Selasa, 02 November 2010

MUSAFIR CINTA

Aku adalah seorang pengembara cinta, itu sebabnya aku belum mau terjerat dengan tali pernikahan. Cinta memang telah membuatku bodoh. Tapi aku terlalu berhati hati, supaya aku tidak tergelincir dan jatuh ke pelaminan. Aku tak ingin mahluk bernama cinta itu menyergapku dan membantingku ke jurang pernikahan secepatnya.

”Kamu harus segera menikah, apapun bentuknya itu!” Ibuku selalu mengulang pernyataanya itu hampir setiap bertemu denganku. Entah sudah berapa kali ibu memberikan pernyataan serupa itu. Memang kata katanya tidak selalu sama persis, akan tetapi intinya selalu sama, yaitu menganjurkan aku untuk segera menikah. Lama lama aku jadi terbiasa dengan omelan ibuku, yang sudah seperti kaset rusak yang diputar berulang ulang dengan suara yang sama.

” Apa aku harus menikah, Ma? " tanyaku suatu kali kepada ibu, saat dia mulai lagi mendebatku tentang kehidupan pernikahan yang selalu ingin ku hindari.

"Harus…!" jawab ibu dengan cepat. " Supaya kau tidak kesepian nantinya.
Lihatlah! semua adik adikmu sudah menikah, tinggal kau sendirian. Apa kau tidak ingin seperti mereka?”

"Aku mau ma, seperti mereka…..," jawabku. Aku memang masih punya keinginan untuk menikah. Hanya saja aku belum menemukan laki laki yang tepat untuk mendampingiku. Berkali kali cinta telah membuatku jatuh, tapi tak sampai membuatku terpeleset ke pelaminan.

“ Apakah kebahagiaan itu hanya ada dalam sebuah pernikahan, Ma?” tanyaku kembali kepada ibu. Ibuku terdiam, dia asyik menjahit baju ayah yang robek jahitannya. Aku tahu ibuku diam karena dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaanku. Dan aku sengaja memberikan pertanyaan itu untuk mengakhiri perdebatan kita.

Aku tercenung sejenak. Teringat kembali satu persatu adikku yang telah menikah beberapa tahun terakhir ini. Diantara lima bersaudara itu, hanya aku yang belum menikah, padahal aku adalah anak tertua dalam keluargaku.

“ Mama hanya ingin melihatmu bahagia” kembali ibu mengangkat mukanya melihatku. “Tapi tidak harus menikah kan, Ma?” Ibu tidak menyahutiku lagi, matanya menyorotkan kesedihan dan aku tahu itu.

Aku sangat memahami sikap ibu, dan keinginan ibu yang menganjurkan supaya aku secepatnya menikah.

Ibu selalu bilang “ Pernikahan akan membuatmu bahagia, kau akan memiliki teman hidup yang bisa menjagamu selamanya”. Terus terang, aku membenarkan pendapat ibu. Meski tidak semuanya benar apa yang ibu ceritakan tentang sebuah pernikahan. Ibu memang sesekali memaksaku untuk berhenti menjadi pengembara cinta. Namun aku juga tetap keukeh tak pernah mau sembarangan untuk dijodohkan. Bertahun tahun aku bertatih tatih melintasi jalanan terjal dan berliku, berteman dengan cinta dan harapan. Aku menjadi musafir cinta, yang melangkah tanpa kepastian. Belum ada jodoh yang membuatku berhenti untuk melangkah.

Sebagai musafir cinta, begitu banyak hal yang aku alami dan kupahami dalam hidup ini. Terutama tentang hidup berkeluarga. sungguh tak terlalu sulit aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Lewat pernikahan teman temanku, aku banyak sekali mendapat ilmu tentang hidup berumah tangga. Meskipun aku belum menikah, tetapi aku sering menjadi tempat berkeluh kesah dari semua temanku yang rumah tangganya bermasalah. Maka jadilah aku manusia paling pintar dalam urusan berkeluarga diantara teman temanku yang lain.

