, kawan! Jadi aku bisa mengatakan hal seperti itu. Tapi kau boleh percaya padaku kawan! “Kebahagiaan hidup tidak hanya ada pada sebuah pernikahan!” Sudah terlalu banyak neraka neraka yang tercipta dalam sebuah keluarga. Jadi janganlah terlalu tergesa kau menambah satu neraka lagi. Carilah orang yang tepat dan ciptakan surga dalam berkeluarga. Bukankah itu yang selalu kita impikan, kawan?

Beberapa tahun terakhir ini, secara khusus aku memang memohon kepada Tuhan, agar aku diberikan seseorang yang tepat. Kemudian aku berhenti menjadi musafir cinta. Tuhan pasti telah menyediakan jodoh yang tepat buatku.
Perjalanan pengembaraan cintaku memang terkesan dan begitu indah. Tak ada cacat, semua berjalan baik dan tenang. Hanya sedikit ombak, itupun dari teman teman dan keluargaku yang menitik beratkan bahwa hanya dengan menikah , seseorang akan hidup bahagia. Kunikmati pengembaraanku ini. Memang sedikit aneh dan mengundang rasa kasihan. Tapi begitulah kehidupan, ada yang pro dan ada yang kontra.

Aku adalah musafir cinta, dan aku sangat bahagia. Tak tahu kapan jodoh akan membuatku berhenti untuk melangkah. Namun aku sangat menikmati hari hari kebebasanku ini. Luapan kegembiraan dan kebahagiaanku seolah tak terbatas. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Entah sampai kapan semua itu harus diakhiri.
Mungkin sampai aku merasa menemukan laki laki yang sudah matang dan tepat yang bisa mengerti tentang kehidupanku. Semua keegoisan, kesepian, kebebasan, memang harus diakhiri ketika Tuhan memberiku jodoh yang tepat. Aku berharap tak selamanya menjadi musafir cinta, meski aku sangat menyukai kebebasanku. "Ini hanya sementara…," Aku yakin Tuhan telah menyediakan jodoh yang tepat untukku. Sehingga aku harus berhenti dari pengembaraanku. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janji Tuhan itu dalam hidupku.


Jakarta, 23 September 2009,

SESUATU YANG MANIS

19 September 2009 Pkl. 00.01 WIB Dini hari yang gelisah

Aku sengaja tidak ingin tertidur cepat malam ini. Ini adalah hari istimewaku. Aku ingin menyambutnya dengan semangat dan jiwa yang penuh pengharapan. Tak peduli penghuni bumi lainnya sudah terlelap. Aku masih saja semangat dan tak sedikitpun mataku mengajak untuk diistirahatkan. Angin malam menembus kulit ariku lewat kisi kisi jendela kamarku, dingin terasa menusuk. Sejenak hatiku terasa ringan ketika merasa seharusnya ada sesuatu yang "manis" untukku hari ini. Untuk itulah aku tak ingin tertidur malam ini. Aku ingin menunggunya sampai lewat pukul 01.00. Supaya esokpun aku bisa menyongsong hariku itu dengan perasaan yang nyaman dan tetap semangat. Aku menghidupkan note bookku untuk melihat dari mana dan siapa siapa saja yang telah mengingat hari istimewaku. Dengan antusias aku melihat ada beberapa ucapan selamat yang ditujukan untukku lewat alamat Face bookku. Ada juga beberapa SMS yang masuk berisi ucapan selamat ulang tahun. Lenny teman kosku di tempat yang lama menuliskan ucapannya pertama kali di Face Bookku , kemudian disusul oleh Ade teman kerjaku dimotorola. Nike, sahabatku yang tak pernah berpaling menelponku sambil menggodaku mengenai orang spesial yang akan menemaniku melewatkan ulang tahunku. Kemudian Dony, sahabat lama yang baru menemukanku kembali , juga menelponku, rupanya dia juga masih mengingat ulang tahunku. Waktu telah menunjukkan Pkl. 01.30, aku putuskan untuk segera tidur. Sementara aku harus melupakan sesuatu yang “ manis “ itu, karena meski waktu telah lewat satu setengah jam melewati hariku, namun yang aku tunggu tak muncul juga. Aku ingin esok bisa bangun dengan tubuh yang segar, meskipun ku akui, akupun tertidur dengan perasaan yang sedikit gelisah.

