Selasa, 02 November 2010

AYAH TELAH MENINGGAL

Ayah telah meninggal. Tanpa ucap perpisahan, tanpa firasat apapun juga. Dia sama sekali tidak sakit. Semua begitu tiba tiba ketika aku harus mengantarkan ayah pada kesudahan yang abadi. Ayah pergi begitu saja meninggalkan semua yang fana didunia ini. Duniaku tiba tiba terasa gelap tanpa ayah. Aku seperti orang buta yang berjalan bertatih tatih meneruskan hidup ini. Setelah ayah meninggal, aku bingung dan berjalan dengan arah yang tak menentu, seolah jalan yang aku lalui tak pernah berujung. Aku tidak pernah tahu lagi, apakah malam akan berganti siang dan sebaliknya. Bagiku semua sama, hari akan berubah menjadi apa, tak akan berpengaruh lagi dengan hidupku. Yang ada hanya aku yang tertunduk meratapi kesunyian semenjak ayah sudah tak ada disisiku lagi. Aku sama sekali belum siap menerima kepergian ayah, baik jiwa maupun ragaku. Ayah telah meninggal. Hanya aku yang kehilangannya. Diatas tanah merah itu hanya aku yang menahan lara. Siang yang terik itu, semua yang memiliki pertalian kerabat dengan ayah, mengantarkannya untuk yang terakhir kali saat ayah harus disatukan dengan bumi. Hanya aku yang terisak. Hanya aku yang terluka. Berkali kali aku menghembuskan nafas panjang, ada sesuatu yang mengganjal didada, sesak dan menghimpit jiwa. Sepertinya semua yang mengantar ayah tak memiliki expresi kesedihan, seolah mereka mengantar seseorang yang akan bepergian jauh saja. Mungkin aku memang terlalu berlebihan menahan kesedihan ini sendiri. Kecuali tante Mar, yang sebenarnya hanyalah adik angkat ayah, tak seorangpun kulihat memiliki raut sedih pada mukanya, bahkan ada beberapa orang yang sekilas aku lihat seperti berkelakar satu sama lainnya ditanah pekuburan itu. Aku berdiri mematung diatas liang lahat yang dibuat untuk mengubur ayah. Rasanya tak percaya ayah akan pergi secepat itu. Kulihat ibu dan kedua kakak lelakiku yang berdiri berdampingan denganku juga tidak nampak sedih pada raut mukanya. Apakah ayah memang tidak berarti apa apa bagi mereka? Ataukah mereka punya alasan tersendiri untuk tidak kelihatan sedih didepan banyak orang? Karena sebagai orang yang beriman mereka memang dituntut memiliki expresi ikhlas ketika orang yang paling dekat dengan mereka harus menghadap yang Kuasa. Ada yang bilang, kita tidak boleh menangis saat mengantar kepergian orang yang kita cintai menghadap yang kuasa, karena akan membuat jalan mereka terhambat menuju kekekalan yang abadi. Tapi ketidak relaan hatiku membuatku terus berurai air mata mengantar kepergian ayah. Mungkin bagi ibu dan kedua kakakku, ayah memang tidak berarti apa apa, karena sepanjang ingatanku mereka selalu saja berbeda arah dalam segala hal dengan ayah. Hubungan mereka memang kurang harmonis. Hanya kepadakulah ayah bisa berbagi sayangnya. Jadi mungkin kepergian ayah adalah lebih baik, setidaknya bagi ibu dan kedua kakakku.
Beberapa hari sebelum ayah menghadap Illahi, dia masih sempat berbicara denganku. Seperti biasa, ketika ayah menghubungi aku, dia selalu menyelipkan sebuah pertanyaan “ Apakah hidupku baik baik saja?” kemudian dia akan menambahkan dengan kata kata “ Jangan pernah kuatir dengan keadaan ayah Nin! Disini ayah selalu berdoa buat kamu”. Meskipun kata kata itu berulang kali diucapkan oleh ayah setiap kali aku menelponnya, namun bagiku kata kata ayah bagaikan air yang mengalir sejuk membasahi kegersangan hatiku. Setelah menelpon ayah, aku selalu merasa tenang. Ayah adalah ketegaranku. Kami memang