Minggu, 07 November 2010

MEMBUNUH KUCING TETANGGA

Meong……Meong…...Meong…… prak!! Kucing berwarna coklat itu berusaha berlari sambil mengeong, menghindari lemparan sandal yang memang aku gunakan untuk mengusirnya. Aku melihat kucing itu berlari menyelinap dibawah pagar besi yang memagari halaman rumah kontrakkan kami. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya kucing itu masuk kedalam rumah kontrakan yang hampir satu tahun terakhir ini kami tempati. Namun akhir akhir ini kucing itu sudah membangkitkan kemarahanku termasuk keempat temanku yang notabene sangat menyayangi mahluk bernama binatang itu. Mungkin kalau aku yang marah dengan ulah kucing sialan itu, masih wajarlah, karena sepanjang ingatanku, aku memang tidak pernah jatuh hati dengan mahluk bernama binatang, apapun bentuknya itu. Entahlah selain aku memang tidak suka, rasanya geli sekali melihat mahluk hidup selain manusia menghuni bumi ini. Dan yang terjadi keempat temanku penyayang binatang itu juga ikut ikutan kesal dengan ulah kucing tersebut. Bagaimana tidak kesal kalau setiap hari ada saja yang dilakukan kucing itu dirumah kami. Selain kotorannya berserakan disetiap pot pot bunga yang sengaja kami susun dihalaman rumah, kucing itu juga sering memporak perandakan tempat sampah yang terletak disudut dapur rumah kami. Mungkin ia mencium sisa sisa tulang bekas makan semalam ditempat sampah. Sehingga begitu kami pulang dari kantor sore hari, aroma tidak sedap dan sampah yang bertebaran kemana mana menjadi pemandangan kami hampir setiap hari.
Kucing berwarna coklat yang hampir setiap hari mondar mandir dirumah kami itu memang tidak seperti kucing kebanyakkan. Bentuk tubuhnya lumayan besar, bulunya lebat berwarna coklat bersih, tatapan matanya tajam, dan kuku kukunya juga kelihatan runcing. Dilihat dari bentuknya saja, aku yakin kucing itu pasti memiliki seorang tuan, karena memang kucing tersebut lumayan terawat. Bahkan dilehernyapun terpasang sebuah kalung rantai kecil dengan liontin berbentuk hati. Tapi bagaimanapun bentuknya aku benar benar sudah tidak bisa mentolerir kelakuan kucing itu. Apalagi akulah yang hampir setiap hari bertemu muka dan memergoki aksi serta ulahnya.
Dan kekesalankupun memuncak tatkala suatu siang dihari sabtu, ketika kami semua tidak bekerja, seperti biasa kami selalu menyempatkan diri untuk membersihkan rumah. Dan sebagai akhir ritual dihari sabtu itu, kami selalu mengakhirinya dengan makan bersama. Siang itu aku yang bertugas untuk memasak, dengan menu andalan soto ayam yang menjadi favorit kami berlima. Rasanya semua lelah terbayar sudah dengan mencium aroma soto yang menggugah selera itu. Tetapi, alamak!!! belum sempat kami menikmati semua makanan itu, tanpa sepengetahuan kami kucing itu mencuri ayam goreng yang tersajii sebagai santapan makan siang kami.
“Aku harus membunuh kucing sialan itu!!” Teriakku lantang.
“Apa yang ia lakukan Vin?” Lia rupanya terkejut mendengar teriakkanku, bahkan anak anak yang lainpun ikut berkerumun menuju ke dapur.
“Tamatlah kita hari ini, semua ayam goreng kita diembat kucing sialan itu!” teriakku geram. “Semuanya Vin?” Rini berbicara sambil melongok isi piring yang hanya tersisa sayap ayam kecil, dengan helaan nafas kecewa.
“Yah kita makan nasi sama kuah soto aja dong!
Teman-temanku nampak kesal juga terhadap kucing itu, sedangkan kucing itu dengan asyiknya menikmati ayam hasil curiannya didepan teras rumah kami, tidak peduli si pemilik rumah sangat geram dengan ulahnya. Aku mengambil sapu lidi yang terletak dipojok taman, tanpa ampun lagi aku melemparkannya ke arah kucing itu.
Brak !!! Ngeong……..ngeong………Rasain kucing sialan!!! Teriakku.