19 September 2009 Pkl. 08.00 WIB Pagi hari yang cerah

Aku memang bangun tidak terlalu pagi, karena semalam aku baru tertidur pkl. 02.00 WIB. Aku tersenyum didepan cermin. Ada perasaan nyaman yang menembus dihatiku. Perasaan itu membuatku segera terbang ke kamar mandi. Kucuran air membuatku terasa lebih segar. Lalu kukenakan pakaian dan berkaca. Hm…..…bagaimanapun aku tetap tak bisa menutupi lemak yang bertaburan pada tubuhku, meskipun aku telah berusaha untuk menguranginya. Akhir akhir ini aku melakukan diet ketat untuk menyongsong hari dimana aku pernah dilahirkan itu. Yah… ingin kuhargai tubuhku dengan menghilangkan beberapa kilo lemak dari tubuhku. Supaya badanku terasa ringan dan sehat. Untuk itu setiap hari aku hanya menyantap telur, tomat, bayam, selada disertai dengan teh pahit. Aku membuat tubuhku tersiksa selama seminggu ini. Hasilnya lemak tubuhku memang berkurang 4 kg. Tapi berat ideal yang aku inginkan, tentu saja jauh dari yang aku mau. Jauuuuuuuhhhhhhh buangget!! Saat aku selesai berdandan untuk memulai kegiatanku hari ini, aku tersenyum ketika melihat banyak SMS masuk yang berisi ucapan selamat ulang tahun. Lalu kembali aku membuka note bookku, puluhan ucapan bernada sama menghiasinya. Mereka adalah teman teman yang mengingatku. Meski begitu banyak SMS yang masuk, dan puluhan ucapan selamat pada face bookku, tetapi aku masih menunggu dari seseorang. Ah….kenapa dia belum ingat juga meski pagi akan segera berlalu? Aku segera berangkat ketempat kerjaku, setelah membereskan note book dan sekali lagi berbenah diri. Aku ingin tampil secantik mungkin hari ini.


19 September 2009 Pkl. 12.00 WIB Siang hari yang resah

Aku duduk diam memperhatikan para tamu yang sedang makan diwarung yang aku kelola disebuah Mall, sambil sesekali tersenyum kepada pelanggan yang kebetulan melihat kearahku. Suasana warung kebetulan ramai sekali, biasalah long week end dan kebetulan liburan menjelang lebaran. Anganku terbang ke dunia lain. Tak pernah aku duga sebelumnya, kalau aku akan tersesat dalam dunia kuliner ini. Semua terasa ajaib terjadi dalam hidupku, karena sebelumnya aku adalah wanita karier yang selalu bekerja dibalik meja. Namun saat ini aku hanyalah seorang wanita biasa dengan sebuah mimpi rahasia yang hanya aku sendiri dan Tuhan yang tahu. Lamunanku pecah ketika tiba-tiba seseorang pelanggan menghampiriku untuk membayar. “Ada tambahan lain Bu!” aku meneliti nota pembayaran, kemudian mulailah aku ketik semua pesanannya. Aku menggantikan kasir yang bertugas. Ini biasa aku lakukan kalau warung dalam keadaan ramai. Karena kasir yang biasa bertugas, aku perbantukan untuk melayani tamu tamu yang datang. Pekerjaan yang asyik, lebih menyenangkan dibandingkan dengan harus sepanjang hari berada dikantoran. “Terima kasih bu! Lain waktu kembali lagi ya?” pintaku kepada setiap pelanggan begitu mereka selesai membayar sembari tak lupa ku selipkan sebuah senyuman. Olala! Inilah pekerjaan yang aku pilih. Tapi aku bahagia menjalani hari hariku. Bertemu dengan banyak orang dan selalu memberikan mereka senyuman.
Mungkin pekerjaan ini tak terlalu istimewa untuk kebanyakkan orang. Tapi aku sangat menikmatinya. Tak seperti dulu saat bekerja dikantoran, sekarang aku perempuan dengan wajah tanpa bedak, dengan baju sederhana, dan selalu berbau aroma masakan menguap dari tubuhku. Karena setiap hari aku harus bergelut dengan menu menu makanan yang ada diwarungku. Tak mengapa! Aku tetap bisa bahagia dan mengisi hariku dengan sesuatu yang berarti. Aku mengamati para cleaning service yang sedang bertugas membersihkan elevator yang ada didepan warungku. Mereka beraktivitas dengan ekspresi yang bebas. Mereka menyikat lantai, mengepel, mengambil sampah sampah kecil yang dibuang sembarangan oleh para pengunjung mall. Sesekali mereka saling tertawa terbahak bahak, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Sepertinya tidak ada himpitan ataupun kesusahan yang menekan batin mereka? Ataukah kesusahan sudah begitu akrab menjadi sahabat mereka sehingga tidak perlu lagi untuk ditangisi? Aku berpikir diam-diam tentang mereka. Sekelompok anak anak ABG masuk kewarungku, suasana jadi sedikit riuh. Begitulah anak anak ABG selalu memiliki segudang keceriaan, seolah hidup ini memang tanpa beban. Betapa kontrasnya dua kehidupan yang sedang aku amati ini. Para cleaning servis itu juga masih ABG, tapi mereka mungkin kurang beruntung saja nasibnya. Aku sempat berpikir, kenapa harus ada dua kehidupan yang begitu berbeda? Wuaaalah………….selalu saja aku begitu suka memperhatikan kehidupan orang lain. Kembali aku berpikir tentang hariku hari ini. Apakah aku bahagia? Belum sempat aku jawab pertanyaan batinku, rasa pahit itu menyeruak tanpa permisi ke dalam dadaku karena ring tone ponselku yang kutunggu sama sekali belum berbunyi. Sesuatu yang “manis” itu belum juga hadir.