hidup terpisah. Setelah lulus masa SMAku, aku terpaksa meninggalkan ayah untuk kuliah di Jakarta. Aku masih ingat wajah nelangsa ayah saat melepaskanku pergi untuk menimba ilmu yang lebih tinggi di Jakarta ini. Waktu itu ayah bilang “ Setiap orang memiliki jalan cerita sendiri Nin, jadi ayah berharap cerita hidupmu akan lebih baik dari ayah.” “Pergilah, jangan kuatir tentang ayah, ayah akan baik baik saja “ katanya lagi waktu itu sambil memeluk tubuhku erat. Akupun meninggalkannya dengan raung tangis yang membuat dadaku jadi sesak. Dan sejak itu aku selalu rajin menelpon ayah untuk sekedar menanyakan keadaannya atau sebaliknya ayahlah yang akan menelponku.
Ayah telah meninggal. Ada banyak kenangan yang tak pernah aku lepas dalam hidupku, kenangan tentang masa kecil yang indah, kenangan tentang hari hari bersama ayah. . Aku masih ingat ketika ayah mengajari aku mengendarai sepeda motor. Usiaku baru 11 tahun saat itu. Ayah begitu sabar serta penuh dengan kasih sayang mengajariku. Aku begitu bangga sekali, seolah hanya aku yang memiliki ayah sebaik itu. Aku masih bisa merasakan pelukakannya saat menggendongku, rasanya nyaman sekali. Ayah selalu menggendongku dibelakang punggungnya, sehingga aku harus memeluk lehernya supaya tidak terjatuh. Sampai sekarang aku masih bisa merasakan punggungnya, saat mengingat kenangan itu. Ayah memang bukan siapa siapa bagi semua orang. Tapi bagiku dia adalah pahlawan. Pahlawan yang telah menyelamatkan gadis kecilnya dari bencana banjir yang menghalau kampung kami semasa aku masih berusia 6 tahunan. Saat itu aku pernah tenggelam tersapu oleh banjir yang tiba tiba datang. Meski samar sekali aku bisa mengingat kejadian itu. Tapi aku tetap menganggap ayahlah pahlawanku saat itu dan sampai kapanpun juga.
Ayah telah meninggal. Ayah adalah Laki-laki dengan ketekunan yang mengagumkan. Dia bekerja keras untuk menghidupi kami sekeluarga. Belum pernah kulihat ayah mengeluh sedikitpun saat merasa lelah.. Senyumnya selalu menampakkan dia seorang pekerja keras. Setiap pagi ayah selalu menyempatkan diri untuk sekedar bersarapan denganku. Kulihat matanya tak henti hentinya menatapku saat kami sedang sarapan berdua. Dari ekor matanya , aku tahu ayah selalu bangga memilikiku. Ritual itu hampir setiap pagi mewarnai hari hariku bersama ayah. Yah….hanya aku dan ayah, karena ibu dan kedua kakak lelakiku jarang sekali menyemarakan ritual sarapan pagi itu. Namun meski begitu, ayah selalu nampak riang dan bersemangat menemaniku menuntaskan sarapan pagiku. Keluarga kami memang bukan keluarga yang harmonis, seperti layaknya keluarga keluarga normal pada umumnya. Perjodohan masa lalu yang dijalani oleh kedua orang tuaku sedikit banyak telah berpengaruh terhadap roda perjalanan kehidupan keluarga kami. Ibuku pada akhirnya menjadi orang yang tidak peduli dengan keluarga, seolah hanya ayah yang berkeinginan membina sebuah keluarga. Berulang kali ibuku menghimbau ayah untuk menceraikannya. Namun dengan alasan kami anak anaknya, ayah berusaha keras mempertahankan keutuhan keluarga kami meskipun sebenarnya kehidupan kami terasa pincang. Ayah selalu saja menuruti semua kehendak ibu. Ibu bagaikan ratu yang bertahta dalam kerajaan keluarga yang dibinanya. Setiap hari yang ibu lakukan hanya bersenang senang, tanpa pernah menghiraukan keluarganya. Meski begitu, ayah tidak pernah sekalipun mencela ibu. Bagi ayah, ibu tetap wanita terbaik dalam hidupnya. Aku benar benar kecewa dengan sikap ibu. Bahkan aku