Dan sejak siang itu aku menyimpan dendam kesumat terhadap kucing tersebut. Tidak peduli apapun yang kucing itu lakukan, setiap kali aku melihatnya masuk kedalam rumah, selalu saja aku berteriak untuk mengusirnya. Aku benar-benar kesal dibuatnya, kalau tidak kotorannya yang berserakkan, sampah dirumah selalu saja dibuatnya berantakan. Maka dengan segala kesadaranku, aku berniat untuk merencanakan sebuah pembunuhan, pembunuhan terhadap seekor kucing. Sebenarnya aku tak punya nyali untuk membunuhnya, tapi tekad dan kemarahanku telah menutup mata hatiku untuk mentolerir ulah kucing itu.
Pus…..Pus…..Pus…… wanita tua itu mondar mandir didepan rumahku,tanpa bicara sepatah katapun kecuali terus memanggil-manggil kucing yang memang selalu tiduran diteras rumahku itu. Tetapi kucing itu sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Entahlah aku sendiri tidak pernah tahu, kenapa kucing itu sangat menyukai rumah kami menjadi tempat favoritnya. Bahkan hampir setiap hari kucing itu selalu berkeliaran, keluar masuk rumah kami seenaknya, tanpa merasa takut sedikitpun. Padahal hampir setiap kedatangannya, ada saja barang yang aku lemparkan untuk mengusirnya, tetapi ia selalu datang dan datang kembali. Pus…..Pus……Pus…… kembali aku mendengar suara memanggil manggil kucing itu, namun kali ini suaranya agak berat. Aku mengintip dari balik jendela, Oh……rupanya laki laki yang sering kali mondar-mandir di depan teras rumah kami itu juga salah satu dari pemilik kucing yang rencananya akan kubunuh itu! Aku berbicara dalam hatiku. Ehm…. Pantas!!! Sama sama misterius dengan kucingnya. Semula kami semua memang tidak pernah tahu kalau laki-laki misterius yang selalu mondar-mandir didepan teras kami itu adalah sang tuan dari kucing yang selama ini selalu ada dirumah kami. Karena laki laki yang usianya kira kira 45 tahunan itu, hampir setiap hari berdiri didepan pintu pagar rumah kami, tanpa bicara, tanpa suara. Aku dan teman-temanku berpikir, laki laki itu mungkin mengalami gangguan jiwa, dan memang seperti itulah yang aku dengar dari para tetangga. Akhirnya aku mengerti, ia berdiri didepan rumah kami, untuk mengawasi kucing kesayangannya itu. Seperti ada chemistry yang kuat antara ia dan kucingnya, kali ini kucing itupun langsung keluar dari peraduannya untuk pulang bersama dengan tuannya. Pemandangan seperti itu hampir setiap hari aku lihat, kucing itu tidur tiduran didepan teras rumah kami dan kemuian sang tuan segera menjemputnya. Kalau tidak laki laki itu, maka perempuan tua yang kemungkinan adalah ibu dari laki laki itulah yang datang menjemput kucingnya. Melihat kebersamaan yang menarik itu, tak juga menyurutkan niatku untuk menghabisi nyawa kucing itu.
Setelah banyaknya kejaian serta ulah yang menjengkelkan dari kucing itu, rasanya tak bisa ditawar-tawar lagi niatku. Kucing itu harus lekas dibunuh. Kalau tidak, akan berbahaya bagi kami semua, semua yang berada dirumah ini. Bagaimana tidak, kemarin kucing itu membawa bangkai tikus kedalam rumah, dan aroma tak sedappun mewarnai rumah kami. Pasti akan ada banyak virus yang bercokol dirumah kami akibat dari bangkai tikus yang dibawanya. Aku tidak peduli lagi siapa pemilik kucing itu, dan betapapun berartinya kucing itu, yang jelas aku sudah punya niat untuk menghabisinya. Kalau perlu aku sendiri yang akan merenggut nyawanya. Karena semua orang dirumah ini terlalu lemah untuk sekedar membunuh seekor binatang, bahkan salah satu dari keempat temanku itu sama sekali tidak berani membunuh binatang apapun, meski hanya untuk seekor semutpun. Sebelumnya tak pernah terbersit sedikitpun rencana untuk membunuh kucing itu. Bahkan aku sadar, niatku pasti akan ditentang oleh keempat temanku yang mempunyai label penyayang binatang itu. Namun kali ini aku tak berdaya menahan gejolak hatiku, kegeramanku terhadap kucing itu telah membuat darahku naik sampai keubun ubun.
Lia langsung tertawa ketika aku menceritakan niatku untuk membunuh kucing tetangga sebelah tersebut. Bahkan hampir seisi rumah ikut menertawakan niatku itu. Mereka berpikir aku sedang bercanda saja.
