Selasa, 02 November 2010

WANITA ITU ............

Akhirnya aku kembali ketempat ini lagi, setelah berbulan bulan aku berjuang melawan perasaanku sendiri. Aku memang tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Meskipun aku pernah berjanji untuk tidak akan menginjakkan kakiku ketempat ini. Namun ada bagian dari hidupku yang selalu menghimbauku untuk kembali lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak jauh, sekedar memastikan bahwa ia akan baik baik saja menjalani hidupnya.

Dari balik tembok yang terpisah dengan batas supaya aku tidak terlihat, aku bersembunyi seperti mata mata yang sedang mengintai mangsanya. Jantungku berdegup begitu kencang diburu oleh ketakutan, perasaan kuatir kalau kalau aku akan tertangkap basah saat berusaha melihatnya dari jarak jauh. Aku melihatnya, wanita itu sedang duduk sambil tertawa tawa bersama dengan beberapa orang muda yang tidak lagi sebaya dengannya. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka perbincangkan, tetapi sesekali mereka cekikikan, sambil sekedar bercubit cubitan tanda gemas dengan isi obrolan mereka. Meski halaman rumah itu tidak begitu asri, bahkan hanya ada satu pohon jambu yang tidak begitu besar menghiasi halamannya, namun kebersamaan itu seringkali terlihat hampir sepanjang hari. Ia memang sangat berbeda dengan wanita lain. Entahlah aku tidak pernah bisa menebak apa yang ada dalam isi kepalanya. Ia seperti hidup dalam dunianya sendiri. Tak seorangpun bisa memahami apa yang diinginkannya termasuk aku, orang yang paling dekat dengannya.
Aku segera menarik kepalaku dari balik tembok itu sambil menunduk untuk bersembunyi, ketika ku lihat ia seperti sedang menatap sesuatu kearahku. Aku berharap semoga ia tidak melihatku. Jantungku semakin berdegup dengan kencang. Kembali aku melihat wanita itu dari tempat persembunyianku, setelah degup jantungku berhasil kutenangkan. Wanita itu duduk dengan santai menyandarkan punggungnya melekat pada kursi rotan yang memang sudah nampak usang. Sedangkan kakinya ia angkat dan diletakkan diatas kursi yang lain. Sepertinya ia begitu bebas, mungkin sebebas perasaannya yang seolah olah tidak memiliki keterikatan batin dengan siapapun juga. Sejenak aku berpikir, apakah selintas saja ia pernah berpikir tentang aku? Setelah sekian lama kita tidak pernah bertemu. Entahlah aku tidak pernah berani berharap banyak tentang perasaannya kepadaku. Tiba tiba dari balik tempatku bersembunyi ada seseorang yang menegurku “ Hai baru datang ya? Mengapa bersembunyi disini? “ Udah lama tidak ketemu kan?” Aku terkejut sekali mendengar sapaan itu, takut kalau wanita yang sedang aku lihat itu mendengar dan melihat kearahku. “ Oh... iya bu, nanti saya pasti akan kesana!” Jawabku seraya mengarahkan tanganku menunjuk kearah wanita yang sedang bercengkrama didepan teras rumahnya itu, lalu aku menempelkan jari telunjukku keatas bibir, supaya ibu yang menegurku tersebut diam diam saja. “ Mereka terbiasa seperti itu, bahkan sampai larut malam” kata ibu itu lagi sambil berlalu. Tanpa sadar air mataku mengucur merembes jatuh dikedua belah pipiku. Betapa sakit melihatnya tertawa tanpa beban sedikitpun. Sepertinya ia memang bahagia. Kembali aku melihat dan mendengar wanita itu beserta dengan teman temannya tertawa lepas, suaranya membahana merayapi setiap rumah yang bersebrangan dengan rumah wanita itu. Aku hanya bisa menahan rasa sakit melihat adegan itu. Sakit bukan karena ia bahagia, tapi hatiku sakit karena aku tidak pernah tahu apa makna dibalik semua tawanya itu. Aku bahkan tidak pernah tahu, apakah ia benar benar hidup bahagia atau ia hanya pura pura bahagia.
Sejak aku menjelajahi belantara ibu kota negara tiga tahun terakhir ini, aku memang hanya mengunjunginya setiap tahun sekali. Itupun sebagai ritual bahwa sosoknya masih terus menghiasi seluruh sisa usia yang kumiliki. Hanya itu .......selebihnya tidak ada kenangan sedikitpun yang bisa kuingat darinya. Semuanya nyaris terlupakan, lebih tepatnya lagi ingin kulupakan. Meskipun aku tahu, keinginan itu tidak akan pernah terwujud, karena ia selalu ada dihatiku. Meskipun tidak ada kerinduan yang membuncah yang memintaku untuk datang melihatnya., namun langkahku selalu tak rela beranjak jauh dari hidupnya. Pertemuan demi pertemuan yang terjadi selalu terasa hambar. Tidak pernah lebih dari sepuluh menit kita berbicara sekedar berbagi rasa, setelah sekian lama kita tidak berjumpa. Aku tidak mengerti, kenapa ia tidak pernah mau berlama lama bersamaku? Namun pertanyaanku itu tidak pernah ada jawabnya. Saat aku bertanya kepadanyapun, ia hanya diam tanpa berbicara. Aku sendiri juga tidak merasa nyaman dan gembira saat bersamanya. Dan waktu yang akhirnya membuat rasa yang kita miliki semakin memudar. Tapi mungkin itulah yang diinginkannya, karena setahun yang lalu ia pernah menghimbauku untuk melupakannya.