seringkali bertengkar dengan ibu atas sikapnya yang sama sekali tidak bisa menghargai ayah. Namun ayah selalu saja membela ibu. “Sudahlah Nin, ayah bisa kok cari makanan diwarung depan”. Katanya suatu kali ketika aku marah karena ibu tidak menyediakan makan malam buat ayah. Meskipun sebenarnya hal itu seringkali terjadi, waktu itu aku benar benar sudah tidak bisa mentolerir sikap ibu. Sampai aku dewasapun, sikap ibu masih menjadi misteri buat aku. Aku hampir tak mengenal watak asli ibuku. Selama ini tante Mar, adik angkat ayahlah yang selalu memperhatikan aku dan kedua kakakku. Sebenarnya ibu adalah seorang dengan wajah dan sosok yang menyenangkan. Tapi perangai ibu bukanlah gambaran ibu baik yang selama ini selalu diagung agungkan oleh manusia dibumi ini. Karena kecintaan ayah yang mendalam terhadap ibuku, maka aku tidak memiliki keberanian untuk bertanya dengan detail kenapa ibu bersikap seperti itu terhadap ayah. Aku hanya ingin menjaga perasaan ayah. Bagaimanapun ayah selalu memuji muji ibu, padahal tak sedikitpun peranggai ibu yang patut menerima sanjungan. “Ibumu seorang yang baik. Hanya mungkin ayah memang bukan suami yang bisa membahagiakannya. Kasihan ibumu, ayah yang banyak salah terhadap ibumu “ kata ayah suatu ketika. Aku tak habis pikir mengapa ayah belum pernah mengatakan sesuatu yang buruk tentang ibu. Padahal sering juga kudengar dari tante Mar, tentang kekecewaan sikap keluarga ayah terhadap ibu. “Kau tak usah dengar mereka Nin, mereka hanya tak pernah tahu betapa baiknya ibumu“ begitu ayah mengingatkanku, ketika aku mencari jawab tentang peranggai ibu. Dengan tante Mar , begitu aku memanggil perempuan yang menjadi adik angkat ayahku itu. Perempuan itulah yang menjadi pengganti ibuku hingga aku dewasa. Tak ada hubungan darah sedikitpun. Hanya kedekatan tante Mar dengan ayahlah yang menyatukan kami. Tapi perempuan yang hidup sendiri tanpa suami itu telah memberi gambaran ibu yang sempurna bagiku. Dengan kasih sayang yang kuanggap berlebihan itulah dia membesarkanku dan juga kedua kakakku. Dan ibu, entah apa perannya dalam keluarga kami.
Ayah telah meninggal. Belum genap setahun ayah pergi, tapi dia benar benar telah dilupakan oleh dunia ini. Entahlah, mungkin isi kepalaku berbeda dengan isi kepala orang lain. Aku selalu hidup didalam bayang bayang ayah. Kemana kakiku melangkah yang ada hanya ayah dan ayah. Hari itu setelah 5 bulan berlalu dari kepergian ayah, aku sengaja pulang kembali kekampung halamanku. Aku ingin melihat makam ayah. Sore itu aku datang seorang diri melihatnya. Aku mencabuti rumput rumput liar yang tumbuh memenuhi makam ayah. Dilihat dari rimbunnya rumput rumput liar diatas pusara ayah, aku tahu selain aku tidak pernah ada lagi orang yang pernah datang ketempat dimana ayah dimakamkan. Tidak ibuku, juga kedua kakakku. Sekali waktu aku pernah bertanya “Kenapa ibu tidak pernah ke makam ayah?” “Ibu tidak sempat kesana, apalagi jarak rumah sangat jauh dengan makam ayahmu!” Begitulah jawaban ibu. Aku hanya bisa memendam kesedihan mendengarnya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ibu rasakan sejak kepergian ayah. Seperti sore itupun, ibu menolak ajakanku untuk mengunjungi makam ayah. Ibu sepertinya tidak begitu merasa kehilangan dengan kepergian ayah. Aku kembali terisak diatas gundukan tanah yang telah mengeras itu. Yah…. Sudah 5 bulan berlalu sejak ayah telah bersatu dengan bumi. Dan aku masih saja terus berurai air mata saat mengingat kenangan tentang ayah.

