Selasa, 02 November 2010

S U M I

Sumi diam mematung dihadapanku dan beberapa anak kos lainnya. Ia sudah layaknya seorang terdakwa yang menunggu vonis akhir saja. Sebenarnya aku tak bermaksud menginterograsinya seperti seorang polisi. Namun sikap diamnya, membuatku tak sabar mencercanya dengan berbagai macam pertanyaan. Aku memang ditugaskan oleh anak anak kos sebagai juru bicara untuk menginterograsi Sumi. Ini semua berawal dari perubahan sikap dan tubuh Sumi yang memang membuat kami memiliki banyak kecurigaan. Mula-mula tak ada seorang pun yang peduli ataupun curiga dengan perubahan tubuh sumi pembantu kosku dua bulan terakhir ini. Namun ketika perubahannya mengarah pada sebuah keganjilan, maka kami anak anak satu kospun mulai bertanya tanya. Kenapa Sumi terlihat gemuk hanya pada bagian perutnya dan pada buah dadanya saja? Bukankah itu tanda tanda orang yang sedang hamil? Tapi bukankah ia belum menikah? Lalu dengan siapa Sumi hamil? Kami hanya memendam kecurigaan itu dihati masing masing. “Tapi kapan Sumi sempat memiliki teman pria? Sudah berapa bulan Sumi hamil? Ataukah sebenarnya Sumi hanya terkena penyakit perut dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan perutnya?” Begitulah bisik bisik itu meningkat menjadi sebuah kecurigaan yang pada akhirnya kami ungkapkan didepan Sumi. Sumi adalah pembantu kosku. Ia masih sangat muda. Umurnya baru 19 tahun. Seperti kebanyakan anak anak kampung yang putus sekolah, Sumi berusaha memperjuangkan nasibnya kekota. Meski hanya untuk menjadi seorang pembantu. Namun ia sudah cukup bahagia. Ia rajin dan tekun menjalani pekerjaannya. Ia sudah sangat akrab dengan anak anak kos, karena semua keperluan yang menyangkut fasilitas kos, sudah diserahkan oleh pemilik kos kepada Sumi. Om Agus pemilik kosku sudah memberikan semua mandat kepada Sumi untuk mengurusi keperluan kami, termasuk menerima uang pembayaran kos setiap bulannya. Setiap hari Sumilah yang mencuci baju baju kami dan menyiapkan segala macam keperluan kami. Bagi kami Sumi sudah seperti teman bahkan keluarga kami. Maka ketika terjadi sesuatu yang sedikit berubah terhadap keadaan Sumi, kamipun langsung mengetahuinya.

Sumi masih diam memaku. Akupun terdiam untuk memberi kesempatan ia berkata kata. Anak anak kos lainnya yang berhimpitan mengelilingi Sumi juga diam tanpa sepatah katapun. Mereka hanya menahan nafas menunggu jawaban yang keluar dari mulut Sumi. Tapi Sumi masih diam dan tak melakukan apa apa. Tatapannya kosong, keningnya yang lapang semakin memperjelas kehampaan. Rambutnya yang lurus tersisir rapi, hanya dikuncir ekor kuda saja. Sumi menunduk sambil meremas remas kedua tangannya, tanda kegelisahan yang dalam. Ia kembali menatapku, kemudian menatap secara bergantian kepada anak anak kos yang lainnya. Masih tanpa suara.
“ Apa yang sebenarnya terjadi dengan kamu Sum,” tanyaku sekali lagi. “Kami semua disini akan membantumu, jadi tolong jawab semua pertanyaan kami. Tidak perlu takut, percayalah kepada kami”. Sumi masih tetap dalam keadaan bungkam. Namun tiba tiba kulihat air mata menggenangi pipinya menanggapi kata kataku. Secara hampir bersamaan kami semua menghela nafas, antara lega dan kecewa, kami langsung memahami keadaan Sumi. Tanpa sepatah katapun penjelasan dari Sumi, kamipun langsung bisa mengartikan kegelisahan Sumi diantara kami. Sumi hamil!. Sebagaimana seorang wanita, seharusnya kehamilan bisa dimaknai dengan kebahagiaan ataupun sebuah kebanggaan. Namun ini berbeda. Sumi hamil, dan kami semua tidak tahu dengan siapa ia hamil. Sumi masih bujang, ia belum menikah. Bahkan menurut pengamatan kami, ia tidak punya pacar. Inilah yang menjadikan masalah ini semakin rumit. Aku memegang kedua tangannya, ingin kuberi sedikit kekuatan yang kumiliki untuk wanita malang yang ada dihadapanku ini. Air matanya sudah hampir mengering, namun mulutnya tetap terkunci. Aku memberikan isyarat dengan mataku kepada anak anak kos yang masih berderet deret mengelilingi Sumi, supaya mereka meninggalkan aku dan Sumi berdua saja.