“ Kamu serius mau membunuh kucing itu? Vin, memangnya kamu tidak takut?” Kata Cicil yang paling antusias mendengar rencanaku untuk membunuh kucing tetangga sebelah itu. “ Aku serius Cil, makanya aku masih mencari cara yang tepat untuk melenyapkan kucing sialan itu dari muka bumi ini”, aku menjawab dengan berapi api. Tekadku memang sudah bulat untuk segera menghabisi nyawa kucing yang sudah membuat darahku naik sampai keubun ubun setiap melihat kucing itu berada di rumahku. “ Hati hati lho, nanti kamu kualat”, Leni mulai berkomentar. “ Dulu nenekku pernah bercerita, kalau kita membunuh seekor kucing, kita akan mendapatkan musibah” dengan serius Leni mulai menjelaskan sebuah mitos yang memang pernah aku dengar itu. “ Iya tuh aku juga pernah dengar lho!” Rini yang dari tadi nampak iam mulai ikut ikutan berbicara. “ Ah Vina, sudahlah urungkan saja niat kamu itu, bikin takut orang aja deh!” teriak Lia. Aku cuma tersenyum menanggapi kata-kata mereka. Tapi niatku untuk membunuh kucing itu sudah tidak dapat terbendung lagi. Aku tidak akan mundur dari rencanaku semula, dengan ataupun tanpa dukungan dari teman temanku. Dihatiku hanya ada satu niat “ Aku harus membunuh kucing sialan itu!”
Pagi itu sebelum niatku untuk membunuh kucing itu terlaksana, aku melihat kucing itu terkapar tanpa nafas didepan pagar rumah dengan aroma busuk yang menyengat. Aku terkejut sekali, apa yang terjadi dengan kucing itu, kenapa tiba tiba kucing itu mati? Pertanyaan pertanyaan itulah yang menggerayangi pikiranku. Tiba tiba laki laki yang menjadi tuan dari kucing tersebut menangis sejadi jadinya, meratapi jasad kucing kesayangannya. Ia tak mampu menampung kesedihannya. Dipeluknya kucing tak bernyawa itu sambil terus meraung-raung. Seperti anak kecil, laki laki itu terus menerus berteriak meratapi kepergian kucingnya. Dan aku mendengar ia memanggil-manggil sebuah nama, kalau tidak salah dengar ia memanggil manggil nama “Marni”. Aku bersama dengan teman-temanku serta beberapa tetangga yang kebetulan melihat adegan itu, hanya bisa saling bertatapan, tanpa pernah bisa memahami sepenting apakah arti kucing itu bagi laki laki itu. Aku melihat tatapan mata nelangsa dari laki-laki itu, dirinya terus menerus memeluk kucing itu sambil berteriak “Marni, Marni, maafkan aku!!” Sampai akhirnya laki-laki itu membawa kucing tak bernyawa itu masuk kedalam rumahnya,sayup sayup masih ku dengar isak tangisnya, serta teriakkannya memanggil mangil nama Marni. Begitu laki laki itu menghilang kedalam rumahnya, aku langsung menerima tatap curiga dari teman-temanku. “Jadi juga kamu melaksanakan niatmu Vin?” teriak Lia, “ Kasian lho Vin, kamu jahat banget sih?” kata Cicil, “Kita memang kesal dengan kucing itu, tapi kita juga tidak sampai hati kalau harus membunuhnya” Leni ikut ikutan menyalakahkanku. Aku iam tanpa bisa berkata-kata, perasaanku miris sekali melihat kejaian yang baru saja terjadi. “Bukan aku yang membunuhnya teman-teman!” aku berkata dengan perasaan kesal terhadap tuduhan teman-temanku. “Terus kenapa kucing itu tiba tiba mati?” Lia menyudutkanku. “Mana aku tahu! Aku sendiri juga kaget, tiba tiba melihat kucing itu sudah mati!” Dan kematian kucing yang secara misterius itu, semula masih menjadi tanda tanya besar bagi kami semua. Sampai akhirnya dari tetanggaku yang lain, aku mendengar ternyata kucing itu mati karena memakan bangkai tikus yang mati karena racun. Setelah misteri kematian kucing itu terungkap, teman-temankupun kelihatannya bernafas lega mendengar berita itu. Paling tidak kami tidak perlu merasa bersalah akibat kematian kucing itu, meskipun aku nyaris merencanakan pembunuhannya. Entahlah aku harus merasa senang dengan kematian kucing itu atau aku harus merasa menyesal memiliki niat membunuhnya, karena tangisan serta teriakkan laki laki itu sepertinya terus menerus terngiang-ngiang menghantui pikiranku. Marni?Siapakah Marni yang namanya terus dipanggil panggil oleh lelaki itu? Nama kucing itukah atau nama siapa? Pertanyaan pertanyaan itu silih berganti menghampiriku.
