Kamis, 28 Oktober 2010

JANGAN PERNAH MENUNGGUKU!!!

JANGAN PERNAH MENUNGGUKU!

Sudah pernah ku bilang kepadamu,
Jangan pernah menungguku!
Kenapa kau nekat juga ?
Apa memang kau merasa hanya dilahirkan untukku ?

Lihat! Sekarang kau terluka
Apa aku yang salah ?
Lantas? Siapa yang hendak kau salahkan?
Apa kau ingin memaki rasa hati ini?

Jangan pernah berharap lagi!
Matahari tak kan pernah terbit disebelah barat
Mawar tak kan pernah berpisah dengan duri
Akupun tak kan pernah bisa bersamamu

Cinta bukanlah pesta kembang api
Yang warna warninya membuncah kelangit
Memecah kebisuan dan kesunyian
Semua itu hanyalah hitungan detik
Cinta dan kembang api tidaklah sama
Jadi jangan kau buat seperti yang kau mau

Aku enggan menjadi milikmu
Karena mereka bilang
Kau bukanlah pangeranku
Bahkan seisi dunia ini telah sepakat
Tak mau setuju bila kita bersatu

Aku tak mau lagi berjanji
Untuk mencoba mencintaimu
Sudah cukup …….!!
Terlalu lama kumainkan cerita cinta ini
Tak perlu lagi kau merajuk
Jadi tak perlu kuulangi lagi
Jangan pernah kau menungguku !