19 September 2009 Pkl. 15.00 WIB Lewat tengah hari yang sedih

Ini sudah lewat setengah hari, begitu aku membatin dalam hati dengan perasaan gelisah. Tetapi kenapa yang kuharap dan kutunggu belum juga mengirimkan ucapan? Bahkan telah lewat jam makan siang, aku mulai merasa putus asa dengan penantianku. Apakah aku terlalu berharap banyak hanya untuk sebuah ucapan selamat ulang tahun dari seseorang ? Mungkin! Karena sejak detik menginjak kepada tanggal 19 september, dihatiku selalu penuh harap mendengar ucapan dari seseorang itu. Tengah hari, suasana warung memang agak sepi. Kembali aku membuka note bookku, sambil menikmati makan siangku. Hari ini aku memasak soto daging untuk karyawan yang ada diwarungku. Menikmati soto daging yang panas, lumayan juga untuk menghangatkan hatiku yang dingin. Kuhabiskan siangku dengan menikmati rasa hangat soto masakanku. Aku melihat banyak sekali pesan pada face bookku. Rasa haru menyeruak dalam hatiku. Aku bersyukur, masih begitu banyak kawan yang memperhatikanku. Lalu kenapa aku masih saja berharap seseorang itu mengingatku? Entahlah……..seseorang itu memang telah menyihirku, hingga aku tak berdaya menahan perasaanku. Mungkin perhatiannya selama ini kepadaku hanya sebatas teman. Tapi aku merasa itu terlalu berlebihan untuk seorang teman. Dia membuatku nyaman saat bersamanya. Dia seolah menawarkan asa ditengah keputusasaan yang tengah melandaku. “Kapanpun kamu perlu sesuatu, datanglah padaku! Aku akan selalu siap untuk menolongmu”. Begitulah dia menawarkan bantuannya kepadaku. Alangkah nyaman dan menentramkan kata kata itu. Apakah aku yang terlalu GR atau terlampau senang dengan tawarannya? Sampai aku selalu berangan angan, dia akan selalu ada untukku. Sejak itu aku selalu saja merasa menjadi orang yang bodoh bila berhadapan dengannya. Aku selalu merasa ingin menikmati setiap detik yang kulalui bersamanya. Sementara selama ini aku tak pernah tahu seperti apa perasaannya kepadaku. Pernah aku berpikir untuk bertanya saja tentang perasaannya kepadaku. Tapi segera kuurungkan niatku itu. Aku hanya merasa takut, dia justru akan menjauhiku setelah apa yang akan aku katakan. Akupun tak ingin mendapat kesan sebagai wanita murahan dihadapannya. Aku belum siap kehilangan sosoknya, meskipun hubungan kami masih kelihatan abu abu, tanpa kepastian.

19 September 2009 Pkl. 18.00 WIB Sore hari menjelang malam yang semakin resah

Sebenarnya aku ingin pulang kerumah, menghabiskan waktu untuk menunggu salam selamat ulang tahun itu. Tapi kubatalkan keinginanku. Aku masih belum berniat pulang. Biarlah aku menanti dalam keramaian suasana warung yang banyak dikunjungi oleh pelanggan, dari pada menunggu dalam sepi. Warung ramai sekali! Tetapi hatiku masih saja senyap, ada rasa ngilu bertebaran didalamnya. Pada sebuah buku belanja pengeluaran warungku kutuliskan. Cinta………siapa yang pernah mengundangnya untuk datang? Kalau kedatangannya selalu saja membuat resah? Lalu sesegera aku menghapus tulisan itu ketika sadar melandaku, rasanya lucu kalau sampai karyawan diwarung melihat tulisan itu. Biasanya aku memang lebih suka berada diwarung setiap hari, namun kali ini aku benar benar tidak bisa bertoleransi dengan perasaanku. Ku lihat telepon selularku masih dalam keadaan yang sama. Tidak ada message, tidak ada miscall, tidak ada mailbox................benda tak bernyawa itu benar benar tak bersuara. Resah benar benar meliputiku. Tiba tiba temanku linda membawakan kue ulang tahun untukku. Black forrest…………hm…. Lumayan juga, manisnya bisa mengurangi keresahan hati. Diantara resahku Tuhan masih saja menyelipkan sedikit kebahagiaan dengan menghadirkan orang orang yang baik dalam hidupku. Thanks God for everything in my life.

