Minggu, 31 Oktober 2010

P U T U S

"Pokoknya aku minta putus, titik!"

"Sayang, kamu terlalu emosional. Pikir dong yang jernih, masih banyak celah untuk memperbaiki hubungan kita ini. Kita juga baru saja bertunangan!" ”Apa salah aku Yang!” Hendra berusaha meyakinkan Nina yang sudah hampir setahun dipacarinya itu.



"Hendra, aku sudah cukup bersabar menghadapi kamu. Aku mencari pacar untuk hidup bahagia, bukan sebaliknya. Kamu terlalu possesif. Aku merasa terkekang menjalani hubungan ini. Kali ini aku serius, aku sudah memikirkannya masak masak, dan kali ini aku tidak main main. Keputusanku sudah bulat, tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun”. Berapi api Nina berusaha mengungkapkan pilihannya untuk putus dengan Hendra.



"Sayang, I love you, I really really love you. Janganlah karena masalah kecil, hubungan kita jadi runyam begini. Aku minta maaf kalau salah. Aku mencintai kamu dan kamulah wanita pilihanku satu satunya yang akan mendampingi hidupku selamanya. Aku nggak bisa hidup tanpamu”. tutur lelaki yang nyaris frustasi dengan kekerasan hati pacarnya itu.



Laki-laki bernama Hendra itu duduk bersimpuh sambil memegangi tangan Nina. Sesekali dia mencium tangan Nina alias tunangannya itu. Nina yang duduk di kursi ruang tamu rumahnya berusaha melepaskan pegangan tangan Hendra. Namun hendra berusaha tetap memegang tangan Nina. Nina hanya bisa menghela napas, berusaha mengabaikan rengekan laki-laki yang hingga kini tidak ia mengerti bagaimana bisa terpilih menjadi tunangannya itu.



Hendra sama sekali bukan tipe laki laki yang dicarinya selama ini. Hanya saja Nina merasa usia telah memburunya, hingga ia perlu untuk memilih diantara beberapa laki laki yang masih berusaha mengejar ngejarnya. Dan akhirnya ia merasa Hendralah laki laki yang tepat saat itu. Itupun setelah ia didesak oleh semua keluarganya untuk segera menerima pinangan Hendra. Setengah hati Nina berusaha menerima laki laki yang diharapkan oleh keluarganya menjadi suaminya kelak itu. Dan hasilnya Nina gagal membawa hubungannya kegerbang pelaminan, semua harus berakhir memilukan. Begitulah cinta yang bertumpu pada sebuah keraguan hati, tak akan pernah kekal.



Nina masih ingat betul saat kuliah, seperti apa lelaki yang diidamkan menjadi suaminya alias pendamping hidupnya kelak. Tidak harus tampan seperti Ari wibowo, atau segagah Nicholas Saputra. Dalam keyakinan Nina, lelaki yang tampan atau terutama yang merasa sok tampan, cenderung tidak setia. Nina juga tidak mengidamkan lelaki yang kaya raya, karena lelaki kaya raya cenderung ingin kawin mininal dua.


Nina hanya menginginkan lelaki sederhana dan biasa saja, tapi harus pintar. Nggak peduli kerja sebagai apa asal dewasa, pintar dan setia. "Kekayaan bisa hilang, tetapi kepintaran akan ada selamanya," begitulah keinginan Nina suatu ketika.

“Sayang, please jangan putus ya?” Hendra mengaku mengaku salah.

“Aku nggak akan possesif lagi sama kamu. Swear itu nggak akan aku lakukan lagi”.

“Aku nggak akan cemburuan lagi deh!”.

“Aku juga nggak akan atur atur kamu lagi seperti dulu, asal kita tidak putus ya?” Hendra mengiba iba sedemikian rupa dihadapan Nina.

Namun keputusan hati Nina sudah bulat. Ia ingin putus dari Hendra titik.

“Kita sudah bertunangan Sayang! Hendra masih ingin meyakinkan Nina

“Lalu kenapa? Memang kalau kita sudah bertunangan, kita tidak boleh putus? Orang yang menikah saja banyak yang cerai”. Nina berusaha membela keputusannya.

“Ingat keluarga kita Nin! Hubungan kita sudah terlalu dekat, tidak asal berkencan seperti pasangan pasangan yang lain”.