Kisahku ini bukanlah kisah cinta yang bahagia, seperti dongeng dongeng cinta yang selalu membumi di jagad raya ini. Seorang putri akan bertemu dengan sang pangeran, kemudian mereka saling jatuh cinta dan hidup bahagia sampai selama lamanya. Bukan! Ini adalah kisah cinta paling sedih yang pernah ada. Bagiku hal yang paling sedih dibumi ini adalah ketika kau mencintai seseorang dan nyatanya seseorang itu tidaklah mencintaimu atau kau dicintai tapi kau tidak bisa membalas cintanya. Kalimat yang terakhir itulah yang ingin aku kisahkan kepadamu kawan! Bertahun tahun lamanya cinta itu memburuku dan hatiku sama sekali tak goyah karenanya. Kala itu seberkas cinta datang menyapaku, dan aku tak mampu membalasnya. Aku tahu saat itu sebenarnya aku telah menabur sepi dihati seseorang yang telah menautkan hatinya itu kepadaku. Namun ia sama sekali tak goyah terhadap berbagai macam penolakkan yang kulontarkan kepadanya. Ia tetap menungguku. Ia tetap membawa cintanya kepadaku. Ia laki laki yang paling setia yang pernah ku temui. Tapi itu semua tak juga melunakkan hatiku yang sekeras baja ini. Cinta tidak hanya cukup dengan setia saja. Ia tetap menungguku tanpa sedikitpun lelah. “Cinta tak harus memiliki kan Neil” kataku suatu hari ketika ia mengunjungiku. Laki laki yang biasa aku sapa Neil itu hanya iam menunduk, matanya mengerjap ngerjap tanda tak setuju dengan apa yang baru saja aku katakan. Sudah ratusan kali ia menyatakan cintanya kepadaku, dan dengan sukses pula aku menolaknya. Tapi ia tetap datang dan datang lagi. Anehnya aku sama sekali tak ada rencana secuilpun untuk mengusirnya. Ia tetap memegang kukuh semua cintanya kepadaku. Seolah memang tak ada satu perempuanpun dibumi ini yang bisa menarik hatinya kecuali aku.
"Aku lelah Neil! Aku lelah menerima cintamu yang selalu memburuku tanpa batas. Kau laki laki yang baik Neil, tidak seharusnya kau menjalani hidupmu seperti ini!” Pintaku setelah ia mengulang kembali pernyataannya itu entah untuk yang keberapa ratus kalinya, aku tak pernah menghitungnya. Ia hanya tersenyum menanggapi pintaku, ia sama sekali tak bosan, tapi aku sudah bosan. Ia seorang laki laki muda, waktu itu.\Seharusnya laki laki selalu memiliki jiwa yang bergelora serta penuh dengan banyak keinginan. Didunia ini begitu banyak aneka warna, kadang seorang laki laki muda akan silau oleh kemilaunya. Namun tidak untuk seorang Neil. Dibumi ini tujuan hidupnya hanya aku dan bukan yang lainnya. Sebenarnya aku ingin marah dengan semua yang ia lakukan untukku. Tapi itu tak pernah benar benar aku lakukan. Aku juga menyayanginya, tapi tak bisa kuberikan hatiku untuknya. Neil hanya menempati sedikit ruang dihatiku, selebihnya semua telah diisi oleh laki laki lain. Alasan itulah yang membuatku tak bisa menerimanya.
Malam itu hujan mengguyur deras kota Jakarta, sesekali diiringi dengan guntur kecil yang perpaduannya bisa menambah suasana luka dihati. Neil duduk dalam keresahannya diruang tamu rumahku. Sebenarnya aku telah terbiasa dengan sikap Neil yang seperti itu. Tapi malam ini berbeda. Aku bahkan tak peduli lagi pada rasaku sendiri.
“Aku telah membuatmu bersedih ratusan kali ?” Neil menoleh kearahku.
“Kau tak boleh seperti ini Neil! Kau tahu khan! Aku tak pernah peduli pada perasaanmu.” Neil masih bungkam.
“Aku pernah mencoba mencintaimu Neil. Kau lihat hasilnya? Aku tetap tak bisa. Selama ini aku hanya mengikuti hatiku.” Air mataku menetes, hatiku terasa perih.
“Sudah begitu lama kucoba membuang bayangmu, sejak kau berkata “Aku sudah menjadi milik orang lain”, Tapi aku tak pernah bisa.” Neil akhirnya buka suara. Tatapannya gelisah. Wajahnya melukiskan kedukaan yang dalam. Kali ini ia benar benar terluka. “Baiklah aku akan mencari jalanku sendiri.” Itulah kata terakhir yang diucapkan oleh Neil sebelum ia beranjak dari rumahku. Aku hanya bisa memandang punggungnya berlalu dari hadapanku bersama dengan derasnya hujan yang mengguyur. “ Maafkan aku Neil!”. Sejak itu ia tak pernah mengunjungiku lagi. Aku pikir, aku bisa bernafas lega dari ikatan cintanya. Ternyata tidak! Ia masih saja iam iam menaruh harapannya untukku. Hampir setiap minggu masih saja dilayangkannya surat surat cinta untukku.