19-09-2009 22.00 Malam hampir berakhir
Aku terbaring dengan hati yang hampa, diruangan kamarku yang lenggang. Disamping ranjang tidurku ada sebuah meja kecil, disitu note bookku sengaja ku nyalakan dan telepon selularku masih dalam keadaan on berada disebelahnya. Masih saja kuletakkan harapanku ditempat yang tertinggi. Aku masih menunggunya, telpon berisi ucapan selamat ulang tahun dari seseorang yang hampir beberapa waktu ini telah mengisi hari hariku. Akalku menyuruh untuk melupakan saja seseorang itu. Namun hatiku tetap berharap dia akan menelponku sebelum habis masa hari indahku ini. "Hari ini belum habis, dia pasti mengingatku!” begitulah harapku. Meskipun kenyataannya aku hanya menyimpan harapan kosong belaka. Terbukti tetap tak ada sesuatu yang “ manis” itu sampai tanggal 19 september ini berakhir.


19-09-2009 00.01 Memasuki tanggal 20 September 2009
Sembilan belas september dua ribu sembilan lewat sudah.
Tidak ada apa-apa di telepon selularku maupun pesan di face bookku . Benda komunikasi canggih abad millennium itu tetap diam tidak bergerak. Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis untuk kebodohanku sepanjang hari menunggu sesuatu yang “manis” yang tak kunjung datang itu. Dia yang aku tunggu tak kunjung memberikan ucapan. Tiba tiba ada sesuatu yang hangat membasahi pipiku, ketika aku melukis rupanya, menuliskan namanya dan menyebutnya dalam relung hatiku……...jadi teringat lagu jadul tahun 80 an yang entah siapa penyanyinya, Iis Sugianto, Dian Picessa atau Nia Daniati…tak tahulah aku. Kalau tidak salah liriknya begini …………….

Bagaimana mungkin ku percaya padamu
Sedangkan ulang tahunku…..Kau tak ingat lagi ….
Bagaimana mungkin ku berharap padamu
Sedangkan kata kataku….. Bagai angin lalu…………..

.Ku tutup hariku dengan hati sedikit resah. Tapi itu tak boleh berlangsung lama. Esok aku harus bangun dengan semangat yang baru, menjalani hidup dengan lebih baik lagi. Akalku menyuruhku untuk melupakan saja seseorang itu dalam hidupku. Meski terasa sayang, tapi harus! Aku tak mau hatiku terombang ambing hanya karena sebuah ketidak pastian. Cinta tanpa komitmen itu akan meluluh pada apapun. Jadi semua pasti akan segera berlalu. Kesedihan dan kebahagiaan adalah hal biasa dalam hidup ini. Meski yang kuharapkan tak sesuai dengan kenyataan, aku tetap percaya bahwa masih ada Tuhan yang sangat mengerti aku. Aku yakin, Tuhan pasti akan menyediakan kejutan kejutan indah dalam hidupku sesuai dengan rencanaNYA. Tak mengapa, kalaupun hari ini sesuatu yang “manis”, yang kutunggu tak kunjung tiba, aku tetap bersyukur asalkan Tuhan tetap bersamaku.

Jakarta 19 September 2009 : 24.03 WIB : saat aku sedang menunggu sesuatu yang “Manis” dalam hidupku dan saat aku menuliskan kisah setengah nyata ini)