“Kamu tidak sendiri Sum! Ada aku dan teman teman yang lain.” Aku mulai mengajaknya bicara kembali setelah anak anak meninggalkan kami.
“Siapa yang melakukan ini Sum?” desakku
“Kenapa kamu harus menutup nutupi dari kami? Ayolah Sum, tidak ada gunanya kamu bungkam seperti ini. Nantipun kami juga akan tahu” aku berkata sambil memegang bahunya pelan.
“Saya harus menjawab apa mbak?” jawab Sumi. Aku sudah menduga, ia pasti tak akan mau menjawab pertanyaanku. Ini sudah lebih dari setengah jam aku menjadikannya seorang sandera, supaya ia berterus terang tentang perubahan tubuhnya itu. Namun sia sia saja rupanya kerja kerasku untuk membujuknya. Sumi tetap bungkam dan menyisakan misteri yang membuat kami harus memutar otak sendiri untuk mencari jawabannya.
“Sudahlah Sum, istirahatlah!” kataku akhirnya
“Kapanpun kamu memerlukan bantuan, kami siap membantumu Sum”.
"Iya mbak, terimakasih.” Akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulut Sumi.
Sumi naik ke lantai dua, tempat dimana kamarnya berada. Begitu Sumi naik, anak anak kos yang lain langsung mengelilingi aku. Mereka penasaran, ingin mengetahui apa yang telah Sumi katakan kepadaku.
“ Gimana Mel, apa yang Sumi katakan?, ia benar benar hamil kan? Siapa bapaknya? ” Indra langsung memberondongiku dengan pertanyaannya.
“Iya Mel Gimana hasilnya?” Eldy menimpali pertanyaan Indra dengan tak sabar. Aku hanya menggeleng gelengkan kepalaku, tanda tak ada hasilnya pembicaraanku dengan Sumi. Anak anak kos yang lain melihatku dengan perasaan kecewa.
“Kalau Sumi beneran hamil, hamil dengan siapa ya?” Indra mulai memutar otaknya mencari tahu. Lalu mulailah kami semua menghubung hubungkan semua kegiatan Sumi dan kemungkinan siapa pria yang bisa menghamili Sumi.
“Dirumah ini hanya ada dua lelaki, Om Agus dan Hendry anaknya. Apa mungkin salah satu dari mereka berdua?” Era mulai dengan analisanya.
“Hus….ngawur deh kamu Ra! Mana mungkin? Tante Rosi begitu cantiknya, masak sich Om Agus bisa tergoda dengan Sumi” sahutku
“ Ya maaf, tidak bermaksud merendahkan Sumi, tapi dibandingkan dengan tante Rosi, Sumi itu tidak ada apa apanya Teman!” Aku berusaha membuat mereka berpikir realistis
“Ya bisa aja lho!! Secara Om Agus setiap hari pakaiannya hanya berkaos kutang dan celana pendek ha…ha….” Lha apa hubungannya Ndra ……. Ha…ha….ha… semua anak anak kos tertawa berderai derai membicarakan Om Agus. Sementara lupa sudah kami dengan penderitaan yang dialami oleh Sumi. Begitulah kami, semua anak anak kos selalu berkelakar satu sama lain, ketika kami berkumpul. Termasuk seringnya kami membicarakan keluarga pemilik kos yang memang banyak hal yang bisa kami bahas dari kehidupan keluarga mereka. Salah satunya adalah cara Om Agus berbusana yang tak lepas dari pengamatan kami, yaitu celana pendek dan berkaos kutang. Seolah Om Agus memang memiliki berlusin lusin celana pendek dan kaos kutang kegemarannya itu.