“ Aku akan datang Neil, kita akan bertemu! Ini memang perjalanan yang melelahkan. Jangan kuatir, aku hanya akan datang untukmu.” Aku menghela nafas. Apa daya, aku harus mengunjungi Neil. Sejak hari pernikahanku ditetapkan, kecuali surat suratnya, Neil memang menghilang bak tertelan bumi. Surat surat yang terkirim kepadakupun tanpa alamat, hanya pada cap posnya tertera sebuah kota “Surabaya”. Yah Neil mungkin sedang berada di Surabaya.
Selama ini aku sama sekali tak pernah peduli kepada semua surat surat Neil. Bukannya aku kejam dan tak punya hati. Aku harus menghargai laki laki yang telah memenuhi seluruh ruang hatiku. Laki laki yang sanggup menyisihkan Neil dari hatiku. “ Surat cinta dari penggemar fanatikmu lagi?” Begitulah lelakiku menyindir setiap kali surat Neil datang dan datang lagi. “Iya, kau benar ini surat dari Neil” jawabku sambil meletakkan surat Neil disebuah kotak dimana surat Neil bertumpuk tumpuk disitu tanpa pernah aku buka dan aku baca isinya. Karena aku sudah bisa menebak semua hal yang ingin Neil sampaikan lewat semua surat suratnya kepadaku. Surat yang hanya melukiskan harapan harapan hatinya kepadaku. Sampai datang sebuah surat yang nampaknya tak ditulis oleh Neil. Aku mencoba membuka dan membacanya. Surat yang membuatku harus menempuh perjalanan ini. Aku tak punya pilihan lain, kecuali harus menemui Neil, tanpa atau seijin lelakiku. Dan aku lebih memilih untuk berdalih. Aku telah berbohong dengan mengatakan ada tugas kerja ke Surabaya. Aku tak ingin menyakiti hati lelakiku dengan kejujuranku.
Jarak antara Jakarta – Surabaya tidaklah singkat untuk ditempuh dengan menggunakan kereta. Aku harus menempuh ratusan kilo meter untuk mencapainya. Sengaja kupilih jalur kereta, agar aku bisa ikut merasakan kegelisahan yang Neil rasakan akibat perasaannya kepadaku. Lama, berliku dan meresahkan. “ Yah 674 km harus kutempuh untuk menemuimu Neil. Tak sebanding dengan pengorbananmu menungguku selama 12 tahun ini.” Aku memikirkan Neil dengan perasaan sedih. Sengaja kupilih kereta yang berangkat dipagi hari, agar siang harinya aku bisa menikmati perjalanan tanpa harus terlelap karena malam yang memaksa datang. Pagi ini udara pukul 06.00 WIB sangat sejuk. Angin segar yang bersemilir belum ternoda oleh asap debu jalanan kota Jakarta yang selalu sibuk. Embun pagi masih membasahi sepanjang jalanan. Aku memasukkan koper kedalam bagasi kereta sebelum aku mengambil tempat dudukku. Beruntung aku mendapatkan tempat duduk yang berdekatan dengan jendela. Hingga bisa kunikmati detik demi detik perjalananku sebelum akhirnya aku bertemu dengan Neil. Roda kereta mulai berderak meninggalkan stasiun Gambir. Bunyi peluit masinis keretapun telah bungkam. Suara-suara lain mulai melemah. Rumah rumah, mobil, semua orang yang ada diluar kereta, seolah berlari di antara kereta yang iam. Kereta mulai menjauh dari kebisingan kota. Mulai nampak kanan kiri pemandangan ladang jagung yang telah menua, pohon pohon sepanjang jalan yang menghijau dan juga persawahan yang padinya mulai menguning.
"Kira-kira seperti apa wajah Neil sekarang?" Aku menatap hamparan persawahan keluar jendela kereta. Aku mulai merenungi semua cara yang dilakukan oleh Neil untuk mendapatkan hatiku. Neil adalah sahabatku sejak kami sama sama duduk dibangku sekolah menengah pertama. Ia adalah laki laki yang baik dan selalu bersemangat dalam hidupnya. Ia selalu ada untukku. Ia adalah laki laki yang seharusnya mampu menarik pesona para perempuan yang ada didekatnya. Ia suka menolong orang lain. Bagiku ia bahkan terlalu baik untuk menjadi seorang laki laki. Tak ada cacat ataupun salah pada Neil. Kesalahannya adalah ia hanya mencintaiku. Hanya itu!. Dan yang paling menyedihkan adalah aku tak pernah sedikitpun mencintainya.