Dulu, aku pernah membayangkan sebuah pernikahan yang sangat indah, tak sedikitpun aku merasa takut menghadapi pernikahan. Waktu itu aku sedang menjalin cinta dengan lelaki yang kutemui di Gerejaku. Saat itu aku baru saja lulus menjadi sarjana bahasa inggris. Aku memang menyukai segala macam sastra, jadi aku mengambil jurusan itu. Kebetulan Benny, laki laki itu juga mengambil jurusan yang sama denganku. Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Benny bisa terlibat diskusi perihal tentang drama dan juga sastra. Dari diskusi itulah, perkenalanku berlanjut. Benny ternyata orang yang sangat rapi, humoris namun sedikit sensitif. Bersamanya aku sangat bahagia, hari hari indahpun sempat menjadi milik kita. Karena itulah kami berdua merencanakan sebuah pernikahan. Namun disaat kami berencana mempersiapkan pernikahan, justru konflik konflik kecil itu muncul tanpa kami sadari. Hanya karena masalah sepele, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkanku. Mungkin memang kami hanya berjodoh menjadi teman. Dengan segala keterpaksaan aku menerima keputusannya. “Maafkan aku May! Aku bukan laki laki yang tepat untukmu. Telah berulang kali aku mencoba untuk sejajar denganmu, tapi aku tak pernah bisa. Kau adalah wanita yang tak pernah butuh laki laki. Mandiri dan berkemauan keras. Aku tak mau menjadi lebih rendah darimu hanya karena kepintaranmu bekerja serta bersosialisasi. Jadi sebaiknya kita jalani kehidupan kita masing masing. Aku yakin, kau akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dariku”. Itulah ungkapan hatinya yang panjang dan sangat mengejutkanku. Aku tak pernah menyangka Benny akan berpaling dariku. Aku pikir pengembaraan cintaku akan berakhir bahagia bersama dengan Benny. Namun hanya Tuhanlah yang tahu.

Hendry? Ya, laki laki itu bernama Hendry. Lelaki itu adalah pacarku selanjutnya. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi dalam sebuah acara gereja, ketika ada acara retreat di gerejaku. Waktu itu pagi nan dingin, di daerah puncak, gerejaku mengadakan retreat untuk wanita dan pria lajang. Hendry diajak oleh seorang teman untuk mengikuti acara tersebut. Setelah acara itu berakhir, maka kamipun saling menjalin hubungan. Tak seperti Benny yang humoris, Hendry adalah lelaki pendiam. Namun dasar kerohaniannya sangat kuat. Sering kami terlibat dalam diskusi diskusi tentang Tuhan dan pentingnya Tuhan dalam hidup kita. Sehingga sering aku dibikin kewalahan ketika berdebat dengannya. Aku memang tak terlalu pandai berbicara tentang agama, Tuhan dan kerohanian. Sehingga seringkali pembicaraan kami tak seimbang. Lama kelamaan aku merasa tak pantas bersanding dengannya. Berdasarkan alasan itulah yang akhirnya membuatku memutuskan tali cinta. Padahal aku sudah mulai kerasan tinggal dihatinya.

"Hendry, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi tentang Tuhan dan kerohanian. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi dengan kerohanian yang mendalam. Aku hidup lurus dan apa adanya, tapi tak terlalu dalam dibidang kerohanian. Jadi sepertinya kita tak berjodoh". Demikian pengakuanku kepada Hendry suatu malam, setelah kami selesai menghadiri Ibadah di gereja. "Tapi kau pelaku yang baik, Woman in action. Kau mampu menjadi konselor bagi semua orang yang membutuhkan pertolongan. Aku bersyukur dipertemukan oleh Tuhan denganmu”. Begitulah Hendry merasa keberatan dengan keputusanku. Namun aku telah memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, maka jadilah Hendry yang pasrah menerima keputusanku. “Kalau kita berjodoh, Tuhan pasti akan mempertemukan kita, Hen!” Demikian hiburku pada hari yang lain saat kita bertemu diacara amal Gereja, sambil dia membantuku melipat lipat pakaian yang akan dibagikan.

Setelah itu aku selalu berpindah pindah hati, dari laki laki yang satu ke laki laki yang lain. Dan beberapa dari lelaki itu selalu membuatku terluka. Aku tak mengerti kenapa cintaku selalu jatuh kepada orang yang salah. Padahal aku adalah perempuan yang kesetiaannya tak perlu diragukan lagi. Aku bukan tipe perempuan yang suka berkhianat. Namun mungkin takdir hidup belum berpihak denganku, sehingga aku masih saja jadi pengembara cinta. Aku menekuri diriku dalam kesepianku, apakah salah kalau aku sampai saat ini masih menjadi musafir cinta? Berkelana mencari hati yang tepat untuk bersandar. Aku hanya ingin kenyamanan dalam hidupku, dan itu hanya bisa dilakukan kalau aku telah menemukan seseorang yang tepat untuk menjadi teman hidupku.