Aku mencintaimu ayah………..
Aku akan terus merindukanmu
Bumi serasa sunyi tanpamu
Diri inipun hampa kehilanganmu
Ayah ……tanpamu aku merasa lelah
Menapak jalan yang kian terasa panjang
Setiap saat detak nafasku meronta rindu
Kemana rindu ini harus beralamat Ayah?
Mungkin waktu memang belum akrab denganku Ayah
Hingga kuingin menggugat kepergianmu
Ijinkan aku mengatakannya padamu Ayah
“ Aku sangat berterima kasih”
Kau sudah membuatku mewarnai dunia ini

Ayah telah meninggal. Aku duduk terdiam ditempat ayah biasa menghabiskan sorenya untuk sekedar menulis ataupun membaca buku. Aku ingin menyusuri kenangan tentang ayah. Semuanya belum ada yang berubah, meja belajar ayah, buku buku ayah, serta barang barang milik ayah yang masih tertata rapi pada tempatnya. Ibukupun sepertinya enggan untuk sekedar memindahkan barang barang milik ayah yang mungkin memang tak pernah meninggalkan kenangan buatnya itu. Perlahan aku buka lemari buku ayah dengan dada penuh debar. Satu persatu aku mulai membuka buku buku yang berderet rapi itu, sembari merangkai potongan kenangan tentang ayah. Tiba tiba ada sesuatu yang jatuh dari helai buku yang baru aku buka, sepertinya sebuah surat. Jantungku terasa berdebar mengambil surat yang jatuh kelantai tersebut. Rasa penasaran yang menyeruak hati memaksaku untuk membacanya.