Suasana didalam kereta begitu tenang. Kabut kantuk rupanya masih membelenggu para penumpang kereta. Derak-derak roda kereta sesekali melemah, setiap kereta akan berhenti disebuah stasiun. Tiba tiba aku merasa menjadi orang yang paling egois dibumi ini. Wanita macam apa sebenarnya aku ini! Pertanyaan itu beberapa hari ini menggerayangi pikiranku. Rasa bersalah hatiku kepada Neil seolah menjeratku. Selama ini tak pernah sedetikpun aku berpikir tentang Neil. Tapi Neil justru membalasku dengan menempatkan aku ditempat terbaik pada bilik hatinya. Dibawanya aku mengembara ialam pikirannya, kemanapun ia berada. Rasa kantuk juga mulai merayapiku, namun aku berusaha untuk membunuhnya. Aku benar benar tak ingin terlelap sedetikpun melewati perjalananku ini. Tiba tiba Neil datang dalam bentuk fatamorgana ialam pikiranku.
"Apa sedikitpun aku tak memiliki tempat dihatimu?" Neil menatapku tepat di kedua mata. Kubuang pandangku pada deretan ladang jagung yang menggelar warna putih kekuningan. Aku tersentak atas pertanyaan Neil. Tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan yang seharusnya Neil telah tahu jawabnya itu. Aku menundukkan kepala bungkam, tak ingin kutanggapi pertanyaan Neil.
"Pernahkah kau merasa bersalah dengan semua yang kulakukan Flo?" Lagi lagi Neil berbicara sambil menatap mataku. Aku masih tak bersuara sedikitpun. Tak pernah aku duga sebelumnya Neil akan membuat pertanyaan pertanyaan yang memojokkanku. Mestikah perasaan bersalah diberikan dalam bentuk pengakuan? Selama ini yang kulakukan sepanjang 12 tahun terakhir adalah selalu mendoakannya, semoga ia bahagia dengan siapapun perempuan pilihannya.
"Kau telah membuang banyak waktu untukku. Kau sia-siakan hidupmu hanya untukku Neil." Aku berusaha menerobos dinding hati Neil yang penuh dengan namaku itu. Ingin ku hapus namaku dihatinya dengan pengorbananku kali ini. Perjalanan jauh yang sebenarnya aku sendiri tak yakin mampu merubah perasaan Neil. Aku ingin membalas semua pengorbanannya meski tidak dalam bentuk cinta. Mungkin ini merupakan perwujudan petualangan cinta , yang telah lama tak pernah menemukan kesempatan. Kali ini aku ingin melakukannya untuk Neil. Akan kubuang sosok yang selama ini ada dihatiku, dan membawa Neil masuk kedalam hatiku meski hanya untuk sesaat. “Ambilah kesempatan itu Neil, kuberikan hatiku untukmu”. Akhirnya ku lihat Neil duduk dengan wajah yang kelihatan sumringah. Tak ada sedikitpun gelisah kudapati pada wajahnya. Kalimatku benar benar mampu menghangatkan hati Neil yang selama ini penuh dengan keresahan. Stasiun ketujuh terlewati. Malam mulai menyingkirkan siang. Cahaya sore sudah mengintip jendela. Masih ada beberapa stasiun lagi yang harus disinggahi kereta api anggrek mas ini. Aku masih berusaha berdamai dengan bayangan Neil. Ku coba menutup rapat rapat mataku. Supaya kudapati wajah Neil dalam kelopak itu. Namun tak lagi kudapati wajahnya. Seringkali aku bertanya, mengapa begitu sulit memasukkan Neil kedalam hatiku? Aku terus memberi kesempatan untuk Neil masuk kedalam hatiku, meski hanya dalam bentuk fatamorgana. Lagi lagi aku gagal, tak bisa kupungkiri hatiku yang tetap merindukan sosok lelaki lain yang sama setianya seperti Neil. Neil yang menghampiriku dalam bentuk fatamorgana itupun akhirnya berlalu.
Aku mulai gelisah menunggu stasiun terakhir. Untuk membunuh rasa gelisah itulah aku membuka lipatan kertas dari dalam tasku. Surat yang dikirimkan beberapa minggu lalu oleh Neil. Sengaja aku membawa surat yang belum sempat aku baca itu dalam perjalanan ini. Aku benar benar ingin mengenang Neil sekali ini saja dalam hidupku.