AYAH TELAH MENINGGAL

Ayah telah meninggal. Tanpa ucap perpisahan, tanpa firasat apapun juga. Dia sama sekali tidak sakit. Semua begitu tiba tiba ketika aku harus mengantarkan ayah pada kesudahan yang abadi. Ayah pergi begitu saja meninggalkan semua yang fana didunia ini. Duniaku tiba tiba terasa gelap tanpa ayah. Aku seperti orang buta yang berjalan bertatih tatih meneruskan hidup ini. Setelah ayah meninggal, aku bingung dan berjalan dengan arah yang tak menentu, seolah jalan yang aku lalui tak pernah berujung. Aku tidak pernah tahu lagi, apakah malam akan berganti siang dan sebaliknya. Bagiku semua sama, hari akan berubah menjadi apa, tak akan berpengaruh lagi dengan hidupku. Yang ada hanya aku yang tertunduk meratapi kesunyian semenjak ayah sudah tak ada disisiku lagi. Aku sama sekali belum siap menerima kepergian ayah, baik jiwa maupun ragaku. Ayah telah meninggal. Hanya aku yang kehilangannya. Diatas tanah merah itu hanya aku yang menahan lara. Siang yang terik itu, semua yang memiliki pertalian kerabat dengan ayah, mengantarkannya untuk yang terakhir kali saat ayah harus disatukan dengan bumi. Hanya aku yang terisak. Hanya aku yang terluka. Berkali kali aku menghembuskan nafas panjang, ada sesuatu yang mengganjal didada, sesak dan menghimpit jiwa. Sepertinya semua yang mengantar ayah tak memiliki expresi kesedihan, seolah mereka mengantar seseorang yang akan bepergian jauh saja. Mungkin aku memang terlalu berlebihan menahan kesedihan ini sendiri. Kecuali tante Mar, yang sebenarnya hanyalah adik angkat ayah, tak seorangpun kulihat memiliki raut sedih pada mukanya, bahkan ada beberapa orang yang sekilas aku lihat seperti berkelakar satu sama lainnya ditanah pekuburan itu. Aku berdiri mematung diatas liang lahat yang dibuat untuk mengubur ayah. Rasanya tak percaya ayah akan pergi secepat itu. Kulihat ibu dan kedua kakak lelakiku yang berdiri berdampingan denganku juga tidak nampak sedih pada raut mukanya. Apakah ayah memang tidak berarti apa apa bagi mereka? Ataukah mereka punya alasan tersendiri untuk tidak kelihatan sedih didepan banyak orang? Karena sebagai orang yang beriman mereka memang dituntut memiliki expresi ikhlas ketika orang yang paling dekat dengan mereka harus menghadap yang Kuasa. Ada yang bilang, kita tidak boleh menangis saat mengantar kepergian orang yang kita cintai menghadap yang kuasa, karena akan membuat jalan mereka terhambat menuju kekekalan yang abadi. Tapi ketidak relaan hatiku membuatku terus berurai air mata mengantar kepergian ayah. Mungkin bagi ibu dan kedua kakakku, ayah memang tidak berarti apa apa, karena sepanjang ingatanku mereka selalu saja berbeda arah dalam segala hal dengan ayah. Hubungan mereka memang kurang harmonis. Hanya kepadakulah ayah bisa berbagi sayangnya. Jadi mungkin kepergian ayah adalah lebih baik, setidaknya bagi ibu dan kedua kakakku.
Beberapa hari sebelum ayah menghadap Illahi, dia masih sempat berbicara denganku. Seperti biasa, ketika ayah menghubungi aku, dia selalu menyelipkan sebuah pertanyaan “ Apakah hidupku baik baik saja?” kemudian dia akan menambahkan dengan kata kata “ Jangan pernah kuatir dengan keadaan ayah Nin! Disini ayah selalu berdoa buat kamu”. Meskipun kata kata itu berulang kali diucapkan oleh ayah setiap kali aku menelponnya, namun bagiku kata kata ayah bagaikan air yang mengalir sejuk membasahi kegersangan hatiku. Setelah menelpon ayah, aku selalu merasa tenang. Ayah adalah ketegaranku. Kami memang hidup terpisah. Setelah lulus masa SMAku, aku terpaksa meninggalkan ayah untuk kuliah di Jakarta. Aku masih ingat wajah nelangsa ayah saat melepaskanku pergi untuk menimba ilmu yang lebih tinggi di Jakarta ini. Waktu itu ayah bilang “ Setiap orang memiliki jalan cerita sendiri Nin, jadi ayah berharap cerita hidupmu akan lebih baik dari ayah.” “Pergilah, jangan kuatir tentang ayah, ayah akan baik baik saja “ katanya lagi waktu itu sambil memeluk tubuhku erat. Akupun meninggalkannya dengan raung tangis yang membuat dadaku jadi sesak. Dan sejak itu aku selalu rajin menelpon ayah untuk sekedar menanyakan keadaannya atau sebaliknya ayahlah yang akan menelponku.
Ayah telah meninggal. Ada banyak kenangan yang tak pernah aku lepas dalam hidupku, kenangan tentang masa kecil yang indah, kenangan tentang hari hari bersama ayah. . Aku masih ingat ketika ayah mengajari aku mengendarai sepeda motor. Usiaku baru 11 tahun saat itu. Ayah begitu sabar serta penuh dengan kasih sayang mengajariku. Aku begitu bangga sekali, seolah hanya aku yang memiliki ayah sebaik itu. Aku masih bisa merasakan pelukakannya saat menggendongku, rasanya nyaman sekali. Ayah selalu menggendongku dibelakang punggungnya, sehingga aku harus memeluk lehernya supaya tidak terjatuh. Sampai sekarang aku masih bisa merasakan punggungnya, saat mengingat kenangan itu. Ayah memang bukan siapa siapa bagi semua orang. Tapi bagiku dia adalah pahlawan. Pahlawan yang telah menyelamatkan gadis kecilnya dari bencana banjir yang menghalau kampung kami semasa aku masih berusia 6 tahunan. Saat itu aku pernah tenggelam tersapu oleh banjir yang tiba tiba datang. Meski samar sekali aku bisa mengingat kejadian itu. Tapi aku tetap menganggap ayahlah pahlawanku saat itu dan sampai kapanpun juga.