Aku cinta mati padamu Nin, tak kan bisa aku hidup tanpamu. Jangan pernah meragukanku, aku pasti akan membuatmu bahagia. Pinta Hendra pedih. Dengan segala cara Hendra berusaha mengambil hati Nina kembali. Namun tak ada yang berubah dari hati Nina, ia masih saja mengeluarkan kalimat “Pokoknya aku ingin putus, titik! Kita sudah tidak bisa sejalan lagi”.



“Jangan bawa bawa keluarga dalam masalah kita Hen! Aku dan kamu yang menjalani hubungan ini, tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kita”.

Hendra menghela napas panjang. Ia berusaha memeluk Nina, namun tangan Nina menampiknya. "Nggak usah sok mesra. Keputusanku sudah final Hen”.

“Hen, aku yakin kamu pasti akan menemukan perempuan yang lebih baik dari aku”. Suara Nina mulai melunak memberikan alasan klise, seperti yang biasa diungkapkan oleh pasangan pasangan lain yang ingin mengakhiri hubungan mereka.

“Nggak usah diteruskan Nin, aku sudah muak dengan alasan alasan seperti itu. Kamu pasti juga akan mengatakan, bahwa cinta tidak harus memiliki bukan? Omong kosong semua itu!” Hendra mulai tidak bisa mengontrol emosinya, ia berbicara dengan tatapan matanya yang menahan marah.

“Maafkan aku Hen, bila ini berat untukmu. Tapi yang jelas, aku mau putus dari kamu titik”.

"Aku telepon Mama kamu dulu, aku butuh penjelasan, kenapa anaknya membatu seperti ini," Hendra menyela.

"Jangan bawa-bawa mamaku dalam masalah kita. Mama memang yang paling mendukung hubungan kita. Tapi bukan berarti Mama berhak mengatur keputusanku Hen. Lagian Mama pasti sangat sedih kalau kamu yang harus menjelaskan keretakan hubungan kita. Biar aku saja yang pelan pelan akan memberi penjelasan kepada

keluargaku “.

Laki laki bernama Hendra itu hanya bisa terdiam membisu menanggapi sikap Nina yang keras itu. Hatinya begitu hancur, terlihat dari matanya yang kelihatan merah menahan lara.

"Sayang, coba pikir baik-baiklah keputusanmu itu."

"Sudah tidak bisa, sekali putus tetap putus titik”.

"Jangan ngotot begitu, kamu nanti menyesal sendiri lho, Sayang!" "Menyesal? Apa yang aku sesalkan putus dengan kamu? Hari ini kamu minta maaf, tetapi besok kamu mengulangi sikap yang tidak aku sukai dari kamu itu, ada saja cara kamu memperlakukan aku. Mulai dari cara berpakaianku, cara bergaulku, cara hidupku yang tidak sesuai denganmu. Jadi apa yang perlu kita pertahankan Hen? Kita memang sudah tidak cocok titik”. teriak Nina. Hendra terdiam kembali.



"Dan, satu hal lagi Hendra yang aku sesalkan dari kamu. Kamu selalu mengungkit masa laluku, sepertinya kamu menyesal bertunangan dengan seorang wanita yang memiliki banyak pacar dimasa lalunya. Sebelumnya toh kamu tahu, aku memang wanita yang pernah memiliki banyak pacar, tapi aku bukan wanita murahan”. Begitulah Nina berusaha keras untuk putus dengan tunangannya yang bernama Hendra. Hendrapun menerima dengan hati yang lara. Ia sudah tak punya kuasa apa apa terhadap keputusan tunangan yang masih sangat dicintainya itu. Ditelannya semua keputusan Nina dengan hati yang hancur. Ditinggalkannya rumah yang biasa akrab dengan kesehariannya itu dengan hati yang galau.



Nina menatap kepergian Hendra dengan perasaan yang lega. Kini ia merasa jiwanya telah bebas. Tanpa sedikitpun lara Nina masuk kedalam rumahnya. Wajahnya riang tak mencerminkan bahwa ia baru saja putus dari pacarnya. Seperti tak pernah terjadi apa apa dalam sekejap saja ia sudah mampu menguasai perasaannya. Ia memencet beberapa angka pada telpon rumahnya dan pembicaraan dimulai.