Selanjutnya, ku biarkan cintaku mengalir begitu saja. Tak apalah semuanya mengalir alamiah. Hidup…….cinta……..dan kebahagiaan semua akan tetap menjadi milikku. Tidak harus terdaftar dalam sebuah lembaga perkawinan. Apa benar kita tak kan pernah bahagia, hanya karena tidak menikah, kawan? Kau tentu telah tahu jawabannya, seandainya kau memiliki nasib yang sama denganku.

Aku tak peduli apapun omongan orang tentang pengembaraanku ini. Tak juga aku peduli dengan usia yang terus menerus memburuku. Aku hanya ingin menciptakan kebahagiaanku sendiri. Bagiku kebahagiaan itu seperti setetes warna yang paling bersinar diantara warna warna lain yang lebih kusam. Bila seseorang mampu meraih segala sesuatu yang diimpikannya, tentu akan merasa bahagia. Begitulah kehidupan! Kadang aku merasa lelah juga menjadi musafir cinta, berkelana dari hati yang satu kehati yang lainnya. Seolah aku memang tak pernah sepadan dengan manusia yang lainnya. Sebenarnya aku juga ingin hidup layak seperti umumnya orang lain. Menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang diimpikan semua orang. Namun apakah itu semua adalah hakekat hidup yang sesungguhnya, kawan? Ah…..tak tahulah aku! Aku hanya tahu bahwa hidupku selalu saja bahagia, ada ataupun tanpa seseorang yang disebut pasangan hidup. Jangan kau menganggap pernyataanku ini naif, hanya karena aku memang belum memiliki pasangan hidup, kawan! Jadi aku bisa mengatakan hal seperti itu. Tapi kau boleh percaya padaku kawan! “Kebahagiaan hidup tidak hanya ada pada sebuah pernikahan!” Sudah terlalu banyak neraka neraka yang tercipta dalam sebuah keluarga. Jadi janganlah terlalu tergesa kau menambah satu neraka lagi. Carilah orang yang tepat dan ciptakan surga dalam berkeluarga. Bukankah itu yang selalu kita impikan, kawan?

Beberapa tahun terakhir ini, secara khusus aku memang memohon kepada Tuhan, agar aku diberikan seseorang yang tepat. Kemudian aku berhenti menjadi musafir cinta. Tuhan pasti telah menyediakan jodoh yang tepat buatku.
Perjalanan pengembaraan cintaku memang terkesan dan begitu indah. Tak ada cacat, semua berjalan baik dan tenang. Hanya sedikit ombak, itupun dari teman teman dan keluargaku yang menitik beratkan bahwa hanya dengan menikah , seseorang akan hidup bahagia. Kunikmati pengembaraanku ini. Memang sedikit aneh dan mengundang rasa kasihan. Tapi begitulah kehidupan, ada yang pro dan ada yang kontra.

Aku adalah musafir cinta, dan aku sangat bahagia. Tak tahu kapan jodoh akan membuatku berhenti untuk melangkah. Namun aku sangat menikmati hari hari kebebasanku ini. Luapan kegembiraan dan kebahagiaanku seolah tak terbatas. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Entah sampai kapan semua itu harus diakhiri.
Mungkin sampai aku merasa menemukan laki laki yang sudah matang dan tepat yang bisa mengerti tentang kehidupanku. Semua keegoisan, kesepian, kebebasan, memang harus diakhiri ketika Tuhan memberiku jodoh yang tepat. Aku berharap tak selamanya menjadi musafir cinta, meski aku sangat menyukai kebebasanku. "Ini hanya sementara…," Aku yakin Tuhan telah menyediakan jodoh yang tepat untukku. Sehingga aku harus berhenti dari pengembaraanku. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janji Tuhan itu dalam hidupku.


Jakarta, 23 September 2009,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk setiap komentar yang telah dikirimkan, apapun itu akan membuat aku menjadi lebih belajar lagi untuk menulis dan menulis!!!