Ayah telah meninggal. Ayah adalah Laki-laki dengan ketekunan yang mengagumkan. Dia bekerja keras untuk menghidupi kami sekeluarga. Belum pernah kulihat ayah mengeluh sedikitpun saat merasa lelah.. Senyumnya selalu menampakkan dia seorang pekerja keras. Setiap pagi ayah selalu menyempatkan diri untuk sekedar bersarapan denganku. Kulihat matanya tak henti hentinya menatapku saat kami sedang sarapan berdua. Dari ekor matanya , aku tahu ayah selalu bangga memilikiku. Ritual itu hampir setiap pagi mewarnai hari hariku bersama ayah. Yah….hanya aku dan ayah, karena ibu dan kedua kakak lelakiku jarang sekali menyemarakan ritual sarapan pagi itu. Namun meski begitu, ayah selalu nampak riang dan bersemangat menemaniku menuntaskan sarapan pagiku. Keluarga kami memang bukan keluarga yang harmonis, seperti layaknya keluarga keluarga normal pada umumnya. Perjodohan masa lalu yang dijalani oleh kedua orang tuaku sedikit banyak telah berpengaruh terhadap roda perjalanan kehidupan keluarga kami. Ibuku pada akhirnya menjadi orang yang tidak peduli dengan keluarga, seolah hanya ayah yang berkeinginan membina sebuah keluarga. Berulang kali ibuku menghimbau ayah untuk menceraikannya. Namun dengan alasan kami anak anaknya, ayah berusaha keras mempertahankan keutuhan keluarga kami meskipun sebenarnya kehidupan kami terasa pincang. Ayah selalu saja menuruti semua kehendak ibu. Ibu bagaikan ratu yang bertahta dalam kerajaan keluarga yang dibinanya. Setiap hari yang ibu lakukan hanya bersenang senang, tanpa pernah menghiraukan keluarganya. Meski begitu, ayah tidak pernah sekalipun mencela ibu. Bagi ayah, ibu tetap wanita terbaik dalam hidupnya. Aku benar benar kecewa dengan sikap ibu. Bahkan aku seringkali bertengkar dengan ibu atas sikapnya yang sama sekali tidak bisa menghargai ayah. Namun ayah selalu saja membela ibu. “Sudahlah Nin, ayah bisa kok cari makanan diwarung depan”. Katanya suatu kali ketika aku marah karena ibu tidak menyediakan makan malam buat ayah. Meskipun sebenarnya hal itu seringkali terjadi, waktu itu aku benar benar sudah tidak bisa mentolerir sikap ibu. Sampai aku dewasapun, sikap ibu masih menjadi misteri buat aku. Aku hampir tak mengenal watak asli ibuku. Selama ini tante Mar, adik angkat ayahlah yang selalu memperhatikan aku dan kedua kakakku. Sebenarnya ibu adalah seorang dengan wajah dan sosok yang menyenangkan. Tapi perangai ibu bukanlah gambaran ibu baik yang selama ini selalu diagung agungkan oleh manusia dibumi ini. Karena kecintaan ayah yang mendalam terhadap ibuku, maka aku tidak memiliki keberanian untuk bertanya dengan detail kenapa ibu bersikap seperti itu terhadap ayah. Aku hanya ingin menjaga perasaan ayah. Bagaimanapun ayah selalu memuji muji ibu, padahal tak sedikitpun peranggai ibu yang patut menerima sanjungan. “Ibumu seorang yang baik. Hanya mungkin ayah memang bukan suami yang bisa membahagiakannya. Kasihan ibumu, ayah yang banyak salah terhadap ibumu “ kata ayah suatu ketika. Aku tak habis pikir mengapa ayah belum pernah mengatakan sesuatu yang buruk tentang ibu. Padahal sering juga kudengar dari tante Mar, tentang kekecewaan sikap keluarga ayah terhadap ibu. “Kau tak usah dengar mereka Nin, mereka hanya tak pernah tahu betapa baiknya ibumu“ begitu ayah mengingatkanku, ketika aku mencari jawab tentang peranggai ibu. Dengan tante Mar , begitu aku memanggil perempuan yang menjadi adik angkat ayahku itu. Perempuan itulah yang menjadi pengganti ibuku hingga aku dewasa. Tak ada hubungan darah sedikitpun. Hanya kedekatan tante Mar dengan ayahlah yang menyatukan kami. Tapi perempuan yang hidup sendiri tanpa suami itu telah memberi gambaran ibu yang sempurna bagiku. Dengan kasih sayang yang kuanggap berlebihan itulah dia membesarkanku dan juga kedua kakakku. Dan ibu, entah apa perannya dalam keluarga kami.
Ayah telah meninggal. Belum genap setahun ayah pergi, tapi dia benar benar telah dilupakan oleh dunia ini. Entahlah, mungkin isi kepalaku berbeda dengan isi kepala orang lain. Aku selalu hidup didalam bayang bayang ayah. Kemana kakiku melangkah yang ada hanya ayah dan ayah. Hari itu setelah 5 bulan berlalu dari kepergian ayah, aku sengaja pulang kembali kekampung halamanku. Aku ingin melihat makam ayah. Sore itu aku datang seorang diri melihatnya. Aku mencabuti rumput rumput liar yang tumbuh memenuhi makam ayah. Dilihat dari rimbunnya rumput rumput liar diatas pusara ayah, aku tahu selain aku tidak pernah ada lagi orang yang pernah datang ketempat dimana ayah dimakamkan. Tidak ibuku, juga kedua kakakku. Sekali waktu aku pernah bertanya “Kenapa ibu tidak pernah ke makam ayah?” “Ibu tidak sempat kesana, apalagi jarak rumah sangat jauh dengan makam ayahmu!” Begitulah jawaban ibu. Aku hanya bisa memendam kesedihan mendengarnya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ibu rasakan sejak kepergian ayah. Seperti sore itupun, ibu menolak ajakanku untuk mengunjungi makam ayah. Ibu sepertinya tidak begitu merasa kehilangan dengan kepergian ayah. Aku kembali terisak diatas gundukan tanah yang telah mengeras itu. Yah…. Sudah 5 bulan berlalu sejak ayah telah bersatu dengan bumi. Dan aku masih saja terus berurai air mata saat mengingat kenangan tentang ayah.