Om Agus pemilik kos kami adalah lelaki berusia 47 tahunan. Istrinya tante Rosi memiliki paras yang sangat cantik. Tante Rosi bekerja sebagai penata Rias, ia membuka salon disebelah kos kami. Sedangkan Om Agus sendiri tidak tahu apa pekerjaannya. Setiap hari yang dilakukan hanyalah mengurusi binatang binatang kesayangannya, anjing, ikan koi dan burung burung merpatinya. Tempat kos kami memang satu rumah dengan pemiliknya, tapi kami sangat nyaman tinggal ditempat itu. Selain tempatnya strategis berdekatan dengan jalan raya, fasilitasnya juga sangat menunjang kenyamanan kami sebagai anak anak kos. Om Agus dan tante Rosi memiliki tiga orang anak, Dua perempuan dan satu laki laki. Hendry anak pertamanya drop out dari SMA, Lusy anak keduanya masih kuliah semester tiga, namun kelihatanya sudah ada yang melamarnya. Anaknya yang ketiga perempuan masih kelas V SD, namanya Ana. Itulah sedikit gambaran tentang keluarga Om Agus. Kelihatannya seperti keluarga yang bahagia. Jadi mana mungkin kalau Om Agus yang telah menghamili Sumi?
Misteri tentang hamilnya Sumi, masih menjadi pembicaraan hangat diantara kami seminggu terakhir ini. Sedang Sumi sama sekali tak mau berterus terang tentang siapa lelaki yang telah menghamilinya. Meski setiap hari aku berusaha membujuknya, Sumi tetap tak bergeming.
“ Sum, kamu sehat kan? Kamu baik baik aja kan?”
Tanyaku suatu sore ketika ia sedang mencuci baju. Sumi menoleh dengan wajah sedikit tersenyum.
“Aha……ia tersenyum!” Baru sore ini kulihat senyum tersungging dibibirnya, setelah kami menginterograsinya seminggu lalu. Sebenarnya Sumi adalah sosok yang ramah dan menyenangkan. Namun kejadian yang menimpanya membuat ia sangat pelit senyum.
“ Saya nggak papa kok mbak, saya sehat sehat aja. Mbak mbak semua nggak usah kuatir dengan keadaan saya!”
Sumi sudah mau berbicara dengan kalimat yang lumayan panjang. Akupun merasa mendapat kesempatan untuk bertanya lebih lanjut tentang kehamilannya.
“Tapi Sum, kamu harus berterus terang mengenai siapa Bapak dari bayimu itu. Jangan kau tutup tutupi, aku dan anak anak kos yang lain akan membantumu.”
“Semua sudah selesai kok mbak, saya sudah trima dengan nasib saya” Sumi mulai buka suara lagi.
“Apa maksudmu Sum?” Aku mulai penasaran dengan jawaban Sumi
“Saya ini kan orang kecil mbak, saya cuma dianggap sampah yang gak ada artinya. Jadi nggak papa mbak, kehamilan ini akan saya terima dengan hati yang ihklas. Minggu depan saya pulang mbak, saya mau melahirkan dikampung. Terimakasih, mbak mbak sudah begitu baik dengan saya”.
Aku ternganga mendengar kalimat panjang yang diungkapkan oleh Sumi. Tiba tiba hatiku sakit sekali. Aku tidak bisa terima dengan keadaan Sumi. Tapi akupun tak kuasa memaksa Sumi untuk berterus terang, siapa laki laki keparat yang telah menghamilinya. “Siapa Bapak dari bayimu Sum? Apa kamu takut diancam oleh laki laki itu?” Sekali lagi aku mendesaknya.
“ Sudahlah mbak, saya ihklas kok”. Lagi lagi jawaban ihklas yang aku dengar dari mulut Sumi.
“ Sum, apa kamu sebenarnya sudah menikah dikampung?” Aku terus tidak puas dengan jawaban Sumi
"Saya tidak pernah menikah mbak! Dan saya tidak memiliki lelaki yang saya cintai!!" Sumi tiba tiba menangis sesunggukan. "Kamu diperkosa? Oleh siapa? Pacarmu?" “ Saya tidak punya pacar! Saya tidak mencintai siapapun mbak!”
Sebenarnya aku ingin mendesaknya sampai ia berterus terang. Tapi aku tak tega melanjutkan pertanyaan pertanyaanku yang masih menggunung itu. Sudah cukup jelas, Sumi hamil bukan karena kehendaknya. Bukan karena cinta, bukan karena ia rela ditiduri oleh seorang lelaki. Sumi terpaksa dihamili. Tapi oleh siapa? Siapa juga yang tega memperkosa Sumi? "Kenapa kau menutupi siapa laki laki itu Sum? Ia telah berbuat sangat jahat kepadamu!"