Tiba tiba rentetan peristiwa yang membuatku pergi meninggalkannya itu kembali menghiasi kepalaku seperti sebuah film yang terulas dengan jelas. Setahun yang lalu aku meninggalkannya dengan kemarahan yang meledak ledak. Sore itu tanpa sengaja telingaku mendengarkan seluruh isi pembicaraanya bersama dengan teman temannya. Aku tidak pernah mengerti kenapa ia melakukan semua itu kepadaku. Ia sama sekali tidak pernah menganggapku ada dibumi ini. “ Aku akan tetap menjual rumah ini, tanpa ataupun dengan persetujuan siapapun! Ini rumahku, ayahnya mana pernah meninggalkan warisan untuknya! Aku tidak peduli kemana ia pergi setelah rumah ini aku jual! “ Kata kata seperti itulah yang mampir ditelingaku setahun yang lalu. Singkat, namun mampu membuat dadaku sesak. Hatiku sakit sekali, seolah dadaku tak mampu lagi untuk bernafas. Apa yang ia katakan telah melukaiku. Padahal seluruh hidupku telah kuberikan untuknya.

Yah......wanita yang telah mengatakan kalimat itu adalah ibuku. Orang yang merembesi benih rahimnya dengan nyawaku. Tapi sepertinya ia tidak pernah menginginkanku. Entahlah ....... ia seolah tidak memiliki ikatan batin sama sekali denganku. Bertahun tahun aku hidup tanpa rasa peduli darinya. Jarang sekali ibu mengajakku bicara. Tatapannya selalu penuh dengan kebencian saat melihatku. Selama ini ayahlah yang berperan ganda, menjadi ayah sekaligus ibu buatku. Meski begitu aku tidak pernah membencinya. Selama hidup, ayah memberiku limpahan kasih sayang yang lebih dari cukup, hingga aku tak pernah merasa perlu seorang ibu. Aku tidak mengerti mengapa ibu bersikap seperti itu terhadapku, padahal aku adalah anak semata wayangnya. Sikap ibu benar benar misteri yang tak pernah mampu aku pecahkan. Suatu kali aku bertanya tentang sikap ibu itu kepada ayah, namun ayah juga tidak memberiku penjelasan yang membuatku puas. Ayah hanya bilang “ Apapun yang ibu lakukan kepadamu, kau tak boleh membencinya Rin” Dan sejak itu akupun tak pernah lagi bertanya ataupun menghiraukan ibu. Bagiku bersama ayah, sudah cukup membuatku bahagia.