Buat : Miranti yang aku sayangi,
Terimakasih kau telah mau berbagi hidup denganku. Meskipun aku tahu, semua yang kau lakukan hanyalah sebuah keterpaksaan. Beberapa tahun ini, setelah hidup denganku, mungkin adalah hari hari yang paling menyedihkan buatmu. Sejak mengenalku, aku tahu duniamu terasa mati. Kau harus hidup dengan orang yang sama sekali tak kau cintai. Aku tak bermaksud membelimu dengan uangku. Semua kulakukan karena aku terlalu mencintaimu. Aku mencintaimu, seperti aku mencintai dunia ini. Untuk itulah aku memaksa ayahmu untuk menyerahkan hidupmu mendampingiku. Dan membuatmu terpaksa melaksanakan mandat dari ayahmu. Karena aku berharap dengan ketulusan cintaku, suatu hari nanti kau akan menerimaku Miranti. Hingga aku bisa memasuki duniamu yang sendiri. Tapi ternyata hari yang aku tunggu tunggu itu tak pernah kunjung datang. Bahkan sampai anak anak kita terlahir, itupun tak mampu menggoyahkan cintamu. Aku tahu pria dimasa lalumu itu adalah yang terpenting dalam hidupmu, sampai mampu menggoyahkan masa depan yang ingin kuraih bersama anak anak kita. Tak tersentuhkah hatimu melihat anak anak kita yang mulai beranjak dewasa Miranti? Mereka adalah permata permata kita. Dulu aku pernah menyesal telah memaksamu untuk menikah denganku. Tapi melihat anak anak tumbuh besar, akhirnya penyesalan itu berbuah manis. Kau tahu Miranti, aku sangat bahagia memiliki mereka.
Setelah membaca surat ini, aku berharap kau tak akan sedih lagi Miranti, karena mungkin aku telah pergi. Maafkan aku yang telah egois membelenggu hari harimu, sampai kau tak mampu lagi membela diri untuk beranjak pergi. Tapi tolong maafkan aku demi anak anak. Berikan mereka coretan hidup yang lebih indah dari kehidupan kita. Jangan kau hukum mereka karena kesalahanku. Kasihanilah mereka Miranti, mereka sama sekali tak bersalah. Sudah cukup aku yang terhukum karena mencintaimu. Kau harus hidup bahagia Miranti. Raihlah kebahagiaanmu bersama anak anak kita. Aku akan terus merasa bersalah, kalau kau tak hidup bahagia. Kau berhak bahagia Miranti. Aku akan terus memohon kepada yang Kuasa, agar kau diberi kesempatan untuk bahagia. Sekali lagi terimakasih, kesepian hatiku telah kau tukar dengan menghadirkan anak anak yang termanis dalam hidupku. Aku berharap kau akan menjadi ibu yang sesungguhnya bagi mereka, Permana, Praditya dan Nindya.
Dariku,
Yang selamanya mencintaimu
Tanpa terasa mataku basah penuh dengan air mata, semua tabir kehidupan yang aku lewati selama ini terbuka sudah setelah ayah meninggal. Aku telah menemukan jawaban tentang sikap ibu dan semua yang ibu lakukan untuk menghukum ayah. Entah aku harus menyalahkan siapa? Keduanya ayah dan ibuku adalah korban dari keteguhan cinta yang mereka miliki. Masing masing memiliki cara untuk mempertahankan cintanya. Hidup memang penuh dengan misteri, siapa yang pernah menyangka kalau kehidupan yang kumiliki adalah hasil dari sebuah pernikahan yang rumit. Yah, mencintai dan ingin memiliki adalah dua hal yang berbeda. Tiba tiba aku ingin sekali memeluk ibu. Wanita malang yang telah memberikan hidupnya kepada ayah yang paling kucintai. Wanita yang mungkin saja tidak pernah merasa bahagia dalam hidupnya.Wanita yang selama ini selalu aku benci.
Ayah telah meninggal. Ayah adalah segalanya bagiku, selama bahagia itu mewarnai hidupku, dialah yang selalu menerakan jejaknya dalam setiap lembar ceritaku. Dan aku sangat menyesal dengan apa yang telah terjadi, aku menyesal belum sempat melakukan apapun juga buat ayah. Kalau saja aku bisa bercakap-cakap sekali saja, yach ………sekali saja. Karena begitu banyak cerita serta ungkapan terima kasih yang ingin aku ucapkan buat semua yang telah ayah lakukan dalam hidupku. Aku tidak peduli “ Apakah ayah pernah melakukan sesuatu yang buruk dimasa lalu ataukah ayah bukan orang yang baik”. Tapi ayah akan selalu mendapatkan tempat terindah dalam hati, hidup,dan jiwa ku selama lamanya. Sampai aku harus kembali juga kepada yang Kuasa nantinya. Ayah adalah alasanku kenapa aku harus menangis, ayah adalah alasanku kenapa aku harus marah, kenapa aku harus tersenyum, kenapa aku harus sedih, kenapa aku harus bahagia., dan ayah adalah semua alasan untuk apa aku harus hidup.
Ayah telah meninggal. Dan aku telah mampu menerima kenyataan dengan hati yang besar. Aku percaya ayah akan merasa tenang tanpa tangis yang kuberikan. Aku hanya mampu berharap bahwa ayah sudah cukup merasakan kebahagiaan hidup didunia ini. Dalam hati aku berjanji “ Ayah, akan kubuat wanita yang paling kau cintai itu menjadi bahagia, aku akan terus mengobarkan cintamu kepada ibu, meski lewat cara yang berbeda. Tenanglah ditempat abadimu Ayah, kita pasti akan bertemu lagi. Semoga ditempat yang abadi nantinya, Ayah bisa menemukan cinta ibu kembali “


Jakarta, Februari 2008

1 komentar:

  1. Terimakasih kak...saya jadi punya referensi buat blog saya...
    https://fearfathandiary.blogspot.com

    BalasHapus

Terimakasih untuk setiap komentar yang telah dikirimkan, apapun itu akan membuat aku menjadi lebih belajar lagi untuk menulis dan menulis!!!