Aku mencintaimu ayah………..
Aku akan terus merindukanmu
Bumi serasa sunyi tanpamu
Diri inipun hampa kehilanganmu
Ayah ……tanpamu aku merasa lelah
Menapak jalan yang kian terasa panjang
Setiap saat detak nafasku meronta rindu
Kemana rindu ini harus beralamat Ayah?
Mungkin waktu memang belum akrab denganku Ayah
Hingga kuingin menggugat kepergianmu
Ijinkan aku mengatakannya padamu Ayah
“ Aku sangat berterima kasih”
Kau sudah membuatku mewarnai dunia ini

Ayah telah meninggal. Aku duduk terdiam ditempat ayah biasa menghabiskan sorenya untuk sekedar menulis ataupun membaca buku. Aku ingin menyusuri kenangan tentang ayah. Semuanya belum ada yang berubah, meja belajar ayah, buku buku ayah, serta barang barang milik ayah yang masih tertata rapi pada tempatnya. Ibukupun sepertinya enggan untuk sekedar memindahkan barang barang milik ayah yang mungkin memang tak pernah meninggalkan kenangan buatnya itu. Perlahan aku buka lemari buku ayah dengan dada penuh debar. Satu persatu aku mulai membuka buku buku yang berderet rapi itu, sembari merangkai potongan kenangan tentang ayah. Tiba tiba ada sesuatu yang jatuh dari helai buku yang baru aku buka, sepertinya sebuah surat. Jantungku terasa berdebar mengambil surat yang jatuh kelantai tersebut. Rasa penasaran yang menyeruak hati memaksaku untuk membacanya.