Namun setelah ayah meninggal, tiba tiba aku merasa perlu ibu. Aku perlu ibu sebagai teman sekaligus sahabat untuk menjalani sisa hidup ini. Aku merasa kewajibanku adalah melindunginya, mencintainya dan menjaganya. Sayang semua yang aku lakukan itu tidak pernah berarti apa apa bagi ibu. Ibu tetap ibu yang tak pernah berubah, meski ada ataupun tidak ada ayah. Ia tetap tak ingin hidup bersamaku seperti yang ibu ibu lain lakukan terhadap anaknya. Bahkan hatinya tak sedikitpun tersentuh dengan semua sikapku yang selalu berusaha menyenangkannya. Ia begitu membenciku. Sampai sampai ia ingin aku melupakannya. Bahkan rumah yang seharusnya menjadi tempat ketika aku pulang, itupun ingin dijualnya tanpa menghiraukan keberadaanku.
Selama ini aku ingin sekali berbakti terhadap wanita yang telah melahirkanku itu. Namun sikap ibu membuat hatiku kecewa. Dan yang paling membuat hatiku sakit adalah diam diam ibu menjalin hubungan dengan pria lain. Ibu benar benar tak menghiraukan keberadaanku. Kalaupun tiba tiba ibu berbuat baik, itu hanya karena ia menginginkan sesuatu dariku. Aku sadar, aku hanya bisa memuaskan jasmaninya dan tidak batinnya. Ibuku berjalan dalam hidupnya sendiri. Tak seorangpun tahu apa yang sebenarnya diinginkannya. Ia melakukan apa saja yang ia mau lakukan tanpa penah peduli bahwa apa yang telah diperbuatnya itu melukai perasaanku sebagai anaknya. Aku hanyalah anak yang terlahir dari rahimnya, tapi tidak pernah ada dalam hatinya.
Sebenarnya ibuku adalah perempuan dengan wajah dan sosok yang menyenangkan. Tapi bagiku peranggai ibuku bukanlah gambaran ibu baik yang selama ini selalu iagung agungkan oleh manusia dibumi ini. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dipeluk oleh ibuku seperti yang ibu ibu lain lakukan terhadap anaknya. Akupun tak pernah mengerti kenapa ibuku melakukan itu terhadapku. Kadang aku merasa penat dengan beban hidupku. Pernah terbersit dibenakku untuk melupakan saja ibuku, namun aku tidak pernah mampu melakukannya. Apalagi sejak ayah meninggal, semua terasa berat berada dipundakku. Sehinggga kesedihan yang teramat sangat itu membuatku lupa untuk berbagi, bahkan dengan kerabatku yang lain. Aku telah terbiasa berpikir bahwa setiap masalah harus kuhadapi sendiri. Dan aku tetap merasa ibuku adalah wanita terbaik yang pernah kumiliki.

Sekali lagi aku menatapnya dari kejauhan, entahlah...... sebenarnya aku tidak pernah tega meninggalkannya, namun aku tak berdaya, aku lelah mengikuti jalan hidupnya yang memang tak pernah seirama denganku. Semua orang yang memiliki pertalian kerabat dengannya, menghimbauku untuk tidak terlalu peduli kepadanya. Bagi mereka, yang telah aku lakukan sudah lebih dari cukup sebagai sebuah pengabdian seorang anak terhadap ibunya. Tidak akan ada yang menganggapku anak durhaka. Namun aku tidak pernah bisa melakukannya. Tubuhku dapat terbang tapi jiwaku tidak. Aku tidak dapat memaafkan diriku jika aku harus melupakannya. Meskipun berulang kali para kerabatku selalu menganggapku bodoh karena aku terlalu mempedulikannya.

Kutatap lagi rumah yang membesarkanku itu untuk yang terakhir kali.. Hampir tak berubah. Pohon jambu yang masih berbuah. Pintu kayu bercat coklat yang sudah nampak begitu usang. Kursi rotan yang dipajang didepan teras. Semua masih sama, tidak ada yang berubah. Ibukupun masih sama, ia sama sekali belum berubah. Dan aku juga masih tetap menjadi orang asing dalam hidupnya. Pelan pelan kutinggalkan rumah yang tak pernah memberiku kenangan baik itu dengan air mata yang hampir tumpah. Entah sampai kapan aku bisa menjadi anak yang sesungguhnya bagi ibuku. Anak yang dilimpahi dengan kasih sayang yang tulus seperti ibu ibu didunia ini. Aku sangat ingin memeluknya, pelukkan seorang ibu yang hampir tak pernah aku rasakan itu. Maka seperti saat ini, aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Sambil menahan hatiku yang selalu terluka bila mengingatnya. Sepertinya ia bahagia dengan hari hari yang dilaluinya. Yah….semoga! Karena bagaimanapun aku tak kan pernah menghapus takdir bahwa ia tetaplah ibu yang membuatku ada dibumi ini dan ibu yang tetap harus aku cintai bagaimanapun ia.

Jakarta, 22 Desember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk setiap komentar yang telah dikirimkan, apapun itu akan membuat aku menjadi lebih belajar lagi untuk menulis dan menulis!!!