Aku masih penasaran dengan peristiwa kematian kucing tersebut. Tetapi belum habis rasa penasaranku terhadap kucing yang ingin kubunuh itu, tiba tiba keesokan harinya kami semua, bahkan semua tetangga yang ada dikomplek perumahan kami, dikejutkan dengan berita yang benar benar menggemparkan. Laki laki pemilik kucing itu menghabisi dirinya sendiri dengan meneguk segelas racun serangga. “Hah!! aku terkejut, bahkan shock mendengar berita itu. “Hanya karena seekor kucing laki laki itu bunuh diri? Begitu berartikah kucing itu, sampai laki laki itu berniat mengakhiri hidupnya setelah kematian kucingnya? Beruntung sekali aku belum melaksanakan niatku untuk membunuh kucing itu, kalau saja aku yang membunuhnya, berarti sekarang aku jugalah yang telah membunuh laki laki itu. Tiba tiba seluruh tubuhku menggigil dipenuhi oleh perasaan takut yang begitu menggunung. Dalam hati aku mengutuki laki laki itu, ah betapa bodohnya laki laki itu, seolah kucing itu adalah penentu takdir kematiannya.
Aku tidak berani keluar rumah, sejak kejaian itu. Bahkan semua teman serumahku tidak mau lagi berada diteras untuk sekedar bercengkrama seperti biasanya. Dengan alasan, masih terbayang bayang dengan sosok laki laki pemilik kucing itu. Berita kematian kucing yang disusul oleh pemiliknya itu benar benar menjadi topik yang menghebohkan para tetangga disekitar rumah kami. Lewat obrolan dengan beberapa tetanggaku itu, sedikit demi sedikit akhirnya aku menemukan rangkaian cerita yang cukup dramatis dan membuat perasaan setiap orang yang mendengarnya jadi miris. Kucing yang sudah seperti belahan jiwa bagi laki laki itu ternyata pemberian dari seorang wanita bernama Marni yang telah meninggal. Marni adalah kekasih dari lelaki itu. Sebelum meninggal Marni menitipkan kucing kesayangannya itu untuk dirawat. Memang sejak kepergian kekasihnya yang bernama Marni itu, laki laki tersebut sedikit mengalami gangguan jiwa. Dan hanya kepada kucing itulah jiwanya mampu berkata kata dan berbagi rasa. Ah… lagi lagi cinta membuat manusia kehilangan akal sehatnya. Cinta…. Siapa yang pernah mengundang cinta itu untuk datang, kalau pada akhirnya hanya membuat hati nelangsa dan putus asa? Kasihan laki laki itu, cinta telah membawanya pada pusaran tak bertepi dan membuatnya terluka begitu dalam. Tiba tiba ada perasaan menyesal yang cukup dalam dari hatiku, kenapa aku harus berniat membunuh kucing itu? Kucing yang ternyata mampu mewakili pernyataan cinta seorang wanita bernama Marni terhadap laki laki itu. Yah, itulah misteri kehidupan, hidup memang rahasia besar yang tak hanya ialami dalam cerita laki laki itu saja, karena setiap orang pasti akan menempuh misteri kehidupannya masing masing.
Pus ……pus…..pus…….sayup sayup kudengar suara seorang laki laki memanggil manggil seeokor kucing. Aku mencoba memberanikan diri mengintip dari balik jendela. Deg…..jantungku berdegup dengan kencang, seolah darahku serasa berhenti mengalir. Aku serasa tidak percaya pada penglihatanku sendiri, seperti gambar yang silih berganti berebut imajinasi merasuk ketakutan dijiwaku. Seperti sebelum kematiannya, laki laki itu berdiri dibalik pagar melihat pada kucingnya. Aku iam membatu tanpa bisa berkata kata, serasa tubuhku tersengat halilintar. Pemandangan dibalik pagar rumahku itu begitu nyata,padahal baru tadi siang lelaki itu telah disatukan dengan bumi. Dalam iamku masih sempat kulihat sepasang mata laki laki itu menatap tajam kearahku, seolah ingin menyalahkanku atas kematian kucingnya. Aku tetap tak bergeming, entahlah kemana jiwa dan ragaku berkelana, kakiku masih melekat pada bumi. Ingin aku berteriak membela diri “Bukan, bukan aku pembunuh kucing itu!”
January 2007

1 komentar:

Terimakasih untuk setiap komentar yang telah dikirimkan, apapun itu akan membuat aku menjadi lebih belajar lagi untuk menulis dan menulis!!!