"Saya hanya tidak ingin menanggung penderitaan lagi setelah musibah ini, Mbak." Sahutnya lirih. Demi melihat penderitaan Sumi, akupun tidak berusaha mendesaknya lagi. “Sabar ya Sum! Semoga kamu bisa bertahan menghadapi penderitaan ini, jangan sungkan sungkan minta pertolongan dari kami ya Sum! Itulah akhirnya kata yang bisa aku sampaikan untuk menghiburnya. Lidahku sudah terasa kelu untuk membahas penderitaan Sumi lebih lanjut.
“ O ya, apa kamu sudah pamitan sama tante Rosi dan Om Agus?” tanyaku kembali
“ Sudah mbak!”
“ Om Agus mengijinkan kamu pulang?”
“Iya mbak, mereka semua mengerti keadaan saya kok”
“Jadi mereka juga tahu kalau kamu hamil Sum?”
“Tidak mbak! Mereka hanya bertanya, kok mendadak saya pulang?”
“Saya bilang, saya mau nemenin simbok dikampung”
Begitulah hasil pembicaraanku dengan Sumi disore yang menyedihkan itu. Aku kembali kekamarku dengan dada yang sesak. Sumi bukan perempuan nakal, ia tidak layak mendapat resiko ini. Aku sedih sekali dengan apa yang menimpanya. Usianya baru 19 tahun, ia hamil diluar nikah dan tidak seorangpun bisa dimintai pertanggung jawaban. Semestinya aku harus bisa memperjuangkan nasib Sumi, tapi aku sendiri tak berdaya. Toh Sumi tak pernah mau mengungkapkan siapa Bapak dari bayinya itu. Ihklas! Itulah alasan Sumi yang tak bisa masuk keakalku. Bagiku Sumi adalah perempuan istimewa. Ia tak mau menyebut satu namapun untuk Bapak bayinya itu. Semua beban dengan ihklas diterimanya dengan hati yang lapang. Tak banyak perempuan seperti Sumi. Betapa rasa ihklas Sumi telah mengalahkan penderitaan yang dialaminya.

Sore itu kami sedang duduk bersantai diruangan tamu. Sudah menjadi kebiasaan anak anak kos ditempat kami sehabis pulang dari kantor. Sumi baru saja pulang kekampungnya siang tadi. Namun kepulangannya masih menjadi misteri bagi kami. Tak banyak yang kami bicarakan, topik yang paling sering kami bahas adalah para artis yang makin aneh aneh saja tingkahnya atau para politisi yang bisanya hanya bicara soal rakyat tapi tidak mampu memperjuangkan nasib rakyat. “Wah kalau Sumi pulang….sementara ini kita mesti cuci baju sendiri dong!” Era berbicara sambil mengaduk susu coklat kesukaannya. “Nggaklah, besok Tante Ros, pasti dah dapat pengganti Sumi”. Sahutku sok tahu. “Jadi siapa yang menghamili Sumi ya?” Indra berbicara seolah pada dirinya sendiri, karena tak seorangpun mampu menjawab pertanyaannya. “Yah…..salah satu dari dua lelaki dirumah inilah, emangnya siapa lagi?” Eldy asal menyahut. Aku sebenarnya agak sependapat dengan Eldy, namun aku lebih suka menyimpannya sendiri. Aku tak punya nyali mengungkapkan secara terbuka kemungkinan kemungkinan siapa lelaki yang menghamili Sumi. Sumi saja yang dihamili merasa ihklas masak aku yang prostes, batinku sedih. “Hus….. Nanti kalau kedengaran sama tante Rosi, bisa bisa kita diusir keluar dari sini” kataku mengingatkan anak anak, supaya tidak asal ceplos aja membicarakan kehamilan Sumi. Anak anak tak menggubrisku, mereka semakin asal asalan memberikan prediksi, siapa laki laki yang telah menghamili Sumi. “ Kalau bukan Om Agus atau Hendry, apa Sumi di perkosa sama tukang ojek didepan rumah? “ “ Sumi mungkin sudah pernah menikah dikampung, terus suaminya datang tanpa sepengetahuan kita” “Pengunjung salonnya tante Rosi kali, kan banyak juga Om Om yang genit genit tuh!” “Tukang antar catering kita juga punya kesempatan menghamili Sumi lho?” “Pak kumis, tukang nasi goreng kita, Sumi kan sering kita suruh beli nasi gorengnya?” Begitulah anak anak kos saling bersahutan mengomentari kehamilan Sumi. Aku sendiri tercenung memikirkan nasib Sumi. Betapa hidup ini tak pernah adil. Sumi perempuan malang itu hamil tanpa suami. Tak ada yang mengaku jadi Bapak dari bayinya. Masa depan seperti apa yang tersisa untuk Sumi? Belum lagi caci maki yang akan diterimanya dari orang orang dikampung yang melihat keadaan Sumi yang hamil diluar nikah. Orang dikampung pasti akan menganggap Sumi adalah perempuan nakal, penganut sex bebas dikota, makanya ia hamil tanpa suami. Aduh…….membayangkan saja aku tak tahan dengan penderitaan Sumi. Tapi ihklas menerima kenyataan hidup, seperti yang Sumi katakan kepadaku? Hm….tak tahulah aku teman apa masih ada perempuan yang ihklas diperkosa tanpa mau menuntut lelaki keparat yang telah memperkosanya itu? Atau memang Sumilah satu satunya perempuan di bumi ini yang begitu ihklas menjalani penderitaan hidup?