Dear Flora,

Ini adalah tahun ke 12 aku tetap menyimpanmu dihatiku. Sesungguhnya pikiranku sadar, kau tak mungkin kumiliki lagi. Namun hatiku tetap bersikeras menunggumu. Aku telah berusaha untuk mengelabuhinya. Tak sanggup kudustai hatiku. Masih saja ku simpan harapanku untukmu. Sesekali niat jahat muncul kedalam otakku. Andai saja bisa kubunuh laki laki yang telah berhasil memenuhi hatimu itu. Tapi, tentu saja aku tak punya nyali. Aku takut kau akan bersedih kehilangannya. Karena aku hanya ingin kau bahagia dengan laki laki pilihanmu itu. Aku tahu perasaanmu memang terlalu dangkal untukku. Aku yakin suamimu adalah laki laki yang luar biasa, yang memiliki sejuta pesona dibumi ini, hingga ia mampu memenangkanmu. Kenapa kau tak pernah punya hati untukku? Bukankah bertahun tahun kita pernah bersama? Apa boleh kau berselingkuh sekali saja untukku? Aku hanya perlu sehari saja bersamamu. Terlalu sedikit bila dibandingkan dengan 12 tahun sejak kau menjadi istrinya. Kemarin aku membayangkan dirimu datang dan memberikan cintamu untukku. Tak terlukiskan betapa bahagianya aku. Kita berdua menyisiri pantai, saling berbagi cerita. Yah …. Hanya kita berdua Flo, tidak ada yang lain. Namun rupanya waktu tetap tak ingin bersahabat denganku. Sebelum aku menikmati semua kebersamaan kita meski hanya dalam bentuk fatamorgana, tiba tiba saja tepian batas itu menarikku keluar ke alam nyata. Dimana kau tak pernah ada disisiku. Flo, sekarang aku memang telah tenggelam kedalam samudra cintamu. Aku sudah tak mampu lagi bergerak pada pusarannya. Kesia siaan ini bukan tanpa alasan. Aku ingin melakukannya dengan sempurna. Bukankah kita harus mengejar setiap mimpi yang ingin kita genggam? Flo, apa kau tahu rasaku sekarang? Pengejaran ini tak akan pernah membuatku lelah. Kini terasa betapa indahnya mencintai itu. Setidaknya kau tahu perasaanku tetap sama seperti 12 tahun yang lalu. Belum pernah ada yang lain dihatiku. Hatiku tetap milikmu. Meski sempat kuberpikir mencari perempuan lain, tapi itu tak pernah benar benar aku lakukan. Seperti matahari yang hanya satu dibumi ini, hatikupun hanya ingin kuberikan pada satu hati, yaitu hatimu.