Buat : Miranti yang aku sayangi,
Terimakasih kau telah mau berbagi hidup denganku. Meskipun aku tahu, semua yang kau lakukan hanyalah sebuah keterpaksaan. Beberapa tahun ini, setelah hidup denganku, mungkin adalah hari hari yang paling menyedihkan buatmu. Sejak mengenalku, aku tahu duniamu terasa mati. Kau harus hidup dengan orang yang sama sekali tak kau cintai. Aku tak bermaksud membelimu dengan uangku. Semua kulakukan karena aku terlalu mencintaimu. Aku mencintaimu, seperti aku mencintai dunia ini. Untuk itulah aku memaksa ayahmu untuk menyerahkan hidupmu mendampingiku. Dan membuatmu terpaksa melaksanakan mandat dari ayahmu. Karena aku berharap dengan ketulusan cintaku, suatu hari nanti kau akan menerimaku Miranti. Hingga aku bisa memasuki duniamu yang sendiri. Tapi ternyata hari yang aku tunggu tunggu itu tak pernah kunjung datang. Bahkan sampai anak anak kita terlahir, itupun tak mampu menggoyahkan cintamu. Aku tahu pria dimasa lalumu itu adalah yang terpenting dalam hidupmu, sampai mampu menggoyahkan masa depan yang ingin kuraih bersama anak anak kita. Tak tersentuhkah hatimu melihat anak anak kita yang mulai beranjak dewasa Miranti? Mereka adalah permata permata kita. Dulu aku pernah menyesal telah memaksamu untuk menikah denganku. Tapi melihat anak anak tumbuh besar, akhirnya penyesalan itu berbuah manis. Kau tahu Miranti, aku sangat bahagia memiliki mereka.
Setelah membaca surat ini, aku berharap kau tak akan sedih lagi Miranti, karena mungkin aku telah pergi. Maafkan aku yang telah egois membelenggu hari harimu, sampai kau tak mampu lagi membela diri untuk beranjak pergi. Tapi tolong maafkan aku demi anak anak. Berikan mereka coretan hidup yang lebih indah dari kehidupan kita. Jangan kau hukum mereka karena kesalahanku. Kasihanilah mereka Miranti, mereka sama sekali tak bersalah. Sudah cukup aku yang terhukum karena mencintaimu. Kau harus hidup bahagia Miranti. Raihlah kebahagiaanmu bersama anak anak kita. Aku akan terus merasa bersalah, kalau kau tak hidup bahagia. Kau berhak bahagia Miranti. Aku akan terus memohon kepada yang Kuasa, agar kau diberi kesempatan untuk bahagia. Sekali lagi terimakasih, kesepian hatiku telah kau tukar dengan menghadirkan anak anak yang termanis dalam hidupku. Aku berharap kau akan menjadi ibu yang sesungguhnya bagi mereka, Permana, Praditya dan Nindya.
Dariku,
Yang selamanya mencintaimu
Tanpa terasa mataku basah penuh dengan air mata, semua tabir kehidupan yang aku lewati selama ini terbuka sudah setelah ayah meninggal. Aku telah menemukan jawaban tentang sikap ibu dan semua yang ibu lakukan untuk menghukum ayah. Entah aku harus menyalahkan siapa? Keduanya ayah dan ibuku adalah korban dari keteguhan cinta yang mereka miliki. Masing masing memiliki cara untuk mempertahankan cintanya. Hidup memang penuh dengan misteri, siapa yang pernah menyangka kalau kehidupan yang kumiliki adalah hasil dari sebuah pernikahan yang rumit. Yah, mencintai dan ingin memiliki adalah dua hal yang berbeda. Tiba tiba aku ingin sekali memeluk ibu. Wanita malang yang telah memberikan hidupnya kepada ayah yang paling kucintai. Wanita yang mungkin saja tidak pernah merasa bahagia dalam hidupnya.Wanita yang selama ini selalu aku benci.
Ayah telah meninggal. Ayah adalah segalanya bagiku, selama bahagia itu mewarnai hidupku, dialah yang selalu menerakan jejaknya dalam setiap lembar ceritaku. Dan aku sangat menyesal dengan apa yang telah terjadi, aku menyesal belum sempat melakukan apapun juga buat ayah. Kalau saja aku bisa bercakap-cakap sekali saja, yach ………sekali saja. Karena begitu banyak cerita serta ungkapan terima kasih yang ingin aku ucapkan buat semua yang telah ayah lakukan dalam hidupku. Aku tidak peduli “ Apakah ayah pernah melakukan sesuatu yang buruk dimasa lalu ataukah ayah bukan orang yang baik”. Tapi ayah akan selalu mendapatkan tempat terindah dalam hati, hidup,dan jiwa ku selama lamanya. Sampai aku harus kembali juga kepada yang Kuasa nantinya. Ayah adalah alasanku kenapa aku harus menangis, ayah adalah alasanku kenapa aku harus marah, kenapa aku harus tersenyum, kenapa aku harus sedih, kenapa aku harus bahagia., dan ayah adalah semua alasan untuk apa aku harus hidup.
Ayah telah meninggal. Dan aku telah mampu menerima kenyataan dengan hati yang besar. Aku percaya ayah akan merasa tenang tanpa tangis yang kuberikan. Aku hanya mampu berharap bahwa ayah sudah cukup merasakan kebahagiaan hidup didunia ini. Dalam hati aku berjanji “ Ayah, akan kubuat wanita yang paling kau cintai itu menjadi bahagia, aku akan terus mengobarkan cintamu kepada ibu, meski lewat cara yang berbeda. Tenanglah ditempat abadimu Ayah, kita pasti akan bertemu lagi. Semoga ditempat yang abadi nantinya, Ayah bisa menemukan cinta ibu kembali “


Jakarta, Februari 2008