Sore itu Kak Emmy, teman satu kosku yang paling senior pulang dengan mata yang masih sembab, bahkan air matanya belum benar benar mengering. Aku sedang membuat puding coklat diruang makan, tempat kita biasa berkumpul. Aku tak sengaja melihatnya menangis, jadi aku menyapanya. “Hai kak, baru pulang? Ia tidak menjawab. Demi melihatnya menangis, aku langsung mengikuti masuk kekamarnya. “Lho kak, kenapa? Sorry nggak bermaksud ikut campur, tapi Kakak boleh cerita ke aku kok”. “Barry… Barry Mel” “Iya kenapa dengan Barry Kak!” Barry itu adalah nama pacar Kak Emmy. “Kenapa sih Kak, Barry?” Aku mengulangi pertanyaanku. Dengan terbata bata kak Emmy menjawab “ Barry…… Barry, dialah yang menghamili Sumi!” “What?” Aku shock bukan kepalang. Aku langsung terduduk lemas di pinggiran ranjang yang ada dikamar Kak Emmy. Kepalaku mendadak pening berputar putar. Ini gila, ini benar benar gila! Bagaimana mungkin pacar Kak Emmy yang pendiam itu yang telah menghamili Sumi? Kemudian Kak Emmy menceritakan kronologis kejadian kenapa bisa Barry pacar Kak Emmy yang telah menghamili Sumi. Rupanya Kak Emmy meminta bantuan Barry untuk memperbaiki komputer dikamarnya. Siang itu Sumilah yang dititipi kunci kamar oleh Kak Emmy. Karena siang hari dikos selalu tidak ada orang, maka Barry punya kesempatan untuk memuaskan nafsu bejatnya itu memperkosa Sumi. Sebenarnya kos kosan kami sangat ketat, dan tak seorangpun laki laki diijinkan masuk sampai kekamar, kecuali sampai diruang tamu dan atas seijin tante Rosi. Namun hari itu iblis benar benar memberi kesempatan Barry mencelakai masa depan Sumi, hingga Sumi hamil. Hidup ini memang penuh dengan misteri. Siapa yang menyangka laki laki sebaik Barrylah yang telah menghancurkan masa depan Sumi. Padahal baru kemarin dugaan kami sudah mengarah kepada Hendry anak Om Agus yang secara bersamaan telah menghamili pacarnya juga yang masih duduk dibangku SMA. Barry bukan hanya menghancurkan masa depan Sumi, tapi ia juga telah menyakiti hati Kak Emmy. Teka teki kehamilan Sumi terjawab sudah. Namun atas permintaan Kak Emmy biarlah cerita ini hanya menjadi rahasia diantara aku dan ia. Aku sependapat dengan Kak Emmy, rasanya tak pantas saja aku mengumbar cerita tentang kebejatan pacar Kak Emmy. Kasihan Kak Emmy!. Aku akan melaksanakan mandat dari Kak Emmy, akan kusimpan sendiri pengalaman pahit dua wanita malang tersebut, Sumi dan Kak Emmy.

Jakarta 27 November 2009, Saat ku tulis kisah setengah nyata ini atas permintaan sebagian anak anak kos. (Memori kos Bratang Binangun Surabaya 1997, selamanya akan tetap menjadi kenangan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk setiap komentar yang telah dikirimkan, apapun itu akan membuat aku menjadi lebih belajar lagi untuk menulis dan menulis!!!