Yang tak pernah lelah menunggumu,
N e i l



Aku tak pernah menyukai semua kalimat yang Neil tulis untukku. Semua kalimatnya seolah menempatkan aku pada pusaran magnet yang begitu kuat menarikku. Menghujaniku dengan perasaan bersalah, hingga inilah perjalananku untuknya. Kulipat kembali surat Neil, sembari menunggu kereta berhenti pada stasiun terakhir.
Akhirnya kereta berhenti di stasiun Gubeng. Sekeranjang perasaan bersalah bergelembung menyertai pergeseran kakiku. “Neil aku datang untukmu”. Sebuah taxi membawaku ke sebuah alamat yang aku sebutkan. Hanya memerlukan waktu seperempat jam untuk mencapai tempat dimana Neil berada. Waktu menunjukkan pukul 19.15 saat aku berdiri didepan sebuah gedung bercat putih. Gedung putih dengan pagar tanaman perdu berhiaskan kawat berduri. Sebuah tempat yang sangat asing bagiku, pun bagi orang lain tentunya. Samar samar cahaya lampu menyeruak melalui celah celah jendela gedung putih itu. Aku termanggu sejenak, ada debar didada yang sulit kutata. Betulkah Neil berada disini? Tanya hatiku tak percaya. Setelah ketenangan kembali kugenggam, aku mulai berjalan kepintu masuk gedung tersebut. Bertanya sebentar kepada salah satu penjaga didepan. Kemuian salah seorang itu mengantarkanku pada sebuah kamar. Kembali debar dadaku sulit kuredakan. Aku seperti tak percaya kepada dimana kakiku berpijak saat ini. Pintu kayu terbuka pada helainya secara perlahan. Seraut wajah menyembul. Wajah yang masih sama dengan 12 tahun yang lalu. Wajah Neil. Ia nampak kurus dan menua. Jantungku mendadak berguncang begitu hebatnya. Pada dinding kamar tertulis banyak namaku. Ia tak hanya menuliskan namaku dihatinya, bahkan pada setiap celah dinding kamar dimana Neil berada hanya ada namaku dan namaku “Flora”. Neil memandangku tanpa suara. Tiba tiba air mataku meronta keluar. Alangkah malangnya laki laki didepanku ini. Untuk apa ia harus menempuh jalan hidup serumit ini? Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan dan harapan. Tak ada tempat lain bahkan untuk sebuah kisah cinta yang paling sederhana sekalipun. Semua tempat diruang hatinya telah terisi penuh dengan cintanya kepadaku.
“Aku datang Neil”. Aku meraih tangan Neil yang masih membisu didepanku. Kugenggam tangannya, kuusap pipinya, kupandangi seluruh tubuhnya. Namun Neil tak membalas dengan sikap serupa. Aku tak merasai apa apa kecuali tatapan dingin tanpa suara milik Neil. “Neil!” panggilku perlahan. “Hari ini aku adalah milikmu seutuhnya ! Bukankah kau pernah memintaku untuk menemanimu meski hanya sehari saja? Sekarang aku benar benar datang Neil!” Aku sedikit berteriak dalam isakku. Neil tetap bungkam.
“Ia selalu seperti itu, tak pernah berbicara sepatah katapun sejak dua minggu lalu dibawa kesini”. Sebuah suara mengejutkanku.
“Yang dilakukannya hanya menulisi dinding kamar ini dengan nama Flora”
“Perempuan itu benar benar beruntung mendapatkan cinta sebesar ini”.
Aku hanya tersenyum getir menanggapi perkataannya.
“Anda keluarganya?” perempuan yang tiba tiba masuk kekamar Neil itu bertanya kepadaku. Aku tergagap menerima pertanyaan itu. “Bu …..bu …kan! Saya temannya.” “Apa anda kenal dengan perempuan bernama Flora itu?” Aku hanya menggeleng. Mungkin perempuan itu merasa aneh dengan sikapku. Tapi tak kupedulikan itu semua. Aku tak ingin orang tahu bahwa akulah perempuan bernama Flora itu, perempuan yang namanya tertulis disetiap celah dinding kamar Neil. Perempuan yang telah membuat laki laki bernama Neil menjadi penghuni rumah sakit jiwa Menur di Surabaya. Tak seharusnya Neil berada disini. Neil laki laki yang baik, hanya saja ia terlalu bodoh. Cinta memang tak bisa memilih. Begitulah akhir perjalananku Kawan! Tak ada yang bisa kulakukan lagi untuk Neil. Aku hanya bisa menatap wajahnya dengan putus asa. Sekeranjang kesedihan memenuhi benakku. Kembali kugenggam tangan Neil dan kuusap pipinya. Air mataku mengalir deras. “Aku pergi Neil, kau harus hidup dengan baik. Dan lagi, jangan pernah menungguku!”

Jakarta, 10 Juni 2010, Too much love will kill you!!!!!!!!!!!!!

1 komentar:

Terimakasih untuk setiap komentar yang telah dikirimkan, apapun itu akan membuat aku menjadi lebih belajar lagi untuk menulis dan menulis!!!