"Hai lys apa kabar? ada berita gembira nih, aku sudah putus dengan Hendra. Kita harus ketemu dan merayakannya. Oke besok kita ketemu di Citra land ya! Ingat jam sepuluh pagi. Jangan sampai terlambat!"



"Hai Des, gue mau cerita nih, akhirnya Hendra mau juga aku putuskan, pokoknya ceritanya dramatis deh perpisahanku dengan hendra. But life must go on ....... Hendra harus bisa menerima kenyataan ini."



"Hallo cantik .......... lo mau tahu nggak gosip terbaru, ini masih fresh from the oven!! Ini bukan tentang selebrity yang memang doyan cerai. Ini tentang seorang Nina ha....ha......hua...... gue sudah terbebas dari belenggu Hendra.

Gue serius ..... ntar deh gue cerita ke elo ya! Gue nggak sedih kok, jangan bilang siapa siapa ya ...... gue udah punya yang baru kok, mantan pacar gue yang lama! Biasalah CLBK ha ....ha.....ha......".



Setelah puas mengumumkan berita tentang percintaannya yang baru saja putus. Nina tiba tiba menekan angka yang sangat akrab akhir akhir ini dalam kesehariannya. Telpon disebrang sanapun langsung berbunyi Kring, kring, kring ………….kring!!!

"Lagi sibuk, Mas Andri? Aku mau ngomong sebentar aja."

"Mana mungkin sibuk, kalau yang menelepon Ninaku yang cantik ."

"Aku sudah putus, Mas. Tadi siang pukul sebelas lewat dua puluh, aku putus dari pacarku ha…ha……”. Suara Nina bersambung dengan tawa bahagianya. Tadi siang Hendra ke rumah, dan aku langsung minta putus. Hendra sebenarnya nggak mau putus, Mas. Tapi aku telah berhasil memaksanya. Keputusanku sudah bulat sih Mas, dan tanpa air mata. Lagian hatiku sudah terlanjur terpikat denganmu, Mas”.



"Syukurlah Sayang, satu persoalan dalam hidupmu selesai sudah."

"Kapan Mas Andri ke Jakarta? Aku pikir Mas Andri, sudah harus mulai memikirkan pertunangan kita. Aku mau secepatnya kita menikah Mas. Sebelumnya pelan pelan aku akan menceritakan siapa Mas Andri dengan Mama, Papa dan juga keluarga besar. Supaya Mama tidak usah bersedih terlalu lama atas perpisahanku dengan Hendra".


"Hmm, kapan ya?” Laki laki yang disebut Mas Andri oleh Nina itu menanggapi pembicaraan Nina tanpa antusias sedikitpun. Ada keraguan yang menggantung dibibirnya.

“Terserah Mas Andri, aku tunggu saja kabar baiknya Mas”.

“Kayaknya Nggak bisa deh Nin…”

“ Oh, nggak apa-apa. Aku ngerti kok, Mas Andri sibuk banget di Bandung, nggak usah terburu-buru.

Kapan Mas Andri ada waktu, Mas Andri bisa langsung ke Jakarta.

Minggu depan aku yang ke Bandung deh Mas, aku sudah kangen sama Mas Andri.

Lagian sekarang kita tidak perlu sembunyi sembunyi memproklamirkan cinta kita. Kita berdua orang bebas Mas”. Nina kelihatan bersemangat sekali menjelaskan arah pembicaraannya.



Sedang laki laki disebrang sana, masih menggantungkan ucapannya, tak tahu harus berkata apa.

" Nina, aku nggak bisa, aku nggak bisa ke Jakarta. Kayaknya juga nggak bisa bertemu dengan kamu dan kedua orang tuamu".

"Maksud Mas Andri gimana, aku nggak ngerti?"

"Nina, jangan marah ya, aku mau jujur sama kamu. Maafkan aku…….Sebenarnya aku sudah memiliki pacar.

Aku…... tidak bisa meninggalkan pacarku. Perempuan itu sedang hamil, ia mengandung darah dagingku.

Jadi …… bagaimana aku bisa melamarmu ….??

"Keparaaaaaaat....!!! Nina Anggraini mengumpat, seraya meletakkan gagang telponnya.



Jakarta, 15 Oktober 2010





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk setiap komentar yang telah dikirimkan, apapun itu akan membuat aku menjadi lebih belajar lagi untuk menulis dan menulis!!!